Oleh : Ummu Aqeela
Membincang Kebangkitan dunia Islam sebenarnya sudah banyak dipaparkan dalam al-Quran. Misalnya, dalam al-Quran Surat Al-Maidah ayat 54. Disitu disebutkan ciri-ciri satu kaum yang dijanjikan Allah yang akan meraih kemenangan, mereka dicintai Allah dan mereka mencintai Allah, mereka saling mengasihi sesama mukmin, mereka memiliki sikap 'izzah terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, dan mereka tidak takut dengan celaan orang-orang yang memang suka mencela. Kaum seperti inilah yang harus mampu dibentuk oleh umat Islam, khususnya lembaga-lembaga pendidikan Islam. Hanya saja, saat bicara tentang kebangkitan Islam, maka yang perlu didefinisikan terlebih dahulu adalah apa yang sebenarnya disebut dengan "Bangkit". Sebab, jangan-jangan, makna kata "Bangkit" itu sendiri sudah kabur di benak banyak kaum Muslimin. Seperti kaburnya makna kata kemajuan, pembangunan, kebebasan, dan sebagainya.
Moment kebangkitan Islam merupakan fenomena sejarah yang akan menumbuhkan kembali semangat iman. Namun menuju sebuah kebangkitan, juga membawa ujian-ujian bagi umat Islam sehingga mendorong mereka mencari sebab-sebab kejatuhan dan kehinaan yang menimpa. Beranjak dari kesadaran ini, mereka menemukan kesadaran baru, yaitu: menghidupkan iman, mengaktifkan pemikiran, dan menggairahkan gerakan Islam.
Kebangkitan yang sedang kita perbincangkan ini merupakan fase kesadaran baru yang sedang marak di Dunia Islam pasca fase kehinaan akibat kolonialisme. Karena dewasa ini, kebangkitan Islam merupakan fenomena internasional dengan berbagai macam topik diskursus yang menantang. Hal ini disebabkan oleh eksistensi Islam yang mencoba merespon situasi yang dihadapi dunia, yaitu: imperialisme politik, serangan kebudayaan Barat, kegagalan sistem sekular yang ditinggalkan kaum imperialis kepada negeri-negeri Islam.
Salah satunya adalah respon Turki dibawah kepemimpinan Presiden Erdogan, dengan keputusannya yang memfungsikan kembali Hagia Sophia menjadi sebuah Masjid. Pembukaan kembali Hagia Sophia sebagai masjid dinilai akan menjadi kebangkitan Islam di Turki. Pada saat yang sama, hal ini dikhawatirkan memicu Islamophobia. Pizaro Gozali Idrus, Jurnalis Kantor Berita Turki Anadolu Agency mengatakan pelaksanaan salat Jumat pertama di masjid Hagia Sophia pada Jumat (24/7/2020) menjadi magnet dunia internasional. Proses pengembalian Hagia Sophia menjadi masjid merupakan proses yang panjang. Menurutnya Hagia Sophia bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga mengandung aspek historis dan kultural. Pizaro mengutip sebuah hasil riset yang dilakukan oleh sejarawan barat Richard Winston pada 2017, Hagia Sophia menjadi episentrum keilmuan daulah (negara) Utsmaniyah yang didatangi oleh orang dari berbagai negara.
Banyak kalangan umat Islam terutama di kalangan aktivisnya yang menganggap kembalinya Hagia Sophia menjadi masjid adalah sebuah tonggak penting dalam proses kebangkitan Islam di masa depan. Keberanian Tayyip Erdogan disebut-sebut sebagai sebuah tindakan pembelaan terhadap Islam terbaik di abad 21i. Dia dan pemerintahannya berani dengan kokoh menentang pendapat negara-negara maju yang menentang keputusannya itu. Di tengah keterpurukan umat Islam akibat kebodohan, perang dan konflik berkepanjangan, dan perseteruan elit politik yang di banyak negara yang hanya menjadikan umat Islam sebagai alat meraih kekuasaan. Kembalinya Hagia Sophia ke umat Islam seakan menjadi sebuah oase di tengah gurun pasir yang penuh fatamorgana. Sejenak umat Islam terutama di kalangan aktivisnya dilanda euforia semangat kebangkitan Islam di tengah situasi pandemi dan krisis seperti saat ini. Dan itu sangat wajar. Sudah terlalu banyak kepedihan yang dialami umat Islam pada hari ini. Sudah terlalu banyak luka di tubuh umat Islam.
Secara politis, keputusan untuk mengembalikan Hagia Sophia sebagai masjid tentu saja memberikan keuntungan politik yang sangat besar bagi Erdogan. Namun, saya kira sangat dangkal kalau keuntungan politik yang diperoleh Erdogan tersebut membuat kita menutup mata terhadap gelombang besar di baliknya, yaitu gelombang perlawanan terhadap sekularisasi sekaligus gelombang kerinduan orang-orang Turki untuk memperbaiki hubungannya dengan sejarah Islam Ottoman. Secara simbolik, perubahan Hagia Sophia dari masjid menjadi museum adalah simbol perceraian bangsa Turki dengan sejarah Ottoman, sekaligus mewakili keterdominasian Turki oleh sekularisme Barat. Kini, pemulihan kembali Masjid Agung Hagia Sophia berarti sebaliknya. Melalui pemulihan fungsi masjid itu kini Turki telah terhubung kembali dengan masa lalunya, berdiri tegak di atas karpet sejarah yang telah mewariskan kebesaran dan kebanggaan untuk mereka. Kita tentu masih ingat dengan peristiwa runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki pada tahun 1924 melalui tangan-tangan konspirasi Inggris dengan cara menyusupkan agennya TE Lawrence untuk memprovokasi bangsa Arab berontak dengan Khilafah Utsmaniyah.
Kebanyakan kaum Muslim saat ini memang sudah tidak lagi mengenal sejarah panjang keemasan Islam. Sejarah Islam yang membentang selama 1.300 tahun itu seolah telah sirna dari ingatan mereka. Padahal, dalam sejarah peradaban manusia, belum pernah ada sebuah sistem kehidupan yang mampu bertahan sepanjang kurun itu. Mayoritas kaum Muslimpun juga tidak mengenal siapa saja para khalifah yang telah membawa Islam hingga menyebar ke seluruh penjuru bumi setelah Rasulullah saw. wafat. Kalaulah mereka mengenal, kebanyakan hanya sampai masa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Bahkan, banyak di antara mereka yang menyangka bahwa Kekhilafahan Islam berhenti hanya sampai pada masa itu. Karena itu, penting sekali untuk menyegarkan kembali ingatan kaum Muslim terhadap sejarah panjang masa Kekhilafahan Islam. Hal ini diperlukan untuk membangun kembali kesadaran umat terhadap kewajiban utama mereka memperjuangkan kembali tegaknya Kekhilafahan Islam.
Secara garis besar setelah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa alihi wa sallam, Islam berkembang dengan pesat ke seluruh penjuru dunia. Kekhilafahan bani Umayyah, Kekhilafahan bani Abbasiyyah dan Kekhilafahan Turki Utsmani sebagai pernyambung kekuatan Islam setelah pemerintahan Khulafaur Rasyidin (Khilafah Nubuwwah) senantiasa menyebarkan Islam dan meluaskan wilayah-wilayah kaum Muslimin. Rasulullah saw. telah memerintahkan kaum Muslim untuk mengangkat khalifah, sepeninggal beliau. Khalifah inilah yang di-baiat secara syar‘î untuk memimpin kaum Muslim berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dia pula yang akan menerapkan syariat Allah sekaligus menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Penerapan syariah oleh Khilafah akan membawa kemajuan yang menakjubkan, sebaliknya abai darinya menjadi titik lemah, terhantam berbagai krisis, kerusakan, dan ketertinggalan. Seperti kondisi saat ini. Belum genap satu abad Khilafah lenyap, tapi dunia kian suram, bumi pun terancam. Negeri kita kritis. Umat dihantam penderitaan bertubi-tubi. Tak aneh jika gemuruh kerinduan kepada Khilafah menguat. Jika kebangkitan umat diibaratkan seperti brankas, maka Khilafah adalah password untuk membuka kuncinya. Tanpanya, peradaban gemilang hanya sebatas wacana, manisnya sulit diindera. Hanya ada satu jalan bagi kemenangan Islam, yakni dengan menegakkan Khilafah.
Allah sendiri yang janjikan dalam Alquran surat An Nur ayat 55.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Wallahu’alam bishowab