Oleh Ummu Karim
(Ibu Rumah Tangga)
Menyaksikan pelaksanaan Shalat Idul Adha yang lalu di tengah situasi yang penuh pembatasan akibat pandemi, dan semangat berkurban kaum Muslimin yang tetap besar walau sedang diuji dengan ketidakpastian ekonomi saat ini, membuat kita meyakini bahwa Umat Islam ini sadar untuk tetap menegakkan hukum syariah terkait tibanya hari raya yang agung, Idul Adha. Juga kita meyakini bahwa Umat Islam ini tetap sadar untuk menetapi kewajiban yang Allah SWT serukan dengan mengeluarkan sebagian hartanya agar dapat memenuhi syariah berkurban.
Islam yang bersifat universal telah menghadirkan fenomena kemasyarakatan yang khas sepanjang masa perjalanan Umatnya. Pun kemarin, gema takbir ibadah shalat Idul Adha dan kurbannya tetap tergelar di seluruh belahan dunia serentak walau saat ini mereka sedang berada di masa di mana fitnah kekufuran menghantam tiada henti.
Ya, Saudaraku. Ujian pandemi saat ini telah memperjelas banyak hal di depan mata dan hati kita akan kekufuran, kerusakan dan kehancuran sistem yang hingga kini dipaksakan atas hidup kita. Sistem Kapitalisme demokrasi sekuler yang menyerang segala lini kehidupan telah mengantarkan Umat Islam ini laksana sembelihan yang terbaring lemah tak berdaya karena telah diikat semua simpul-simpul kekuatan pergerakannya. Tak terhitung lagi berapa yang meregang nyawa, berapa yang tergelincir dalam keputusasaan dan berapa yang hanyut terbawa arus kemaksiatan. Nastaghfirullaah.
Karenanya, sebagai upaya menjadikan hari raya Idul Adha kita bermakna dan berkah, sejatinya kita merefleksikan perjuangan pengorbanan nabi Ibrahim as dan putranya nabi Ismail as, terhadap perjuangan dan pengorbanan yang diserukan atas diri kita sebagai bagian dari Umat ini. Sebagaimana gambaran yang
diterangkan dalam Al-Qur'an surat Al-Hujuraat ayat 10 yang artinya, " Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara...". Tentunya, penyelamatan segera kehidupan Umat Islam menjadi misi hidup kita sekarang. Dan hingga terwujudnya visi yang satu, yaitu melanjutkan kehidupan Islam demi meraih ridha Allah Ta'ala menjadi target dari pelaksanaan setiap misi. Apalah artinya hidup ini tatkala kita diikat dengan gelimang dosa dan kemaksiatan kepada Allah lalu sekarat dalam putus asa karena seakan tak pantas lagi bertaubat ?
Inilah kita, secara individual maupun kolektif, Umat Islam mengalami hal yang sama. Bak buih di lautan. Terapung2 tak berdaya, tak berharga. Bahkan saudara kita dari Rohingya sedang diuji dengan benar-benar mengalami kenyataan yang sebenarnya yaitu terapung-apung di lautan menunggu kita selamatkan. Maa syaa Allaah.
Sungguh Umat ini membutuhkan pertolongan segera. Tidakkah kita lihat, jika bukan kita, siapa lagi ? Siapapun, di manapun, sejak kapanpun memulai berjuang dengan mengorbankan segala apa yang kita dapati. Mungkin ada yang tertunjuki sebagai pemimpinnya, atau pasukannya. Kelak-sesaat lagi atas seizin-Nya- ada negaranya yang terpilih sebagai negara pembebas dan yang lain negaranya mengikuti melebur bersama negara yang diberkahi itu. Sungguh berharganya negara pembebas itu. Sebuah negara yang mau mengorbankan seraya menyerahkan kekuasaan duniawinya di bawah ketetapan syariah Allah. Pada saat itulah individu-individu umat Islam ini bisa tersatukan. Terselamatkan satu demi satu.
Kakek dan Ayah Umat ini dahulu telah memberi contoh bagaimana seharusnya menyerahkan pengorbanan demi ketaatan penuh kepada Rabb kita. Nabi Ibrahim as dan nabi Ismail as benar-benar telah menuju jalan penyembelihan dalam arti yang sebenarnya. Kini saatnya kita menetapi jalan pengorbanan yang sama untuk meraih keridhaan Allah yaitu dengan menyerahkan ketaatan penuh kepada setiap apa-apa yang diserukan dalam syariah-Nya. Saatnya negeri ini menerapkan syariah Islam kaffah melalui penegakan Khilafah. Allahu Akbar.
Tags
Opini