(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Isu Khilafah, seakan tak habis diperbincangkan. Gagasan ini, pelan tapi pasti mulai dikenal masyarakat di berbagai komunitas dan jenjang pemikiran. Bahkan nyaris diterima sebagai visi baru perubahan di tengah gagalnya sistem sekuler-kapitalis memberi kehidupan yang menenteramkan. Rupa-rupanya, realitas inilah yang membuat para penjaga sistem sekuler-kapitalis meradang dan menganggap kesadaran umat akan Islam sebagai lonceng kematian. Maka berbagai cara pun dilakukan agar arus itu bisa dihadang. Termasuk memisahkan umat dari pemahaman Islam kaffah, ide Khilafah, dan para pengusungnya.
Padahal, jika umat Islam mau mencermati dan menelusuri sejarah Islam di Indonesia, maka sesungguhnya beberapa wilayah Indonesia pernah menjadi bagian dari Khilafah. Para ahli sejarah mengakui, Kekhilafahan Islam itu memang ada dan menjadi kekuatan politik riil umat Islam.
Setelah masa Khulafaur Rasyidin, di belahan Barat Asia muncul kekuatan politik yang mempersatukan umat Islam dari Spanyol sampai Sind di bawah Kekhilafahan Bani Umayah (660-749 M), dilanjutkan Kekhilafahan Abbasiyah, kurang lebih satu abad (750-870 M), serta Kekhilafahan Utsmaniyah sampai 1924 M.
Adanya kekuatan politik di Asia Barat yang berhadapan dengan Cina, telah mendorong tumbuh dan berkembangnya perdagangan di Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Samudra Hindia. (Uka Tjandrasasmita, “Hubungan Perdagangan Indonesia-Persia (Iran) Pada Masa Lampau (Abad VII-XVII M) dan Dampaknya terhadap Beberapa Unsur Kebudayaan” Jauhar Vol. 1, No. 1). Hal ini dengan sendirinya berdampak bagi penyebaran Islam dan tumbuhnya kekuatan ekonomi, karena banyaknya pendakwah Islam yang sekaligus berprofesi sebagai pedagang.
Adalah Abu Abdullah Muhammad bin Battutah atau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Batutah telah menuliskan laporan perjalanannya keliling dunia dalam kitab kanzul ulum. Berikut beberapa catatan perjalanan beliau yang kami ambil dari sumber http://www.mail-archive.com/jamaah@arroyyan.com/msg01518.html.
Di Gresik (daerah Leran) ditemukan batu bertahun 1082 Masehi berhuruf Arab yang menceritakan bahwa telah meninggal seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang beragama Islam. Lalu disekitar tahun 1350 saat memuncaknya kebesaran Majapahit, di pelabuhan Tuban dan Gresik banyak kedatangan para pedagang Islam dari India dan dari kerajaan Samudra (Aceh Utara) yang juga awalnya merupakan bagian dari Majapahit, disamping para pedagang Majapahit yang berdagang ke Samudra. Juga menurut cerita, ada seorang putri Islam berjuluk Putri Cempa dan Putri Cina yang menjadi isteri salah satu raja Majapahit.
Sangat toleransinya Majapahit terhadap Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat kerajaan Demak.
Masih dalam kitab Kanzul Ulum yang ditulis oleh Ibn Bathuthah yang kini tersimpan di Museum Istana Turki di Istanbul, disebutkan bahwa Walisongo dikirim oleh Sultan Muhammad I. Awalnya, ia pada tahun 1404 M (808 H) mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta dikirim sejumlah ulama yang memiliki kemampuan di berbagai bidang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa.
Jadi, Walisongo sesungguhnya adalah para dai atau ulama yang diutus khalifah di masa Kekhilafahan Utsmani untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Dan jumlahnya ternyata tidak hanya sembilan (Songo). Ada 7 angkatan yang masing-masing jumlahnya sekitar sembilan orang. Memang awalnya dimulai oleh angkatan I yang dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim (kemudian dikenal dengan nama Sunan Gresik), asal Turki, pada tahun 1400 an. Ia yang ahli politik dan irigasi itu menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. Seangkatan dengannya, ada dua wali dari Palestina yang berdakwah di Banten. Yaitu Maulana Hasanudin, kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliudin.
Dalam penyebaran agama Islam, Sunan Gresik merangkul masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Michael Laffan, dalam buku Sejarah Islam di Nusantara (2015) menceritakan bahwa Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim merupakan keturunan Arab yang menempuh perjalanan ke Nusantara untuk menyebarkan agama Islam.
Sunan Gresik tiba di Nusantara sekitar 1404 dari Champa (sekarang Vietnam) dan meninggal di Gresik pada 1419. Sunan Gresik tiba di Tanah Jawa tepatnya di Desa Sembalo, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Kemudian menetap dan berdakwah ke masyarakat.
Jadi, jikalaupun saat ini ada anak keturunan gresik yang merindukan akan khilafah, tentu tidak bisa dianggap berlebihan. Bukankah memang Gresik ada dalam catatan sejarah, telah berhubungan mesra dengan khilafah?
Wallahu a’lam bi ash showab