Oleh : Desi Anggraini
(Pendidik Palembang)
Djoko Soegiarto Tjandra, 70 tahun dikenal sebagai salah satu pendiri Mulia Group, gergasi properti yang punya aset hotel dan gedung pencakar langit di Jakarta. Kendati buron selama 11 tahun dan diketahui berada di Indonesia selama beberapa bulan terakhir, jejaring bisnis Djoko diduga terus terawat hingga kini.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat soal sewa Wisma Mulia I oleh OJK masuk dalam pelanggaran administratif. Selain membayar sewa, menurut Ihktisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) Semester I 2019, OJK membayar service charge (biaya pelayanan) pada 2018 sebesar Rp57,05 miliar. "OJK tidak memanfaatkan Gedung Wisma Mulia I, sehingga beban dibayar dimuka per 31 Desember 2018 sebesar Rp303,12 miliar tidak memiliki manfaat," dikutip dari IHPS I 2019 BPK. Setelah laporan BPK, kini OJK melayangkan gugatan perdata, di antaranya ada petitum untuk mengembalikan biaya sewa dan service charge. Kini di PN Jaksel, ada dua kasus terkait Djoko Tjandra: peninjauan kembali (PK) kasus hak penagihan Bank Bali dan gugatan perdata OJK ke jejaring perusahaannya
(Tirto Id, 25/7/2020 )
Maka dari kasus penangkapan Djoko Tjandra ini setidaknya ada beberapa hal penting yang menjadi catatan bersama yakni:
Pertama, adanya upaya memperbaiki citra kepolisian. Patut untuk diketahui, yang meloloskan Djoko Tjandra hingga bisa keluar masuk negeri ini karena adanya peran kepolisian. Mulai dari terbitnya surat jalan maupun surat bebas Covid-19.
Hal ini juga diperparah dengan adanya indikasi perlindungan dari kejaksaan yang bekerja sama dengan kepolisian. Nampak dari mudahnya Jaksa Pinangki yang bertemu dan berfoto dengan sang buronan hingga mencapai sembilan kali pertemuan di Singapura dan Malaysia. Ia pun diketahui merupakan Ibu Bhayangkari. Sehingga dapat disimpulkan adanya kongkalikong untuk membiarkan buronan tersebut hidup bebas di luar. Hingga ia mau mengajukan PK ke MA.
Kedua, lemahnya struktur pemerintahan dalam negeri. Tak hanya Polri, sederet lembaga dalam negeri pun turut membantu sang koruptor mulai dari kelurahan, kecamatan, Kemenkumham, Kemendagri, Dirjen Imigrasi, hingga Kejaksaan Agung.
Mengapa Korupsi Menggurita di Negeri Ini?
Persoalan korupsi bukanlah persoalan sederhana yang semata-mata disebabkan ketamakan individu. Ketamakan hanyalah salah satu faktor, ketika gaya hidup materialisme yang semata-mata mengejar kesenangan duniawi telah menyingkirkan keimanan dari dada. Persoalan korupsi saat ini telah menjadi persoalan sistemik yang sulit untuk dihindari.
Penerapan sistem sekuler, memisahkan antara agama dan kehidupan, telah menjadikan politik kering dari nilai-nilai agama. Orientasi pejabat bukan lagi amanah Allah dan ibadah, melainkan keuntungan dunia. Sekularisme juga menjadikan demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan.
Pejabat dipilih rakyat melalui serangkaian pemilihan: pilkada dan pemilu, yang membutuhkan biaya besar. Maka tak heran, setelah menjadi pejabat, mereka akan berusaha untuk balik modal, baik untuk dirinya maupun untuk partai pengusungnya Sebagai institusi independen untuk pemberantasan korupsi, pemimpin KPK, mekanisme kerja dan wewenangnya, ditetapkan oleh DPR sebagai wakil rakyat. Padahal, KPK bertugas untuk memberantas korupsi institusi-institusi negara, termasuk di DPR.
Begitu pula di revisi UU KPK, yang menetapkan bahwa untuk menyadap dan menggeledah terduga korupsi, KPK harus mendapat izin Dewan Pengawas. Dewan Pengawas diangkat oleh DPR yang menjadi salah satu objek penyelidikan korupsi. Bagaimana bisa diterima akal bahwa penyelidikan KPK akan berlangsung independen?
Hal yang sudah menjadi rahasia umum, bahwa banyak kepentingan yang saling menyandera dalam proses pengungkapan korupsi. Kondisi ini pada akhirnya membuat pemberantasan korupsi berjalan setengah hati, terkesan tebang pilih. Ditambah dengan ringannya hukuman yang diterima koruptor, menjadikan tidak ada efek jera.
Mereka masih bisa dengan mudah cuti keluar penjara, memiliki fasilitas mewah di penjara, dan bisa mendapat remisi dan pembebasan bersyarat sebagaimana diatur dalam RUU Pemasyarakatan. Maka, koruptor hanya perlu prihatin sebentar di penjara, setelah itu mereka bisa keluar untuk menikmati hasil korupsinya.
Maraknya kejahatan yang melampaui batas, termasuk korupsi, sementara solusi yang selama ini diberikan, yaitu solusi dari kapitalisme dan sosialisme telah terbukti gagal. Betapa buruknya aturan yang berasal dari sosialisme dan kapitalisme. Yaitu aturan dari manusia yang tidak mampu menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan masalah lain.
Demikian rusaknya sistem politik pemerintahan dan hukum negeri ini telah menjadi bukti, tidak ada gunanya mempertahankan Demokrasi. Sudah saatnya umat sadar bahwa hanya Islam dalam naungan khilafah yang mampu memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta menjalankan amanah kepemimpinan demi kepentingan umat, bukan yang lain. Saatnya kita bertaubat, kembali kepada aturan Allah yang mampu menyelesaikan masalah secara tuntas dan menyejahterakan dunia dan akhirat.
Wallahu a'lam bish-shawwab.