Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Dilansir dari laman Tribunnews.com, MA calon pengantin dari Kelurahan Bantan, Kecamatan Siantar Barat, Kota Siantar, nekad mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri.
Baik keluarga maupun tunangannya DJ tidak tahu pasti apa penyebabnya, DJ malah mengatakan pada hari itu, MA menelopn dirinya dan mengajak berbelanja kebutuhan pernikahan mereka yang kurang dua hari lagi.
Kasubbag Humas Polres Siantar, Iptu Rusdi Ahya mengatakan pihaknya sedang mendalami apa motif dibalik tindakan MA. Namun kabar yang santer beredar adalah MA depresi berat terkait uang resepsi pernikahannya.
Sudah bukan rahasia lagi jika biaya sebuah pernikahan saat ini tak murah, bahkan bagi mereka yang berduit, merogoh kocek lebih dalam akan dilakukan untuk menggelar pernikahan spesial tak ada yang menyamai, spektakuler, instagramable dan lain-lain yang intinya makin aneh, makin minimalis dan makin nyeleneh maka makin tenar orang itu, prinsipnya " Pernikahan sekali seumur hidup mengapa dibuat susah"
Padahal dengan semakin lebarnya jurang antara si kaya dan si miskin, menandakan ada yang salah dalam pengaturan hajat hidup orang banyak. Bisa jadi kasus yang terlapor tidak menunjukkan angka sebenarnya, pasti masih banyak MA-MA yang lain dan dengan penyebab berbeda, seperti karena tak bisa bayar SPP, tak bisa hidup anak Istri, mendapat nilai ujian yang rendah, bullying dan lain sebagainya.
Individu rakyat merasa tak sanggup menahan beban dan solusipun tak ada yang menjamin persoalan itu akan sirna sepenuhnya. Mereka lupa ada Allah SWT Maha pemberi kemudahan sekaligus lupa bahwa bunuh diri adalah yang paling dibenci Allah SWT. Negaralah yang semestinya hadir, menuntaskan persoalan.
Sebagaimana Khalifah Umar II yang berkirim surat kepada gubernurnya di wilayah Irak, Abdul Hamid, dalam suratnya Khalifah memerintahkan agar gaji para pegawai dan mereka yang berhak didahulukan. Dan setelah tugasnya selesai, Abdul Hamid melaporkan bahwa harta di Baitul Mal masih berlimpah.
Kemudian Khalifah memerintahkan lagi agar mereka yang berutang dan tidak hidup boros diberi dana untuk pelunasan utang. Setelah perintah Khalifah diselesaikan, Abdul Hamid mengatakan jika harta masih banyak. Kemudian Khalifah kembali memberi perintah untuk mengumpulkan para lajang yang ingin menikah untuk di nikahkan oleh negara dan maharnya dibayarkan pula oleh negara.
Pernikahan yang sedianya menjadi sarana penggenap ibadah berubah drastis menjadi malapetaka. Beberapa budaya dan adat di Nusantara ini memang banyak yang kemudian mengubah makna dari pernikahan. Demikian pula dengan kapitalisme yang turut menggeser makna pernikahan, tak lagi sekedar meresmikan hubungan namun lebih ditonjolkan pada pesta poranya.
Padahal disinilah para koorporasi melihat celah untuk menjadikan ibadah sebagai sasaran dagang. Kesimpulannya, pernikahan pun diatur oleh negara. Bagaimana dengan hari ini? Wallahu a' lam bish showab
Tags
Opini