Menyambut tahun baru 1442 Hijriyah yang jatuh pada 20 Agustus lalu, pemutaran film dokumenter bertajuk "Jejak Khilafah di Nusantara" begitu menyedot perhatian publik. Bagaimana tidak? Setelah sekian lama masyarakat, khususnya kaum muslimin merasa skeptis terhadap narasi "khilafah", para sejarawan akhirnya berhasil menyusuri jejak jejak kekhilafahan dan hubungannya dengan wilayah Nusantara. Didasarkan pada riset yang panjang, dan didukung oleh sumber primer maupun sekunder seperti daftar pustaka, fakta yang selama ini terkubur dan kabur akhirnya berhasil dikuak ke permukaan. Membuka cakrawala baru atas pemikiran dan pengetahuan sejarah bagi kaum muslimin.
Memang benar bahwa sejarah tidaklah bisa dijadikan sebagai sumber hukum atau pemikiran. Karena sejatinya ia hanyalah objek yang bisa saja dikaburkan oleh pihak pihak tertentu karena latar belakang politik. Namun justru karena itulah saat sesi talk show berlangsung, Ustadz Ismail Yusanto mengatakan betapa pentingnya kebenaran sejarah ini digali. Hal tersebut semata untuk melengkapi apa yang selama ini telah dipahami bahwa Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam yang pernah hadir di tengah tengah umat dan menjadi mercusuar dunia selama 13 abad lamanya. Bahwa khilafah bukanlah ajaran yang bersifat khayali.
Dari pihak produser sekaligus penulis naskah JKdN, Nicko T Pandawa sendiri menegaskan bahwa latar belakang produksi film ini adalah untuk menjawab tantangan zaman mengenai bahasan kekhilafahan yang membumi untuk kemudian dikemas dengan format menarik. Dan terbukti, visual visual yang ditampilkan dalam film tersebut berhasil menyampaikan rentetan sejarah bagaimana khilafah bisa terhubung ke wilayah Nusantara.
Keberhasilan tersebut tidak lepas dari upaya kekhilafahan yang memang tidak pernah berhenti melakukan ekspansi. Pada masa Utsman bin Affan, tepatnya pada tahun 651 M, hubungan diplomasi yang terjalin dengan China terus berlanjut hingga kekhiafahan Umayyah melalui jalur laut. Dari sini, sudah barang pasti utusan utusan khilafah tersebut melalui wilayah Nusantara mengingat ia adalah penghubung antara Timur Tengah dan Asia Timur.
Jejak jejak khilafah di Nusantara juga terindra melalui makam tua milik Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Beliau adalah juru dakwah yang sengaja dikirim oleh Samudera Pasai untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa. Tak sendiri, bersama kakek, cucu cicit, paman, keponakan dan murid murid pilihan yang kemudian disebut wali songo, misi dakwah dijalankan. Perlahan tapi pasti, upaya tersebut mampu melumat dominasi Majapahit yang kala itu merupakan pusat pemerintahan rezim. Bertolak dari Gresik inilah, Islam kemudian menyebar ke kota kota lain bahkan sampai ke luar Jawa seperti Maluku, Ternate, Makassar dan sebagainya.
Di akhir acara, Kyai Rohmad S Labib mengingatkan bahwasanya Islam dan kekuasaan adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan. Mengutip perkataan imam Al Ghazali, agama ibarat kata adalah dasar atau pondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Dimana segala sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan mudah roboh, dan segala sesuatu tanpa penjaga dipastikan akan mudah hilang. Inilah yang mestinya sekarang diperjuangkan oleh umat, dan tidak perlu ditakuti eksistensinya mengingat ia adalah ajaran dari Allah. Sehingga mustahil jika penerapannya justru mendzolimi.
Terakhir, beliau juga mengingatkan bahwa sejarah kegemilangan khilafah ini akan berulang kembali sebagaimana apa yang telah dikabarkan oleh Rasulullah. Sehingga sia sia saja, bahkan berdosa siapapun pihak yang berupaya menghalangi penegakannya. Karena tak ubahnya, mereka seakan tengah menghentikan terbitnya matahari.