Oleh: Rindoe Arrayah
Semakin rumitnya problematika umat saat ini, tak lain dan tak bukan dikarenakan syariat Islam yang senantiasa diabaikan dalam memecahkan segala permasalahan. Banyak fakta yang kita dapati justru menjauhkan dari aturan Sang Pemilik Kehidupan. Bagaimana tidak? Umat senantiasa digiring menyelesaikan problematika yang ada dengan aturan buatan manusia yang semakin menjerumuskan pada kehancuran dalam menjalani kehidupan. Apakah itu? Ya, karena kapitalisme yang dari sejak awal kemunculannya merupakan aturan buatan manusia yang rusak dan merusak tidak pernah bisa mengantarkan umat pada kehidupan yang lebih baik masih diterapkan hingga kini.
Pandemi yang entah sampai kapan menyelimuti kita, serta sikap pemerintah yang setengah hati dalam memenuhi hajat rakyanya semakin membuat ketidakjelasan arah hidup mereka hendak diajak kemana. Hal inilah yang akhirnya membuat rakyat tetap bergerak sendiri manakala memenuhi kebutuhan hidupnya di antara rasa khawatir yang menghantui.
Efek dari pandemi melingkupi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Seperti halnya nasib UMKM, hidup segan mati tak mau. Setidaknya itulah yang bisa diibaratkan kepada kondisi pelaku UMKM di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Penularan virus corona yang demikian cepat dan masif telah memaksa pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tetapi juga berdampak mematikan berbagai aktivitas bisnis pelaku UMKM (InvestorDailyIndonesia.com,6/6/2020).
Begitu juga dalam masalah pendidikan yang tampak semakin semrawut saja. Biaya pendidikan yang masih harus dibayarkan kepada pihak sekolah semakin memperberat beban bagi peserta didik manakala di waktu yang sama juga harus mengeluarkan biaya berupa pulsa untuk daring. Inipun, juga tidak menjamin kualitas output yang akan dihasilkan setelah pandemi ini berakhir (detikfinance.com, 4/6/2020).
Belum lagi permasalahan yang dihadapi dalam rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan tetap. Beberapa diantaranya mengantarkan pada sebuah pertengkaran yang berakhir pada perceraian (fin.co.id, 11/7/2020).
Beberapa fakta di atas hanya sebagian saja. Sebenarnya masih banyak lagi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sebelum ada pandemi maupun setelah ada pandemi. Sangat disayangkan, berbagai masalah yang ada belum bisa terselesaikan secara sempurna. Mengapa? Karena, kapitalisme masih diagungkan di negeri ini oleh penguasa dan para kroninya.
Syariat Islam sebenarnya sudah pernah ditawarkan kepada petinggi negeri ini untuk dijadikan sebagai solusi, namun tidak diterima.
Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits dari jalur Abu Hurairah ra, bahwa Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menggunakan lafadz, al-Imâm, bukan lafadz al-Amîr. Nabi SAW memilih dan menggunakan lafadz ini bukan tanpa maksud, sebaliknya tentu dengan maksud. Dengan menelaah berbagai hadits yang membahas bab al-Khilâfah dan al-Imâmah, tampak sekali, bahwa Nabi SAW, para sahabat ridhwanullah ‘alaihim dan para tabiin yang meriwayatkannya tidak membedakan antara lafadz, Khalîfah dan Imâm. Dengan kata lain, lafadz Imâm di sini mempunyai konotasi Khalîfah. Karena, kedua lafadz ini konotasinya sama, sehingga ketika digunakan lafadz Imâm, maka yang dimaksud adalah Khalîfah.
Setelah ‘Umar bin al-Khatthab ra diangkat menjadi Khalifah untuk menggantikan Abu Bakar as-Shiddiq, para sahabat menambahkan lafadz Amîru al-Mu’minîn. Karena itu, para ulama’ kemudian menggunakannya, dan menjadikan ketiga lafadz, Imâm, Khalîfah dan Amîru al-Mu’minîn tersebut sebagai sinonim, dengan konotasi yang sama. Imam an-Nawawi menjelaskan:
“Untuk seorang imam (kepala negara), boleh disebut dengan menggunakan istilah: Khalîfah, Imâm dan Amîru al-Mu’minîn.”
Penjelasan yang sama, diberikan oleh Ibn Khaldun. Beliau menegaskan:
“Ketika kami jelaskan hakikat jabatan ini, dan bahwa jabatan ini merupakan substitusi (pengganti) dari pemilik syariah dalam menjaga agama dan mengurus dunia dengan agama, maka disebut Khilâfah dan Imâmah. Orang yang menjalankannya disebut Khalîfah dan Imâm.”
Berangkat dari sini, al-‘Allamah Najîb al-Muthî’i, dalam Takmilah al-Majmû’, karya Imam an-Nawawi, menegaskan:
«الإمَامَةُ وَالْخِلاَفَةُ وَإِمرَةُ المؤْمِنِيْنَ مُتَرَادِفَةٌ»
“Imâmah, Khilâfah dan Imaratu al-Mu’minîn itu adalah sinonim (kata yang berbeda dengan konotasi yang sama).”
Imam Abu Zahrah, juga menjelaskan hal yang sama, bahwa Imâmah dan Khilâfah, begitu juga Imâm dan Khalîfah itu sama:
“Semua mazhab politik berkisar tentang Khilâfah, yaitu Imâmah Kubrâ. Ia disebut Khilâfah, karena yang mengurus dan menjadi penguasa tertinggi bagi kaum Muslim itu menggantikan Nabi SAW dalam mengurus urusan mereka. Ia juga disebut Imâmah, karena Khalîfah biasa dipanggil dengan sebutan Imâm. Mentaatinya hukumnya wajib, karena masyarakat berjalan di belakangnya, sebagaimana orang yang berada di belakang orang yang menjadi imam shalat mereka.”
Karena itu, jelas bahwa yang dimaksud dengan Imâm di dalam hadits Bukhari dan Muslim di atas, tak lain adalah Khalîfah. Konotasi makna Imâm di sini adalah Khalifah bisa dijelaskan dengan shighat Hashr (bentuk pembatasan, dengan konotasi “hanya”), Innamâ, yang artinya, “Sesungguhnya (imam) itu tak lain..”, sebagaimana dalam beberapa nash syara’ yang lain, seperti:
«إِنَّمَا المُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ»
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu tak lain adalah bersaudara.” (Q.s. al-Hujurat: 10)
Artinya, mereka tak lain adalah bersaudara, bukan musuh. Karena itu, ketika mereka bermusuhan, diperintahkan, “Fa ashlihu..” (damaikanlah), maksudnya agar tetap bersaudara, dan permusuhan di antara mereka pun sirna.
Ini dari aspek bahasa. Dari aspek fakta, baik historis maupun empiris, jelas bahwa konotasi makna lafadz, Imâm di sini tak lain adalah Khalîfah (kepala negara) yang memangku Khilâfah (Negara Islam). Konotasi ini dijelaskan oleh lanjutan frasa berikutnya:
«جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
“(Imam/Khalifah itu tak lain) laksana perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Makna, al-Imâm Junnat(un) (Imam/Khalifah itu laksana perisai) dijelaskan oleh Imam an-Nawawi:
“Maksudnya, ibarat tameng. Karena dia mencegah musuh menyerang (menyakiti) kaum Muslim. Mencegah masyarakat, satu dengan yang lain dari serangan. Melindungi keutuhan Islam, dia disegani masyarakat, dan mereka pun takut terhadap kekutannya.”
Begitu juga frasa berikutnya, “Yuqâtalu min warâ’ihi, wa yuttaqâ bihi” (Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng):
“Maksudnya, bersamanya (Imam/Khalifah) kaum Kafir, Bughat, Khawarij, para pelaku kerusakan dan kezaliman, secara mutlak, akan diperangi. Huruf “Ta’” di dalam lafadz, “Yuttaqa” (dijadikan perisai) merupakan pengganti dari huruf, “Wau”, karena asalnya dari lafadz, “Wiqâyah” (perisai).”
Mengapa hanya Imâm/Khalîfah yang disebut sebagai Junnah (perisai)? Karena, dialah satu-satunya yang bertanggungjawab sebagai perisai, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menjadi Junnah (perisai) bagi umat Islam, khususnya, dan rakyat umumnya, meniscayakan Imâm harus kuat, berani dan terdepan. Bukan orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya, tetapi pada institusi negaranya. Kekuatan ini dibangun karena pondasi pribadi dan negaranya sama, yaitu akidah Islam. Inilah yang ada pada diri Nabi SAW dan para Khalifah setelahnya, sebagaimana tampak pada surat Khalid bin al-Walid:
“Dengan menyebut asma Allah, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid bin al-Walid, kepada Raja Persia. Segala puji hanya milik Allah, yang telah menggantikan rezim kalian, menghancurkan tipu daya kalian, dan memecahbelah kesatuan kata kalian.. Maka, masuk Islamlah kalian. Jika tidak, bayarlah jizyah. Jika tidak, maka aku akan datangkan kepada kalian, kaum yang mencintai kematian, sebagaimana kalian mencintai kehidupan.”
Ketika ada wanita Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi SAW melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan, demi menjadi junnah (perisai) bagi Islam dan kaum Muslim. Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi SAW, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khilafah. Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan. Pun demikian dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, semuanya melakukan hal yang sama. Karena mereka adalah junnah (perisai).
Umat Islam, Khilafah dan Khalifahnya sangat ditakuti oleh kaum Kafir, karena akidahnya. Karena akidah Islam inilah, mereka siap menang dan mati syahid. Mereka berperang bukan karena materi, tetapi karena dorongan iman. Karena iman inilah, rasa takut di dalam hati mereka pun tak ada lagi. Karena itu, musuh-musuh mereka pun ketakutan luar biasa, ketika berhadapan dengan pasukan kaum Muslim. Kata Raja Romawi, “Lebih baik ditelan bumi ketimbang berhadapan dengan mereka.” Sampai terpatri di benak musuh-musuh mereka, bahwa kaum Muslim tak bisa dikalahkan. Inilah generasi umat Islam yang luar biasa. Generasi ini hanya ada dalam sistem Khilafah.
Sebaliknya, meski kini kaum Muslim mempunyai banyak penguasa, tetapi mereka bukanlah Imâm yang dimaksud oleh hadits tersebut. Apa buktinya?
Karena Imâm di dalam hadits tersebut adalah penguasa kaum Muslim yang memimpin negara yang sangat kuat, ditakuti kawan dan lawan. Karenanya, bukan hanya agama, kehormatan, darah dan harta mereka pun terjaga dengan baik. Karena tak ada satu pun yang berani macam-macam. Bandingkan dengan saat ini, ketika al-Qur’an, dan Nabinya dinista, justru negara dan penguasanya membela penistanya. Ketika kekayaan alamnya dikuasai negara Kafir penjajah, jangankan mengambil balik, dan mengusir mereka, melakukan negosiasi ulang saja tidak berani. Bahkan, merekalah yang memberikan kekayaan alamnya kepada negara Kafir, sementara di negerinya sendiri rakyat terpaksa harus mendapatkannya dengan susah payah, dan dengan harga yang sangat mahal. Ketika orang non-Muslim menyerang masjid, membunuh mereka, bukannya mereka dilindungi dan dibela, justru penyerangnya malah diundang ke istana.
Karena itu, makna hadits di atas dengan jelas dan tegas menyatakan, bahwa Khilafahlah satu-satunya pelindung umat, yang menjaga agama, kehormatan, darah dan harta mereka. Khilafahlah yang menjadi penjaga kesatuan, persatuan dan keutuhan setiap jengkal wilayah mereka. Karena itu, hadits di atas sekaligus meniscayakan adanya Khilafah.
Yang harus kita lakukan sekarang adalah membuang segala keraguan yang ada dan bersegera untuk mengambil peran menjadi pejuang demi tegaknya risalah Islam di muka bumi ini. Agar semua permasalahan yang ada bisa segera terselesaikan dan rakyat hidup dalam naungan keberkahan.
Wallahu a’alam bishowab.