Sedih, perih, pedih, mungkin itulah kata-kata yang bisa mewakili ragam duka, luka dan nestapa, rentetan musibah yang menimpa negeri ini, yang seolah tak mau berhenti. Masih sangat jelas dalam benak kita musibah yang terjadi di tahun 2019 lalu, banjir bandang di Konawe Utara, yang mengakibatkan ratusan rumah hanyut dan masjid juga terendam banjir. (Tirto.id)
Pandemi Covid-19 yang tidak tahu kapan akan berakhir,dan ditambah musibah yang kembali menyapa, kali ini dalam wujud banjir yang kembali hadir di Konawe. Jika kita memahami banjir adalah bencana bertamunya faktor langit yaitu kehendak Allah dalam menurunkan curah hujan, dengan faktor bumi yaitu akibat tangan-tangan manusia. Bencana datang silih berganti seakan bumi ini muak akan kerusakan yang diperbuat oleh manusia.
Dilansir, Kendari (ANTARA) – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menyatakan berdasarkan data sementara warga terdampak banjir yang terjadi di daerah itu meluas hingga 49 desa/kelurahan di 16 kecamatan.
“Hari ini 18 Juli 2020 desa terdampak menjadi 49 desa dan 16 kecamatan. Akibat banjir ini sebanyak 1.154 KK mengunsi di Balai Desa, Gereja, pinggir jalan, rumah keluarga, gedung SMP dan tempat penggilingan,” Kata Herianto di Konawe.
Pihak badan penanggulangaan Bencana Daerah sendiri menyatakan bahwa banjir dipicu intensitas hujan yang tinggi. Akibatnya sungai masamba, rongkang, dan sungai Rada meluap, yang mengakibatkan bajir bandang.
Selain faktor iklim, kondisi sungai dan alih fungsi hutan untuk perkebunan, pertanian dan pertambangan yang tak terkendali pun diakui menjadi faktor risiko terjadinya banjir. Direktur Eksekutif Junal Celebes, Mustam Arif menyebutnya sebagai bencana ekologis akibat degradasi lingkungan (tirto.id).
Hingga hari ini, masalah banjir masih menjadi PR besar, tak hanya bagi pemerintah daerah tapi juga pemerintah pusat. Nyaris tiap memasuki musim penghujan, banjir dan longsor siap mengancam berbagai daerah di Indonesia.
Penyebabnya pun sama, curah hujan yang tinggi disertai rusaknya daya dukung ekologis di daerah-daerah dataran tinggi. Misalnya, akibat wilayah hutan yang teralih fungsi. Atau untuk daerah semacam jakarta, biasanya diperparah oleh rob yang tak terkendali setelah hutan bakau terkikis reklamasi.
Ironisnya, kejadian seperti ini terus berulang sepanjang tahun tanpa upaya serius untuk memperbaiki kesalahan mendasar menyangkut paradigma pembangunan yang dikaitkan dengan keseimbangan ekologi. Wajar jika intensitas bencana makin sering terjadi dan luasannya pun terus bertambah.
Semestinya pemerintah lebih serius mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan tata ruang wilayahnya. Bahkan jika perlu merevisi perencanaan pembangunan yang terbukti telah mendegradasi lingkungan sebagai salah satu penyebab bencana banjir.
Maka tak heran, jika hari ini nyaris semua lahan di kota-kota tertutup semen dan aspal. Dan kondisi ini diperparah oleh rancangan instalasi drainase yang buruk, menyebabkan air seolah tak punya jalan kembali. Sistem yang rusak yang dimana berlomba-lomba dalam pembuatan gedung-gedung yang tinggi sehingga tidak ada ruang untuk air mengalir.
Dalam sudut pandang Islam, sesungguhnya musibah yang menimpa manusia di dunia, baik pada diri, keluarga, atau harta mereka adalah karena perbuatan dosa dan maksiat yang mereka kerjakan juga sebagai sebuah hukuman dari Allah atas mereka.
Allah berfirman: “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu muda bagi Allah.” (QS. Al-hadid: 22)
Secara umum musibah ada dua macam. Pertama, musibah karena faktor alam yang merupakan bagian ketentuan dari Allah SWT yang tidak mungkin ditolak. Misalnya musibah gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan lain-lain. Jika musibah ini terjadi kita harus sabar dan ridha baik bagi korban ataupun keluarga korban, karena bagi seorang muslim qadha merupakan ujian dari Allah SWT.
Kedua, musibah merupakan akibat dari kemaksiatan manusia dan pelanggaran mereka terhadap aturan Allah swt. Karena itu, nyaris umat Islam tidak pernah merasa bersalah, apalagi berdosa atas setiap musibah yang menimpanya. padahal boleh jadi, itu justru yang ditimpakan oleh Allah SWT.
firman Allah “hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka akibat sebagian dosa-dosa mereka.Sesungguhnya kebanyakan manusia itu fasik (QS al-Maidah [5]: 49).
Seyonginya seorang muslim sudah selayaknya mereka merenung, mengintropeksi diri. Adakah bencana datang untuk menjadi peringatan, teguran, atau ujian cinta dari Allah SWT? karena sesungguhnya bencana merupakan ayat-ayat Allah untuk menunjukan kuasa-Nya, jika manusia tak lagi peduli terhadap ayat-ayat Allah.
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka, apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dengan kedatangan siksaan kami kepada mereka dimalam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dengan kedatangan siksaan kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (TQS Al A’raf 96-99).
Inilah kala ayat-ayat Allah didustakan, keimanan ditukar dengan segelintir kenikmatan dunia atau ketakwaan tertawan dengan hawa nafsu yang fana. Allah SWT tak segan-segan menurunkan siksaan dan azab yang pedih pada hamba-Nya.
Sudah sepatutnya kaum muslim melihat kisah Rasulullah SAW ketika terjadi gempa bumi di Madinah, beliau berkata kepada umatnya, bahwa sesungguhnya Allah sedang menegur mereka, maka beliau meminta umatnya agar membuat Allah ridha.
Tak hanya Rasulullah SAW. pada masa Umar bin Khaththab ra waktu itu telah terjadi gempa, ia bertanya kepada penduduk Madinah maksiat apa yang mereka lakukan sehingga Allah menurunkan bencana gempa. Bahkan, Umar ra mengancam akan meninggalkan umatnya jika gempa terjadi lagi.
Berbeda dengan saat ini, ketika bencana alam bertubi-tubi menghampiri, sudahkah melakukan evaluasi diri? Adakah mereka bersegera taat pada semua syariat-Nya tanpa memilih-milih dan berdalih? Atau meninggalkan semua kemaksiatan yang dilarang oleh Allah tanpa mengatakan nanti-nanti?
Sudahkah membuat Allah ridha jika miras, perzinaan, dan praktik ribawi masih mewarnai negeri? Sudahkah mereka membuat alam ridha jika ajaran Islam senantiasa dikriminalisasi dan ulama hanif yang memperjuangkan ajaran-Nya dipersekusi?
Guncangan dahsyat ini tak lain juga sebagai bentuk cinta Allah pada hamba-Nya, agar segera kembali pada syariat-Nya. Memberi kesempatan kedua untuk bertaubat, menjadi hamba-hamba yang taat.
Tidak perlu menunggu bumi luluh-lantah tak bersisa layaknya negeri Sodom dan Pompey. Karena mereka menolak berhukum pada syariat Allah, dan tak perlu menunggu Allah mendatangkan gumpalan awan hitam, kilat, dan suara menggelegar di atas kepala hingga bumi berguncang hebat dan membunuh semua manusia layaknya kaum Nabi Syu’aib yang ingkar pada ajaran Allah.
Bagi setiap mukmin yang taat sudah selayaknya mengambil pelajaran terbaik dari setiap bencana yang menimpa negeri ini. Karena bencana bukan sekedar fenomena alam biasa, namun juga bentuk teguran keras dan cinta Allah pada hamba-hamba-Nya agar senantiasa berpegang teguh di atas ajaran-Nya, serta bersegera meninggalkan semua maksiat dan larangan-Nya, agar selamat dari marabahaya dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam Bishowab