DILEMA PEMBUKAAN SEKOLAH DI TENGAH WABAH



Oleh: Nur Khasanah

Selama pandemi covid-19, banyak keluhan dari para orang tua siswa terkait kebijakan pembelajaran daring yang dilakukan di rumah dengan orang tua sebagai guru sementaranya. Tugas-tugas yang bertumpuk dan dirasa tidak masuk akal oleh para orang tua siswa menjadi beban tersendiri. Pasalnya tidak semua orang tua siswa mengenyam pendidikan tinggi dan paham akan materi yang diajarkan. Banyak diantaranya yang lulusan SMA, SMP bahkan tidak sedikit yang hanya mengenyam pendidikan di tinggat SD. Selain itu, orang tua yang tidak biasa mengajar selayaknya guru menjadi batu sandungan bagi pemahaman anak-anak mereka. Jasa bimbingan belajar pun menjadi salah satu solusi, akan tetapi tentu biaya yang harus dianggarkan pun akan bertambah. Belum lagi kuota internet, hp android dengan standar spesifikasi yang lumayan agar mampu membuka media-media pembelajaran dan menampung semua tugas. Tentu beberapa hal ini telah sukses membuat otak para orang tua siswa mendidih.

Pemerintah pun menanggapi keluhan para orang tua siswa. Melalui mentri pendidikannya, pemerintah berencana membuka sekolah tingkat atas dan perguruan tinggi agar dapat belajar dengan tatap muka langsung dengan mengikuti protokol kesehatan secara ketat. Sistem zonasi pun menjadi salah satu syaratnya. Padahal sistem zonasi yang saat ini ditetapkan oleh pemerintah pun tidak akurat. Pemerintah menetapkan zona berdasarkan tiga warna yaitu merah, oranye, dan hijau. Pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, menyebutkan bahwa pembagian zona tersebut tidak akurat. Sebab penentuan suatu daerah menjadi merah, kuning, atau hijau, bergantung pada pengujian. Apalagi menjelang pilkada, dimana beberapa kepala daerah tidak menggencarkan tes demi citranya. Selain itu, penetapan zona pun dinilai tidak akurat. Lalu, tepat kah keputusan pemerintah untuk membuka sekolah-sekolah?

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut sekolah masih kebingungan mempersiapkan new normal, terutama kegiatan belajar mengajar. Keputusan pemerintah atas dibukanya sekolah dan melakukan kegiatan belajar dengan tatap muka dianggap terlalu tergesa-gesa. Berkaca dari negara-negara lain, seharusnya pemerintah tidak terburu-buru karena bisa jadi pembukaan sekolah ini berpotensi menjadi klaster baru dalam penyebaran covid-19. Selain itu, pihak sekolah harus mengalokasikan anggaran yang tidak sedikit untuk membeli thermo gun, masker, cairan desinfektan, menyiapkan banyak tempat cuci tangan. Di saat pandemi belum ada pun sekolah masih kesulitan untuk menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran. Jadi wajar jika banyak sekolah yang masih kebingungan dan mengeluh untuk melaksanakan kegiatan belajar dengan tatap muka langsung. Kedisiplinan anak-anak dalam menjaga jarak juga patut diawasi dengan ketat.

Dari awal adanya covid-19 pun pemerintah seakan abai dan meremehkan. Lockdown yang merupakan bagian dari syariat Islam dalam mengatasi pandemi dan juga sebagai salah satu solusi yang diambil oleh sebagian besar negara-negara di dunia pun diabaikan. Alhasil covid-19 menyebar ke penjuru Nusantara dengan cepat. Apalagi penularan virus satu ini tidak memandang status, usia, jenis kelamin dan lainnya. Penerapan new normal pun terkesan terlalu terburu-buru. Akibatnya kurva korban pun terus melonjak naik. Apalagi dengan membuka sekolah, tentu hal ini akan sangat rawan sekali. Sedangkan keluhan dari para orang tua, murid dan guru terkait sistem pembelajaran online, seharusnya pemerintah mengevaluasi diri terkait sistem pembelajaran ini.
Sudahkah pemerintah memaksimalkan upayanya dalam penyiapan kurikulum terbaik untuk para siswa dan guru selama pandemi? Solusi apa yang ditawarkan oleh pemerintah saat guru-guru kebingunan dalam menyiapkan perangkat pembelajaran, bagaimana dengan gadget untuk siswa kurang mampu, kuota, serta perangkat lainnya?

Tentu kesulitan para orang tua, guru maupun siswa musti dijadikan pertimbangan dalam memutuskan apakah kegiatan belajar mengajar segera dilaksanakan ataukah tidak. Terlebih covid-19 masih bergentayangan dan korbanpun terus meningkat. Tentu kita tidak ingin menjadikan anak-anak kita sebagai tumbal atas kelalaian pemerintah. Jika kita menengok ke sebuah peradaban yang bahkan pernah menaungi 2/3 bagian wilayah dunia, maka kita akan menjumpai sebuah negara yang peduli dan bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya. Sejak awal, negara ini tidak menganggap segala sesuatu yang membahayakan rakyat -seperti masuknya virus-, sebagai perkara remeh. Dengan segenap perangkat yang dimiliki negara ini akan memproteksi rakyat dari bahaya tersebut. Apalagi hingga menjadi wabah, dengan cekatan negara akan mengisolir suatu wilayah yang terinfeksi agar tidak terjadi peningkatan penularan. Negara tersebut juga memahami bahwa dia lah yang berkewajiban menyiapkan dan mengatur segala urusan dalam sistem pendidikan, baik kurikulum, metode pembelajaran, sarana dan prasarana baik fisik maupun non fisik. Negara itu adalah Khilafah. Negara berdasar hukum Islam yang berdiri kokoh hingga lebih dari 12 abad. Membentuk sebuah peradaban besar dunia yaitu peradaban Islam di bawah naungan khilafah. Sebab Islam menegaskan bahwa "Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Maka, peradaban agung seperti inilah yang kita harapkan memimpin kita kembali. 
Wallahu a’lam bish-showab. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak