Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Ikatan Guru Indonesia (IGI) memprotes langkah pemerintah tunjangan guru hingga 3,3 triliun lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 tahun 2020 tentang perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Perpres tersebut dalam lampirannya memotong tiga komponen yakni tunjangan profesi guru PNS daerah yang semula Rp. 53,8 triliun menjadi Rp. 50,8 triliun, kemudian penghasilan guru PNS daerah dipotong dari semula Rp. 698,3 triliun menjadi Rp. 454,2 triliun dikutip dari (m.mediaindonesia.com).
Pendidikan adalah kebutuhan utama dari setiap rakyat. Kebutuhan ini dapat berjalan dengan baik dengan adanya guru yang memberikan pengajaran bagi siswa. Guru dalam mengajar mendapatkan berbagai tunjangan dan gaji yang diterimanya setiap bulan. Pemenuhan tunjangan tersebut dilaksanakan oleh negara.
Namun bagaimana jadinya jika tunjangan bagi para guru akhirnya dipotong bahkan ditiadakan demi menutup kebutuhan negara dalam bidang lain. Kebutuhan tunjangan guru seakan dianggap tak penting bagi negara kapitalis. Hingga akhirnya guru merasa diabaikan oleh negara. Negara menjadikan guru hanya sebatas regulator bagi dunia pendidikan.
Pemotongan tunjangan tersebut menuai protes dari kalangan guru pasalnya kondisi pandemi saat ini telah membuat penghasilan para guru turun. Kondisi pandemi membuat guru makin sulit dengan pembelajaran daring. Pembelajaran daring menuntut guru untuk menyiapkan dana tambahan untuk membeli kuota internet. Sedangkan negara tak memberikan akses internet secara merata di sekolah yang terpencil.
Dilema yang dirasakan guru seharusnya menjadi pembelajaran bagi para pemimpin. Pemimpin dalam menerapkan kebijakan terlebih dahulu mengkaji kondisi di lapangan. Sehingga mereka yang jauh dari hingar bingar kota pun dapat merasakan kebijakan yang merata dan adil. Kebijakan pemerintah timpang dirasakan oleh para guru pendidik negeri. Bukannya memberikan tunjangan malah semakin memotong tunjangan mereka diakibatkan pandemi.
Pemotongan tunjangan guru oleh negara dianggap menyakiti hati para guru. Pasalnya negara seakan abai terhadap nasib mereka apalagi guru yang berstatus honorer. Kebijakan tersebut hanya terjadi pada negara yang masih memperhitungkan untung rugi bagi kesejahteraan rakyatnya. Seolah guru tak dihargai oleh negara. Negara seakan rugi memberikan tunjangan lebih kepada para guru.
Hal ini jelas sangat berbeda dengan peran guru di negara islam. Guru dalam negara islam sangat dimuliakan dengan kemampuannya dalam bidang ilmu yang ditekuninya. Bahkan khalifah (pemimpin negara) memberikan penghargaan tinggi pada guru. Pada masa Abasiyah dimana ilmu pengetahuan sangat berkembang pesat, muncul para cendekiawan muslim yang menghasilkan berbagai penemuan yang berjasa bagi dunia hingga kini.
Masa Abasiyah para cendekiawan yang menulis sebuah kitab maka akan dihadiahkan emas seberat kitab yang ditulisnya. Bahkan guru didukung penuh oleh negara dalam mengajarkan ilmunya. Negara akan memberikan fasilitas seperti rumah tinggal, kebutuhan hidup hingga penghargaan lainnya. Karena dalam islam menuntut ilmu adalah wajib hukumnya maka mereka yang mengajarkan ilmu, negara akan memberikan prioritas utama.
Hanya dengan islam guru akan dimuliakan dan dihargai jasanya. Islam akan memberikan kesejahteraan bagi para guru negerinya. Islam bukan hanya agama saja tapi dia adalah sistem hidup yang paripurna yang mampu membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.