Dispensasi Nikah Di Masa Pandemi, Masalah Atau Solusi



Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis

di masa pandemi, selain tingginya angka kehamilan dan perceraian, pengajuan dispensasi nikah juga menjadi salah satu aspek yang diperhatikan banyak kalangan. Jawa Barat tercatat menjadi salah satu provinsi penyumbang angka perkawinan bawah umur tertinggi di Indonesia, berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2020.

Dispensasi nikah adalah ijin melakukan pernikahan di bawah umur (mengacu pada UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan usia boleh menikah adalah 19 tahun), disebabkan karena berbagai faktor pemberat, sehingga pernikahan harus segera diselenggarakan.

Menanggapi kondisi ini, para pengamat melayangkan pro dan kontra. Sebut saja Dosen FH Unpad Sonny Dewi Judiasih menyarankan pengadilan jangan mempermudah izin dispensasi kawin. Fakta di lapangan, hampir 90 persen permohonan dispensasi perkawinan dikabulkan oleh hakim. Hakim sepatutnya mempertimbangkan alasan yang menjadi dasar permohonan dispensasi. Sonny menjelaskan, pertimbangan mengadili permohonan dispensasi kawin harus mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019. (www.Kompas,co.id, 8/7/2020)

Salah satu pengadilan agama yang memiliki angka pengajuan dispensasi nikah cukup tinggi adalahPengadilan Agama Jepara, Jawa Tengah. Pihak pengadilan menjelaskan, sampai pada tanggal 26 juli kemarin, tercatat ada 240 permohonan dispensasi nikah.

Dijelaskan www.jawa pos.co pada tanggal 26 juli 2020, menurut Ketua Panitera Pengadilan Agama Jepara, Taskiyaturobihah, bahwa 240 pemohon dispensasi nikah, yang hamil terlebih dahulu berjumlah sekitar 50 persen. Sedangkan selebihnya karena faktor usia yang belum sesuai aturan, namun sudah berkeinginan menikah.

Masih menurut www.jawapos.co, banyaknya permohonan dispensasi nikah tidak hanya terjadi di Pengadilan Agama Jepara, melainkan hampir menyeluruh setelah ada penambahan batas minimal usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. 

Tingginya permohonan dispensasi nikah menyisakan sejumlah permasalahan yang tak kunjung terurai. Sepanjang 2018, berdasarkan catatan BPS, provinsi dengan jumlah persentase pernikahan muda tertinggi adalah Kalimantan Selatan sebanyak 22,77%, Jawa Barat (20,93%), dan Jawa Timur (20,73%).

Ada beberapa aspek yang patut menjadi catatan merah atas fenomena dispensasi nikah pada pasangan anak ini. Salah satunya adalah pemahaman kurang tepat dari orang tua. Sebagaimana yang diungkapkan Susilowati dalam Webinar “Dispensasi Nikah pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan Terhadap Upaya Meminimalisir Perkawinan Anak di Indonesia” yang digelar FH Unpad, Jumat (3/7). Bahwa ada banyak orang tua yang ternyata menganggap anak perempuan adalah beban ekonomi. Agar tak lagi menjadi beban keluarga, mereka memilih menikahkan anak-anak mereka di usia yang masih muda.  Beratnya beban hidup di era kapitalis, ditambah pemahaman agama yang kurang, menyebabkan pemahaman ini berkembang di tengah masyarakat. 
Selain pemahaman kurang tepat dari orang tua, di sisi anak juga sama. Dunia Pendidikan yang tak jelas tujuan, arah, dan visinya, tidak pernah mengajarkan bagaimana membentuk kepribadian saleh dan salihah bagi anak. Ditambah lagi, tumbuhnya anak di lingkungan yang serba sekuler-kapitalistik turut menyumbang kerusakan generasi hari ini. Tontonan tak layak banyak tersaji di layar kaca maupun media sosial. Pergaulan bebas tanpa batas. Standar perbuatan tak lagi memandang halal haram. Liberalisasi sistem sosial membuat remaja terombang-ambing dalam perbuatan amoral. Kehidupan hedonis dan permisif juga turut membentuk perilaku seks bebas. Semua itu berpangkal dari sistem sosial yang sekuler dan liberal.

Islam memiliki seperangkat aturan lengkap yang mengatur tentang kehidupan personal dan komunal. Aturan Islam diberlakukan bagi individu dan masyarakat. Sementara negara, berperan sebagai pelaksana dan pengontrol agar hukum Islam diterapkan secara keseluruhan.

Fenomena dispensasi nikah berawal dari rusaknya tatanan sistem pergaulan yang berlaku di tengah masyarakat. Islam memilki solusi tuntas dalam mengatasi hal ini. Sistem ekonomi islam yang diterapkan negara, meniscayakan setiap warga negara bisa mengakses kebutuhan pokonya. Karena dasar dari sistem ekonomi islam memang distribusi kekayaaan, bukan pendapatan negara. Sehingga negara Islam akan memenuhi kebutuhan dasar setiap rakyat. kebutuhan itu berapa pemberian sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan kepada setiap individu.
Pemahaman agama yang kuat, yang juga menjadi program negara, akan menjadikan Semua warga qonaah terhadap garis hidupnya. Sehingga tidak ada warga yang merasa sempit hidupnya sehingga harus menikahkan anaknya jika memang belum siap menikah.

Selanjutnya Negara akan menerapkan kurikulm pendidikan berbasis akidah Islam, bukan akidah sekuler. Pendidikan dalam Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian yang Islami, yakni pola pikir dan pola sikap sesuai tuntunan Islam. Sehingga mereka akan terjaga dan mempersiapkan pernikahan dengan optimal. Terlebih sistem sosial akan menjaga agar tidak terjadi pergaulan bebas, karena aka nada control dari masyarakat dalam bentuk amar ma’ruf nahi mungkar. 

Selain itu, negara akan memberin sanksi tegas terhadap pelaku pergaulan bebas, sehingga kasus – kasus hamil di luar nikah bisa teratasi. Negara juga akan melakukan pencegahan terhadap hal-hal yang merangsang naluri jinsiyah (seksual) seperti konten pronografi, pornoaksi, tayangan TV, media sosial, dan sebagainya.

Di sinilah peran penting tiga pilar: individu yang bertakwa, masyarakat yang berdakwah, dan negara yang menerapkan sistem politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan secara menyeluruh.
Semua itu hanya bisa terintegrasi dalam satu institusi yang melaksanakan syariat Islam secara utuh yaitu negara Khilafah Islamiyah.

Wallahu'alam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak