Oleh: Aghnia Yanisari
(Aktivis Muslimah Banjarmasin)
Berbicara tentang kesetaraan gender, pastinya juga berbicara tentang Feminisme. Paham yang berasal dari barat ini telah berhasil mendunia selama ratusan tahun. Feminisme ialah sebuah gerakan perempuan yang menuntut kesamaan atau kesetaraan dengan laki-laki di berbagai aspek, seperti politik, sosial, dan sebagainya. Kata Feminisme berasal dari bahasa latin femina yaitu perempuan. Ide ini lahir karena adanya diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan di berbagai belahan dunia terutama negeri-negeri Barat.
Pada abad pertengahan di Barat, perempuan mengalami nasib yang begitu tragis. Pada 1595, seorang professor dari Wittenberg University melakukan perdebatan serius mengenai apakah wanita itu manusia atau bukan. Pelacuran merebak di mana-mana dan legal menurut negara. Beredar doktrin gereja dalam memandang perempuan, yakni perempuan adalah sumber dosa. Tercatat pada awal abad 17 di Inggris, terdapat pembunuhan dan pembakaran wanita yang dipelopori para pendeta. Penindasan terhadap perempuan Barat di bawah pemerintahan gereja membuat perempuan menginginkan kebebasan. Perempuan ditindas dari berbagai aspek, hal ini yang mendorong lahirnya gerakan untuk meminta hak individu dan hak sipil yang terampas ratusan tahun lamanya, yakni gerakan menuntut kesetaraan dengan laki-laki.
Kata feminist pertama kali ditemukan pada awal abad ke-19 oleh seorang Sosialis Perancis, Charles Fourier, yang pemikirannya mengenai transformasi perempuan mempengaruhi banyak perempuan. Sebelum istilah feminist, sudah lebih dulu muncul istilah womanisme atau the women movement. Revolusi Perancis 1789 memberi pengaruh besar pada gerakan perempuan di Barat yang memanfaatkan gejolak politik dengan mengusung isu liberty, egality, fraternity. Digelar konferensi pertama kali pada 1848 di New York, yang menghasilakan deklarasi berupa penuntutan hak perempuan. Pada 1949 feminist mulai menggugat untuk menuntut kesetaraan ekonomi secara penuh. Pada 1966, dibentuklah National Organization For Women (NOW), mengkampanyekan tentang legalisasi aborsi, representasi wanita di pemerintahan,dll. Pada 1995, muncullah BPFA (Beijing Platform For Action), yakni kesepakatan yang dilakukan oleh 189 negara anggota PBB dalam rangka melaksanakan konvensi CEDAW (Convention on Elimination of All Forms Discriminations Againts Women) di Beijing, membuat komitmen komprehensif dalam 12 bidang kritis (perempuan dan kemiskinan, perempuan dalam pendidikan dan pelatihan, perempuan dan kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, perempuan dalam situasi konflik bersenjata, perempuan dalam ekonomi, perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan, perempuan dalam mekanisme institusional untuk pemajuan perempuan, HAM perempuan, perempuan dan media, perempuan dan lingkungan hidup, anak perempuan). Yang mana agenda dari kesepakatan itu dijalankan hingga sekarang, memasuki sektor pemerintahan, ekonomi, dan lain-lain.
Di Indonesia sendiri begitu banyak ditemukan gerakan feminisme ini, seperti Narasi Perempuan, Siti Sarah Women Center, Asyiah, dan masih banyak lagi. Pengarusan ide gender bukan hanya diaruskan oleh komunitas masyarakat saja, namun negara pun sudah mempunyai lembaga bernama DPPPA (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada wanita yang terintimidasi atau mengalami tindak kekerasan. Kasus yang ditangani pun beragam, diantaranya merupakan kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, maupun kekerasan oleh buruh migran dan trafficking. Baik dalam ranah pribadi, publik, ataupun pemerintahan. Berdasarkan CATAHU KOMNAS Perempuan, dalam kurun waktu 12 tahun kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hamper 800%), artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampr 8 kali lipat. Kekerasan. Tercatat 259.150 kasus pada 2016, 348.446 kasus pada 2017, 406.178 kasus pada 2018, 431.471 kasus pada 2019, hingga 2020, selama pandemi tercatat 14.719 kasus. (Republika.co.id)
Padahal di Indonesia terdapat payung hukum yang melindungi korban kekerasan, bahkan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku pun beragam. Namun tak juga mampu mengurangi atau menekan kasus kekerasan terhadap perempuan. Setiap tahunnya, bahkan setiap hari selalu ada saja ditemukan tindak kekerasan. Lantas, mengapa permasalahan terhadap perempuan kian meningkat, dan tak juga ditemukan titik penyelesaian?. Jika feminist hari ini menuntut pemerintah agar segera ‘sah’kan RUU P-KS (Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual), apakah mampu untuk menghentikan kasus kekerasan terhadap perempuan?, padahal kebanyakan tindak kekerasan dilatarbelakangi oleh himpitan ekonomi, pergaulan bebas, perselingkuhan, dan sebagainya. Dan benarkah karena tidak adanya kesetaraan gender yang menyebabkan kekerasan terus terjadi? Padahal sudah banyak perempuan yang berlomba-lomba menyamai bahkan menyaingi laki-laki, hingga harus keluar dari fitrahnya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga, namun kasus kekerasan semakin meningkat seiring dengan ide kesetaraan gender yang semakin mencuat.
Pada faktanya. tak bisa dipungkiri, bahwa permasalahan perempuan hari ini bukanlah tentang kesetaraan ataupun ketidaksetaraan. Namun, tentang sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan, yang semua itu adalah tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Ditambah dengan pergaulan masyarakat yang tidak dikontrol oleh negara, sehingga semua menjadi permasalahan yang kompleks tak berujung. Inilah jika hidup dikendalikan oleh cengkraman sistem kapitalisme yang beraqidah sekularisme-liberalisme. Sistem yang hanya mengedepankan keuntungan para pemilik modal. Perempuan dieksploitasi demi materi, berdalih atas nama pemberdayaan perempuan namun faktanya hanya dijadikan mesin pencetak uang bagi para kapital. Gaya hidup hedonis menjadi kiblat, tak sedikitpun terpikir untuk menciptakan kehidupan yang aman, damai, sejahtera untuk seluruh umat manusia. Aqidah yang telah memisahkan aturan Tuhan dari kehidupan, seakan-akan tidak membutuhkan Tuhan untuk mengatur kehidupannya menjadi pola pikir yang sesat lagi menyesatkan. SDA diizinkan sebebas-bebasnya untuk diprivatisasi oleh swasta maupun asing/aseng atas nama menjalin hubungan baik dan demi pertumbuhan ekonomi, namun justru hanya semakin menyulitkan perputaran roda perekonomian negara, akibatnya rakyat terus dibebankan oleh pajak yang semakin meningkat. Mengejar proyek infrastruktur, namun berpaling dari memberi tempat tinggal layak untuk rakyat yang masih banyak tidur di jalan. Menghabiskan uang milyaran bahkan trilyunan demi kampanye politik, namun enggan menyumbangkan hartanya untuk kesejahteraan rakyat. Jangankan memberi bantuan yang merata, subsidi saja mulai dihilangkan perlahan. Belum lagi kurikulum pendidikan yang semakin berbau liberal dan perguruan tinggi yang dikawinkan dengan korporasi. Lapangan pekerjaan dibuka selebar-lebarnya, namun hanya untuk tenaga kerja asing, sedangkan rakyat sendiri masih jutaan pengangguran.
Jika menengok kepada sistem Islam, yang kejayaannya terbentang hingga 2/3 bagian dunia, selama 13 abad, tak pernah dijumpai gerakan perempuan yang menuntut kesetaraan, ataupun menuntut kebebasan, karena Islam tidak pernah mendiskriminasi perempuan, negara bersikap adil dalam memenuhi hak rakyatnya, menjamin sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan terpenuhi dengan baik. Sehingga tidak kekerasan dalam rumah tangga akibat kesempitan ekonomi. Aqidah masyarakat di negara Islam benar-benar dijaga oleh negara, takkan dibiarkan tercekcoki dengan paham sekuler barat yang justru itu akan menghancurkan kaum muslimin, terutama perempuan. Interaksi masyarakatnya dikontrol oleh negara, kaum adam diperintahkan untuk menundukkan pandangan, sedangkan kaum hawa diperintahkan untuk menjaga izzah dan iffah ketika berada di kehidupan umum. Hukum pidana Islam terkait menjaga kehormatan wanita sangatlah tegas dan membuat jera. Bahkan seorang khalifah pernah mengutus prajuritnya untuk menyerbu orang-orang yang telah melecehkan perempuan. Begitulah kehidupan mulia yang hanya ada di bawah naungan Islam. Wallahu a'lam bishowab.[]