*oleh : Anggraeni1453*
Beberapa waktu terakhir publik di gemparkan dengan penangkapan Djoko Candra. Terpidana mega korupsi yang telah melakukan tindak pidana pengalihan hak tagih hutang bank Bali dan menjadi buronan selama 11 tahun. Tindakannya menyebabkan kerugian negara mencapai 904 M.
Di tahun 2009 Mahkamah Agung telah menjatuhkan hukuman kepada Djoko Candra berupa hukuman penjara 2 tahun, denda 15 juta dan mengembalikan uang 546 M kepada negara. Namun sehari sebelum putusan MA, Djoko kabur meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Port Moresby, Papua Nugini. (https://nasional.kompas.com/read/2020/08/01)
Setelah sekian lama tak terdengar, jejak Djoko Candra muncul kembali di Indonesia bahkan Djoko telah membuat E-KTP dan paspor. Tentu hal ini tidak akan mampu di lakukan tanpa adanya bantuan pihak berwenang. Tak tanggung-tanggung 3 nama jendral polisi terseret sebagai pihak yang membantu pelarian dan pengurusan administrasi Djoko Candra. Ketiga jendral kini telah dicopot dari jabatannya (https://jambiekspres.co.id/read/2020/07/18)
Brigjen Prasetijo Utomo telah berstatus tersangka karena diduga membantu pelarian buronan tersebut dengan menerbitkan surat jalan dan turut berperan dalam penerbitan surat kesehatan.
“(Motifnya) mau menolong saja,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono (https://nasional.kompas.com/read/2020/07/30)
*Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia*
Kasus Djoko Candra kembali menorehkan tinta akan bukti bobroknya penegakan hukum Indonesia. Bahkan hal itu dilakukan oleh oknum kepolisian yang notabene sebagai aparatur penegak hukum.
Merupakan hal yang sangat naif jika di katakan rasa ingin membantu sebagai motif oknum yang mempermudah pelarian Djoko. Slogan "tidak ada makan siang gratis" tentu sudah menjadi rahasia publik yang berarti tidak ada bantuan gratis, terlebih terhadap buronan koruptor.
Hal ini tentu menambah daftar panjang korupsi di Indonesia. Menunjukan bobroknya birokrasi dan mental pejabat negeri. Kuasa korporasi telah mengendalikan para pejabat di semua lini.
Dari segi penjatuhan hukuman kepada Djoko di tahun 2009 pun tergolong hukuman ringan. Hanya berupa hukuman penjara 2 tahun atas tindak pidana mega korupsi yang dilakukannya. Padahal ada banyak hukuman yang jauh lebih berat yang disanksikan kepada rakyat atas kejahatan ringan. Bahkan tindakan kejahatan di lakukan demi bisa mengganjal perut.
Sempat viralnya berita pencurian atas 7 batang pohon jati di lahan milik sendiri hingga mendapat hukuman 5 tahun penjara. Dan ada banyak kasus lain yang terbilang sepela namun mendapat sanksi hukum yang cukup berat (https://www.idntimes.com/news)
Tentu hal ini menjadi bukti mahalnya keadilan hukum saat ini. Rakyat kecil dengan tindak pidana ringan akan mudah mendapat hukuman berat atas kejahatannya. Sebaliknya para pengusaha ataupun orang-orang yang memiliki kekuasaan yang melakukan tindak kejahatan yang memberikan kerugian besar atas negara justru mendapat hukuman ringan. Bahkan ketika dalam penjara pun bisa mendapat fasilitas bak di hotel bintang lima.
Kejahatan sekecil apapun memang tidak menjadi pembenaran atas tindak kejahatan tersebut. Namun ketidaksesuaian sanksi yang diberikan inilah yang menjukkan ketidakadilan hukum.
*Islam Mengatasi Korupsi*
Islam merupakan agama paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk urusan pemerintahan. Dalam pandangan Islam kekuasaan ada di tangan rakyat dan kedaulatan ada pada Allah (Alquran dan Hadis).
Dalam pemerintahan Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik negara maupun harta milik masyarakat. Termasuk ghulul adalah korupsi, yakni penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi.
Adapun aturan islam dalam mencegah korupsi sebagai berikut :
Pertama, dibentuknya badan pengawasan keuangan yang ketat
Kedua, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Negara memberikan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Kebutuhan kolektif seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan di peroleh secara gratis.
Ketiga, ketaqwaan individu. Sebagai seorang Muslim akan menganggap bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan benar, karena akan dimintai pertanggung jawaban di dunia dan akhirat.
Keempat, sanksi yang tegas. Setelah ketiga hal sudah dipenuhi benteng terakhir atas tindak korupsi adalah pemberian sanksi yang tegas terhadap koruptor. Sanksi diberikan sesuai dengan seberapa besar korupsi yang di lakukan, bahkan bisa sampai sanksi bunuh. Hal ini tentu akan memberikan efek jera bagi pelaku dan peringatan tegas bagi orang lain agar tidak melakukan tindak kejahatan seperti itu. Uang hasil korupsi juga wajib di kembalikan seluruhnya kepada negara.
Demikian islam mencegah dan mengatasi masalah korupsi. Yang saat ini korupsi merupakan tindak kejahatan yang tubuh subur hampir di seluruh negara di dunia.
Semua itu hanya bisa terwujud ketika syariat islam diterapkan secara menyeluruh.
Wallahu 'alam bish shawab