Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan peradaban
Sudah lazim ketika seorang biduan dangdut bergoyang saweran datang. Lumayan buat tambahan, selain bayaran dari yang punya hajatan. Namun sayang, saat Corona tak kunjung pulang, goyang Sang Biduan kian melemah, hendak makan apa esok, tak ada tersisa kecuali goyangan.
Pandemi Covid-19 jadi kambing hitam setelah gelombang PHK bermunculan, pengangguran bertambah, kriminal merajalela, harga kebutuhan pokok kian tak terjangkau sementara orang dibatasi geraknya dan dipaksa berdiam diri di rumah. Simalakama, keluar dicap warga tak disiplin , di dalampun bisa-bisa mati kelaparan sebab tak ada uang.
Aksi biduan dangdut dan seniman barongan di Alun-alun Kudus tuntut izin manggung, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan demikian isi berita yang dilansir dari detiknews.com, Senin, 31 Agustus 2020.
Masa berpusat di depan kantor Bupati Kudus, Senin (31/8/2020) mulai pukul 09.00 WIB. Acara dimulai dengan aksi joget bersama di Alun-alun simpang tujuh Kudus. Para pekerja seni di Kudus juga tampak membawa puluhan truk yang membawa sound system.
Tampak mereka pekerja seni yang merupakan penyanyi dangdut menyanyikan sebuah lagu. Mereka juga tampak berjoget bersama-sama. Sambil menyanyi dan berjoget mereka meneriakkan keluhan selama enam bulan tidak bisa bekerja.
Mereka juga membawa spanduk bertuliskan 'izinkan kami manggung gae bisa bayar cicillan', 'nyowo mung siji mbotgae ku mung seni nik ora diizini suwe-suwe mati', 'dunia sepi tanpa show dangdut'.
Wajar, jika rakyat kecil ketika lapar yang dituntut adalah penguasa. Sebab jika mereka kaya tentunya masih ada ladang lain guna mencari rezeki. Maka disinilah perlunya seorang pemimpin yang peka, ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Sebab faktanya memang rakyat itu beragam, tidak semua konglomerat ataupun punya ladang bisnis berat. Maka, negara harus punya mekanisme yang mampu menjamin kesejahteraan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka.
Mekanisme yang dimaksud disini adalah sebuah sistem pembiayaan negara terhadap segala kebutuhan rakyat, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, ekonomi, pendidikan dan keamanan. Yang pada saat pandemi ini jeblok, negara seolah tak berdaya menghadapi gempuran virus ini sejak Maret, hingga hari ini belum ada titik terang kapan segera berakhir.
Hari ini pemasukan negara yang dirangkum dalam APBN adalah berasal dari pajak, utang dan sedikit pendapatan negara dari sektor mikro. Yang mana dua pos utamanya , pajak dan utang berbasis riba. Sehingga makin memberatkan negara, sekaligus menjadikan negara ini mudah didikte negara lain ( pemberi utang) untuk terus-terusan berutang.
Resesi yang terus disebutkan oleh menteri ekonomi Sri Mulyani bak momok tak terkalahkan yang siap makin melumatkan perekonomian dunia, khususnya Indonesia. Padahal asal muasalnya adalah dari muamalah yang berbasis riba. Meskipun masih ada sektor real ( mikro) namun tak cukup kuat menyangga pertumbuhan ekonomi yang lumpuh ini.
Para pedangdut itulah pihak pertama yang merasakan sulitnya mencari uang. Ketrampilan terbatas yang otomatis menghambat mereka mengakses faktor-faktor ekonomi. Misalnya langkanya lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, sesama pekerja seni, sekelas anak band, tentu akan berbeda dengan yang mereka hadapi, sebab anak band berduit. Apapun bisa mereka bayar, baik panggung, massa, moment dan sebagainya.
Disinilah mesti ada muhasabah baik dari sisi pemerintah maupun rakyat, untuk mengevaluasi sudahkah pengurusan urusan umat berjalan sesuai program yang ditetapkan, atau mereka hanya membuang uang anggaran justru yang mubazir dengan membiarkan rakyat lapar dan menuntut.
Sedangkan tuntutan rakyat yang terzalimi bisa menggetarkan Arsy Allah dan menjatuhkan azab baik di dunia maupun diakhirat, pilih mana? Mendengarkan tuntutan rakyat dan mengadakan perubahan ataukah mengabaikan tuntutan mereka yang artinya siap-siap di eliminasi dari Rahmat Allah. Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR. Tirmidzi). Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini