BLT Untuk Pegawai Swasta, Tepatkah?





Oleh: Surfida, S.Pd.I
(Pemerhati Sosial)

Pemerintah akan mengeluarkan bantuan untuk para pegawai swasta yang memiliki gaji dibawah lima juta per bulan. Bantuan tersebut  dikeluarkan selama empat bulan. Para pegawai swasta ini akan menerima transferan dari pemerintah sebesar Rp. 600.000 perbulan. Akan tetapi bantuan tersebut dikeluarkan dua bulan sekali, sehingga para pegawai akan menerima sebesar 1,2 juta. 

Pemerintah sudah menganggarkan bantuan ini sebesar  Rp. 31,2 miliar yang akan disalurkan kepada 13,8 juta pekerja. 

Sebagaimana yang diungkap oleh Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Erick Thohir. Beliau mengatakan ada 13,8 juta pekerja yang bakal mendapatkan bantuan ini. Datanya diambil dari BPJS Ketenagakerjaan. Kriterianya mereka bukan PNS-pekerja BUMN dan memiliki iuran di bawah Rp150.000/bulan. Total anggaran yang dipersiapkan pemerintah mencapai Rp31,2 triliun. (tirto.id, 6/8/2020).

Penguasa mengeluarkan bantuan ini untuk mendorong konsumsi masyarakat, dengan harapan ekonomi Indonesia cepat pulih di tengah pandemi. Penguasa juga sudah menyiapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pekerja yang akan menerima bantuan, salah satunya adalah para pekerja yang aktif membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan. 

Namun, rencana pemerintah ini mendapat penolakan dari berbagai pihak,  misalnya Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai BLT untuk pekerja berupah di bawah Rp5 juta ini akan sia-sia. Ia mengatakan alih-alih untuk konsumsi, BLT malah akan disimpan untuk keperluan mendesak di masa depan. Karena para pekerja pada dasarnya kemampuan finansial mereka masih memadai. (tirto.id, 6/8/2020).

Bantuan yang dikeluarkan oleh penguasa ini, patut kita syukuri karena penguasa masih mempunyai tanggung jawab kepada rakyatnya. Akan tetapi bantuan ini tidak begitu tepat sasarannya, karena yang diberikan bantuan adalah rakyat yang tidak di PHK, tetapi para pegawai swasta yang memiliki penghasilan setiap bulannya. Seandainya saja penguasa serius, yang harus diutamakan adalah yang di PHK, atau para pekerja harian yang gajinya tidak menentu, juga rakyat miskin. Memang benar rakyat miskin sudah diberikan bantuan berupa kartu-kartu, semisal PKH, kartu sembako atau bantuan lainnya, tetapi itu kadang tidak tepat sasaran.
Saat awal pandemik, penguasa memang mengucurkan kartu pra kerja untuk yang di PHK.

Akan tetapi, sebelum mendapatkan uang bantuan tersebut, terlebih dahulu harus mengikuti program-program lewat aplikasi yang berbayar dan ini sangat menyulitkan bagi yang membutuhkan. Karena hal itu, penguasa terkesan diskriminasi saat mengurus rakyatnya, karena lebih mengutamakan para pegawai swasta yang notabenenya memiliki penghasilan, dan penghasilan tersebut sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup perbulannya.

Disisi lain, penguasa mengatakan tidak memiliki dana untuk melanjutkan status para honorer yang lulus K2, padahal mereka sudah mengabdi kepada negara sejak lama dengan gaji ratusan ribu dan diterima per tiga bulan. Karena hal itu, membuat Ketum Perkumpulan Hononer K2 Indonesia (PHK2I), Titi Purwaningsih heran dan bingung. "Heran saya, kalau mau angkat PPPK bilang enggak ada duit. Kenapa sekarang malah mau gelontorkan Rp 31 triliun untuk bansos bagi pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta. Lah terus kami ini dianggap apa sih," ketusnya.Beliau juga mengatakan, seharusnya pemerintah malu terhadap 51 ribu lulusan PPPK, yang sampai saat ini belum mendapat kejelasan. (jppn.com, 7/8/2020). 

Oleh karena itu, jika serius mengurus masalah rakyat, penguasa  jangan melihat dari segi apakah ini mampu mendongkrak ekonomi atau tidak. Tetapi yang dilihat adalah apakah mereka sangat membutuhkan bantuan tersebut atau tidak. Jika tidak, maka yang diutamakan adalah yang benar-benar membutuhkan. 

Namun, hal tersebut tidak aneh jika dalam sistem  yang diterapkan saat ini, karena sistem saat ini yang menjadi tujuan utama adalah ekonomi, sehingga penguasa mengeluarkan bantuan setengah hati dan memiliki persyaratan yang berliku-liku agar rakyat pasrah untuk memperoleh haknya. Jika bantuan tersebut tetap terlaksana, target menaikkan konsumsi agar mendongkrak pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai, karena pekerja kelas ini akan menggunakan BLT untuk simpanan mereka dimasa depan.  
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam Sistem Islam, penguasa serius mengurusi rakyatnya. 

Penguasa negara Islam akan mencari tau siapa diantara rakyatnya yang tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, maka ia diberi pekerjaan. Sedangkan bagi rakyat yang tidak mampu bekerja, misalnya sudah tua, cacat dan keluarganya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup orang tersebut, maka negaralah yang bertanggung jawab.
 
Penguasa langsung mengirimkan bantuan kepada yang membutuhkan. Seperti yang pernah dilakukan oleh Umar Bin Khattab, saat ada seorang ibu yang memasak batu karena anaknya lapar, ibu tersebut memasak batu untuk mengelabui anaknya. Setelah melihat hal itu, Umar bin Khattab langsung mengirimkan bantuan, beliau memanggul sendiri bahan makanan yang akan diberikan kepada ibu tersebut.

Penguasa negara Islam sangat takut hidup mewah, jangan sampai mereka bermewah-mewah diatas penderitaan rakyatnya, terlebih dimasa pandemik seperti ini, penguasa akan bergerak cepat untuk melakukan penanganan. Penguasa akan mendata rakyatnya, jika semua terkena dampak dari wabah, maka penguasa akan mengirimkan bantuan tanpa melihat lagi kelas-kelasnya. Seperti pada masa Khalifah Umar bin Khatthab. Saat terjadi wabah, Khalifah Umar segera memerintahkan untuk membangun pos-pos bantuan pangan dan memerintahkan untuk segera memenuhi kebutuhan orang-orang yang datang membutuhkan bantuan. Bahkan bagi mereka yang tidak bisa datang ke pos-pos tersebut, penguasa mengirimkan bantuan pangan secara teratur hingga wabah selesai.

Inilah keistimewaan Islam jika diterapkan. Penguasa yang ada didalam sistem Islam ini, akan serius mengurus rakyatnya. Mereka menjadi pemimpin bukan untuk memperkaya diri, tetapi semata-mata menjalankan perintah Allah swt. Dan ini sangat berbeda dengan  penguasa dalam sistem kapitalisme, mereka menyapa masyarakat jika ada maunya, ketika masih menjadi calon pemimpin. Akan tetapi setelah menjadi penguasa, mereka lupa kepada rakyatnya yang sudah membuat dirinya duduk di kursi kepemimpinan. Yang diingat hanyalah keluarga dan para pendukungnya. 
Wallahu'alam bishowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak