Oleh: Nurhaniu Ode Hamusa
(Pemerhati Sosial Asal Konawe, Sultra)
Di Bumi Anoa yang terkenal dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah seharusnya membawa kesejahteraan bagi penduduknya, faktanya tidak demikia. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh satu keluarga ini, mengapa? Karena untuk hidup saja masih susah, harus dengan jadi pemulung untuk bisa menyambung hidup.
“Hidup adalah perjuangan” kata-kata ini pantas disematkan pada ibu Mira salah satu Warga Nanga-nanga, Kelurahan Mokoau, Kecamatan Kambu, Kota Kendari. Pasalnya beliau begitu tegar menghadapi kenyataan hidup sebagai pemulung, menyusuri bak-bak sampah di Kota Kendari demi sesuap nasi dan demi biaya sekolah anak-anaknya. Ya demi mencegah dari meminta-minta di jalanan, memulung tidak membuatnya malu, begitu juga dengan keempat anaknya dan suamipun turut mencari berkah di tempat sampah (Telisik.id, 09/08/2020).
Profesi ini telah mereka lakukan sejak bertahun-tahun silam. Dimulai sejak awal pagi hingga siang, bahkan kadang sampai malam menjelang. "Sampah hasil memulung setiap seminggu sekali saya timbang, harganya kurang lebih dua ratus ribu rupiah," ujar Mira. Bisa dipastikan, nilai itu tidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan hidup dengan anggota keluarga yang begitu banyak, meskipun ditambah dengan penghasilan suaminya yang juga pemulung.
Potret ini menambah keprihatinan bahwa ini hanya salah satu dari problematika yang dihadapi, ditambah lagi pandemi covid-19 yang belum berakhir dengan dan malah semakin bertambah di Bumi Anoa ini. Fakta ini mengundang tanda tanya besar sudah tepatkah kebijakan yang diterapkan dalam rangka menyejahterakan rakyat? Pasalnya tiap berganti pemimpin senantiasa menawarkan janji manis, tiap tahun pun dirayakan kemerdekaan namun kondisinya belum berubah. Masyarakat harus berjibaku untuk bisa bertahan hidup karena memang kesejahteraan yang didambakan belum sesuai harapan.
Sangat berbeda jauh dengan sistem islam, di mana penguasa yang diangkat memastikan setiap warganya dapat terpenuhi kebutuhannya primernya karena dalam islam menjadikan kekuasaan adalah amanah yang bakal jadi kehinaan di akhirat kelak jika disalahgunakan.
Terkait dengan itu, dalam kitab Al-Imarah, Imam Muslim meriwayatkan tentang Abu Dzar r.a. yang bertanya kepada Nabi Muhammad saw, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau memberiku jabatan? Kemudian Rasulullah menepuk pundak Abu Dzar, lalu beliau bersabda, ''Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau itu lemah, sedangkan jabatan itu amanah, dan jabatan itu akan menjadi kehinaan serta penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang memperolehnya dengan benar dan melaksanakan kewajiban yang diembankan kepadanya.'' (Hadis Riwayat Muslim dari Abu Dzar r.a., Shahîh Muslim, juz VI, hal. 6, hadits no. 4823)
Jabatan atau kekuasaan merupakan sebuah amanah yang harus ditunaikan dan dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawabannya tidak hanya kepada yang memberi jabatan tetapi juga kepada Allah swt.
Hal itu pun sebagaimana hadis dari Abdullah bin Umar r.a., "Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia akan bertanggung jawab atas rakyatnya, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua, seorang wanita juga pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua, seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya, dan dia bertanggung jawab atas harta tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (Hadis Riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar, r.a. Shahîh Muslim, juz VI, hal. 7, hadits no. 4828).
Begitulah islam dengan sistemnya yang bersumber dari wahyu Allah swt. yang mana pemimpin dan aturan yang diterapkan akan berusaha menyejahterakan warga negaranya. Karena merupakan amanah yang harus dilaksankan. Dari itu, negara dengan segala kebijakannya akan berusaha mengelola sumber daya alam yang melimpah untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kemaslahatan rakyat yang menjadi tanggung jawabnya.
Oleh karena itu, tidak mudah untuk menyejahterakan rakyat, jika kebijakan yang dibuat masih belum menunjukann ke arah itu. Karena itu, hanya kembali pada aturan yang bersumber dari-Nya, maka kehidupan manusia akan lebih baik. Sebab, sejatinya yang lebih mengetahui tentang mana yang terbaik untuk hamba, yakni Allah swt. Wallahu a’lam bi ash-shawab.