Oleh : Suci Hardiana Idrus
Wahai Umat, sadarkah kita bahwa keimanan yang hari ini kita dapatkan adalah hasil dari dakwah ulama-ulama terdahulu yang rela mengelana demi tersampaikannya agama Allah dan risalah rasul-Nya hingga ke bumi Nusantara? Bisa dikatakan, tak ada Islam yang kini jadi mayoritas di Nusantara tanpa ulama pada masa itu. Maka, Walisongo adalah para ulama yang diutus oleh Sultan Mahmud l dari Khilafah Utsmaniyah untuk menyebarkan Islam di Nusantara.
Para wali ini datang dimulai dari Maulana Malik Ibrahim, asli Turki, ahli politik dan irigasi. Dialah peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. Kemudian Ia wafat di Gresik, sehingga dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Seangkatan dengannya ada dua wali dari Palestina yang berdakwah di Banten yaitu Maulana Hasanudin, kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliyuddin. Jadi, masyarakat Banten sesungguhnya punya hubungan biologi dan ideologi dengan Palestina.
Oleh karena itu, mayoritas penduduk Indonesia menjadi muslim tak lepas dari dakwah yang disampaikan oleh para dai yang diutus oleh Khilafah. Kemusliman itu amat berpengaruh dalam dinamika kehidupan bangsa dan negara ini, termasuk dalam tahap-tahap awal perjuangan kemerdekaan. Itu semua tidak bisa lepas dari jasa para khalifah pada masa lalu yang tak henti melancarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia, khususnya ke negeri ini.
Di tahun 2015, Sri Sultan Hamengku Buwono X pernah memberikan sambutan dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUll) Vl di Yogyakarta, yang bercerita tentang hubungan Khilafah Utsmaniyah dengan Tanah Jawa. Pada tahun 1497, Sultan Turki Usmani meresmikan Kesultanan Demak sebagai perwakilan resmi Khilafah Utsmaniyah di tanah Jawa. Peresmian tersebut ditandai dengan penyerahan bendera hijau yang bertuliskan kalimat tauhid. Dan bendera hadiah dari Sultan Utsmani masih ada dan tersimpan dengan baik di Keraton Yogya. Sultan Turki pula yang mengukuhkan Raden Fatah sebagai Khalifatullah di Jawa. Penyerahan bendera hitam dari kiswah Ka'bah bertuliskan kalimat tauhid, dan bendera hijau yang bertuliskan Muhammad Rasulullah. Penyerahan bendera tersebut sebagai tanda perwakilan Khilafah Turki di Tanah Jawa.
Selain itu, jejak Khilafah pun bisa kita lihat di Aceh. Ekspedisi Khilafah ‘Utsmaniyah ke Aceh dimulai sekitar tahun 1565 M, ketika Khilafah Utsmaniyah membantu Kesultanan Aceh dalam pertempuran melawan Portugis di Malaka. Ekspedisi dilancarkan setelah dikirimnya duta oleh Sultan Alauddin al-Qahhar (1539–1571 M) kepada Sulaiman al-Qanuni pada tahun 1564 M, dan kemungkinan lebih awal, sekitar tahun 1562 M, saat meminta bantuan Khilafah ‘Utsmaniyyah untuk melawan Portugis.
Melansir dari REPUBLIKA.CO.ID, pada 2 Januari 2020, Sultan Alauddin Ri'ayat Syah pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam mengirim surat kepada Turki Utsmani yang dipimpin Sultan Sulaiman al-Qanuni. Dalam suratnya Sultan Alauddin Ri'ayat Syah meminta bantuan untuk menghadapi Portugis yang sedang merebut bandar-bandar atau kota pelabuhan dan akan menyerang Aceh Darussalam.
Ketua Umum Lembaga Masyarakat Peduli Sejarah Aceh, Mizuar Mahdi menerangkan, Sultan Aceh Darussalam menyampaikan kepada Sultan Turki Utsmani bahwa Portugis merebut bandar-bandar dengan membawa misi-misi lain. Sebagai buktinya, masyarakat Muslim di Manila bagian utara Filipina sebagian besar murtad oleh Spanyol.
Mizuar juga menceritakan, di masa lalu Selat Malaka adalah wilayah paling strategis yang dulunya dikawal dan dikontrol oleh Muslim. Ketika Selat Malaka diganggu atau direbut oleh Portugis, proses pengiriman calon jamaah haji dari berbagai daerah melalui jalur ini terganggu.
Sayangnya, hari ini kita menyaksikan kata Khilafah itu dimonsterisasi. Jihad dikaitkan dengan terorisme. Sehingga menyebut kata Khilafah saja sudah bisa dicap 'radikal' oleh segolongan orang tertentu. Padahal Khilafah adalah bagian dari Islam yang diajarkan di kitab-kitab fiqh. Dari sini muncullah islamophobia. Takut dengan agama sendiri, alergi terhadap syariat.
Di Nusantara hari ini, sebagian orang menganggap Khilafah adalah musuh. Mereka lupa bagaimana jasa pemimpin Islam waktu itu yang tergabung di dalamnya kekhilafahan. Bahkan sejak runtuhnya khilafah yang terakhir pada 3 Maret tahun 1924, sejak itu pula penguburan sejarah dimulai, digantikan dengan sejarah sistem Demokrasi yang merupakan alat penjajahan Barat kafir. Akan tetapi, sejarah Khilafah di nusantara tersebut telah diukir dengan tinta emas. Jejaknya masih bisa kita temukan. Walhasil, keislaman kita hari ini adalah berkat adanya kontribusi Khilafah Utsmaniyah yang membebaskan rakyat dari penjajahan orang-orang Asing yang membawa 3 G (Gold, Gospel, Glori)
Khilafah adalah janji Allah. Meski banyak yang mengingkarinya. Andai seluruh manusia bersatu untuk nolak, maka tak mengurangi kekuasaan Allah untuk menepatinya. Bila saat itu tiba, mungkinkah kita berada dibarisan pejuangnya, ataukah kita yang berbalik mundur mengabaikannya? Sebab, tegaknya Khilafah adalah sebuah kemuliaan untuk umat Islam, dan keberkahannya meliputi alam semesta.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raf: 96)
Orang yang mengaku beriman, tentu tidak sekali-kali mendustakan janji-Nya, apalagi menghalangi. Adalah sebuah kesia-siaan bagi manusia terhadap usahanya tersebut. Bangkitnya umat Islam dari keterpurukan sejalan pula akan kebangkitan Khilafah yang berdiri diatas jalan kenabian. Ada, ataupun tidak ada yang memperjuangkannya. Sebagaimana Allah mampu menciptakan langit dan bumi tanpa manusia. Akan tetapi, Allah senantiasa memilih manusia di antara manusia-manusia terbaik untuk menjadi penolong atas agama-Nya. Maka mereka yang percaya, akan berusaha sekuat tenaga berkontribusi akan tegaknya Khilafah yang kelak membawa kita hidup dalam kemuliaan.
Hanya saja, di antara orang-orang beriman, ada saja orang-orang munafik yang tak menyukai tegaknya Islam. Kaum kafir dan munafik bersatu menghalangi umat Islam yang ingin berjuang atasnya. Maka dibuatlah propaganda, fitnah, stigma serta celaan-celaan yang tak manusiawi agar orang lain tak bersimpati terhadap para pejuang khilafah tersebut. Padahal mereka berjuang semata-mata karena ingin bersama-sama keluar dari keterpurukan dan dominasi negeri penjajah yang bertindak sesuai dengan hawa nafsu tanpa mengindahkan perintah dan larangan Allah.
"Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai."
(QS. At-Taubah : 32)
Wallahu a'lam