Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
PILKADA serentak 2020 menjadi musim semi suburnya dinasti politik. Banyak keluarga elite politik yang sedang berkuasa ramai mencalonkan keluarga intinya maju pilkada.
Dulu, dinasti politik hanya semarak di daerah. Kini justru menjangkit kalangan Istana. Sebut saja, misalnya, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju di pilkada Solo, putri Wapres Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah, ponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati, serta Pilar Saga Ichsan dari trah dinasti politik Ratu Atut Chosiyah saling bertanding di Tangerang Selatan. Lalu, anak Seskab Pramono Anung, Hanandhito Himawan Pramono, maju di Kediri.
Ada pula menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang siap tanding di pilkada Kota Medan, anak bupati nonaktif Saiful Ilah, Achmad Amir Aslichin bakal calon di Sidoarjo, adik ipar Gubernur Jateng, Zaini Makarim Supriyatno, akan maju di Purbalingga. Lalu, anak Bupati Tuban, Fredy Ardliyan Syah, bakal maju di Tuban, anak Wali Kota Metro, Ardito Wijaya, di pilkada Kota Metro, dan sebagainya.
Dinasti politik merupakan praktik politik elite berkuasa yang melibatkan lingkaran keluarga inti dalam pertarungan kekuasaan. Misalnya, saudara kandung, anak, istri, menantu, dan ipar. Klan politik merupakan istilah lain dari dinasti politik untuk mendeskripsikan warisan feodalisme politik masa lalu yang diadopsi hingga saat ini. Dinasti politik merupakan bentuk sempurna dari patronase elite penguasa yang didasarkan pada hubungan keluarga ataupun hubungan darah yang bertujuan membangun monarki politik dalam demokrasi.
Dalam demokrasi, patronasi biasa terjadi, sekalipun sistem ini sering diklaim sebagai sistem politik yang menonjolkan kesetaraan pada siapa pun. Mitosnya, rakyat jelata diberikan hak memenangkan kontestasi sebagai penguasa atau penentu kebijakan. Namun realitasnya, kesempatan untuk mengecap kekuasaan hanya diberikan pada person yang memiliki akses dan peluang besar untuk meraih posisi itu.
Tanpa melakukan penelitian lebih jauh, setiap orang yang memiliki minat terhadap politik akan mampu menyimpulkan bahwa sistem demokrasi adalah tersangka utama yang melahirkan dinasti politik. Hal itu kembali menjadi bukti tentang mitos demokrasi yang katanya mendasarkan keterpilihan berdasarkan prestasi. Nyatanya, representasi rakyat tak mendapatkan tempat dalam praktik demokrasi. Karena memang telah menjadi rahasia umum bahwa yang bisa melenggang ke panggung kekuasaan adalah mereka yang di dukung ketua partai dan pastinya bermodal tebal. Artinya siapa yang mendapat dukungan para kapitalis dan mampu mendapat restu ketua partai, bisa dipastikan mengenai mulusnya jalan menuju kursi kekuasaan.
Kita bisa saksikan, sebenarnya ada larangan politik dinasti yang dituangkan dalam Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Namun kemudian, dibatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Kenyataan itu menimbulkan pertanyaan bagi para pegiat antikorupsi; apa yang membuat 9 hakim MK sepakat dengan penggugat pasal 7 itu?
Demikianlah sederet kecacatan demokrasi akan senantiasa terlihat sepanjang sejarah manusia. Karena itulah, Allah Sang Mudabbir telah mengatur sistem pemerintahan dalam Islam sebagai sistem yang sangat sederhana.
Prosesi pengangkatan pemimpin dalam Khilafah Islamiyah amat simpel sekaligus steril dari permainan politik. Kesederhanaan itu tidak memerlukan biaya tinggi ataupun lapisan regulasi yang mudah dipermainkan oknum yang tak takut akan pengawasan Allah.
Semua itu bisa terjadi karena pengangkatan Khalifah tidak memiliki tujuan selain menegakkan hukum Allah –yang dipastikan keadilannya bagi manusia– melalui kekuasaan.
Wallahu a’lam bi ash showab