Oleh : Elis Sulistiyani
Muslimah Perindu Surga
Kebutuhan pangan nampaknya kini tengah menjadi sorotan. Mengingat pandemi covid-19 yang belum tentu kapan berakhir akan berdmpak kepada produktivitas kebutuhan pangan. Lumbung pangan nasional (LPN) menjadi program yang dipilih Indonesia untuk bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Hal ini sejalan dengan peringatan dari Food and Agriculture Organitation (FAO) mengenai prediksinya akan terjadinya krisis pangan dunia di tengah pandemi covid-19.
Rencana ini akan diawali dengan pembangunan LPN di Kalimantan Tengah (Kalteng), dengan menunjuk Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto untuk memimpin pembangunan proyek ini. Namun nampaknya pembangunan LPN ini belum akan berjalan mulus, banyak pihak yang meragukan bahkan menganngap ini hanya akan membuang-buang uang. Mengingat proyek ini dilaksanakan di tempat yang dulu juga pernah diwacanakan sebagai LPN di masa Soeharto yang hasilnya tidaklah memuaskan.
Pengamat pertanian sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas, menyatakan bahwa rencana ini sudah pernah diinisiasikan mulai dari pemerintahan Presiden ke-2 RI, Soeharto, lalu juga di periode pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jokowi sendiri pun sudah pernah mewacanakan pembangunan lumbung padi (rice estate) di Merauke yang hingga kini tak terealisasi. Dengan pengalaman tersebut, ia mengatakan proyek lumbung pangan selalu berujung pada kegagalan. (finance.detik.com, 05/07/2020)
Sejatinya jika memang pemerintah menghendaki terpenuhinya kebutuhan pangan nasional, tak perlu sibuk mencari lahan baru untuk produktivitas pangan. Menurut Anton Apriantono, terdapat 5 (lima) masalah lahan di Indonesia, yaitu:
pertama, luas kepemilikan lahan petani yang sempi, sulit menyangga kehidupan petani. (sinar harapan 15/07/11); Kedua, produktivitas lahan yang menurun terus, akibat intensifikasi berlebihan dan penggunaan pupuk kimia terus-menerus; Ketiga, terjadinya alih fungsi lahan menjadi kawasan non-pertanian, industri dan pemukiman; Keempat, belum optimalnya implementasi pemetaan komoditas terkait agroekosistem; Kelima, masih banyaknya lahan tidur.
Maka sebenarnya pemerintah dapat memaksimalkan lahan yang ada untuk ditingkatkan produktivitasnya. Mari kita tengok bagaimana sebuah negara menjadikan Islam sebagai pondasi yang membangun aturan kehidupan bernegaranya. Islam memandang dalam memenuhi kebutuhan pangan yang notabene sebagai kebutuhan dasar maka seharusnya pengelolaan negara untuk memudahkan masyarakat mendapatkan akses yang mudah terhadap berbagai kebutuhan pokok dan terjangkau harganya. Islam juga mengatur bagaimana seharusnya negara mampu berdiri sendiri tanpa menggantungkan hidupnya pada negara lain.
Dalam Islam negara bukan hanya sebagai regulator, tetepi juga sebgai pemeran utama dalam memaksimalkan produksi pangan dalam negeri, distribusi dan juga pengendalian harga. Regulasi untuk memaksimalkan hasil pangan nampak ketika pengelolaan lahan dalam Islam mewajibkan para pemilik lahan untuk mengelola tanah itu agar produktif, artinya, kepemilikan identik dengan produktivitas. Prinsipnya, memiliki berati berproduksi(man yamliku yuntiju). Jadi, pengeloalan lahan adalah bagian integral dari kepemilikan lahan itu sendiri. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mustla, hlm 61).
Negara dapat membantu dalam penyediaan sarana pertanian, seperti kebijakan Khalifah Umar bin Khatab memberikan bantuan sarana pertanian kepada petani Irak untuk mengelola lahan pertaniannya. Jika pemiik tanah tidak mampu mengolahnya, dianjurkan untuk memberikannya kepada orang lain tanpa kompensasi. Nabi SAW bersabda, “ Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya.” (HR. Bukhari)
Jika kita berkaca pada shiroh nabawiyah, bagaimana Rasulullah mengelola masalah pangan. Untuk mengetahui ketersediaan pangan dan keberlangsungan mekanisme pasar yang sesuai syariat, maka Rasulullah sebagai kepala negara mengutus Abdullah bin Rawahah untuk mencatat hasil pertanian yahudi Khaibar, dan Hudzaifah bin Al-Yaman diperintahkan untuk mencatat hasil pertanan di wilayah Hijaz. (An.Nabhani, Ad Daulah Al-Islam, hal 176 dan 178)
Selain itu, Islam mengatur pembangunan kawasan industri dan infrastruktur tidak mengganggu kawasan lahan produktif. Tak bisa dipungkiri infrastruktur juga menjadi bagian dari penggerak berjalannya roda perekonomian, namun jika pembangunannya membabi buta tanpa memperhatikan dampak kerusakan lingkungan dan tergusurnya lahan pertanian maka akan menimbulkan bencana selanjutnya.
Demikian Islam hadir membawa aturan paripurna yang mengatur segala aspek kehidupan. Aturan yang juga kelak akan menjadikan negeri ini menjadi baldatun thoyyibatun warobbun ghofur. Islam pula yang tidak akan menjadikan terwujudnya ketahanan pangan nasional hanya angan-angan belaka.