Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Sosial)
Dilansir dari katadata.co.id (16/6/20), total pembiayaan utang pemerintah hingga Mei 2020 meningkat 35,8% dibanding periode yang sama tahun lalu. Kementerian Keuangan Sri Mulyani mencatat, total pembiayaan utang neto pemerintah hingga Mei 2020 mencapai Rp.360,7 triliun. Ia menjelaskan, kenaikan realisasi pembiayaan hingga Mei 2020 antara lain disebabkan oleh defisit anggaran yang meningkat. Pada periode yang sama, defisit APBN membengkak 42,8% menjadi Rp.176,9 triliun atau 1,1% terhadap PDB.
“Dengan defisit yang naik, realisasi pembiayaan meningkat. SBN neto kami sudah terbitkan Rp.369 triliun, sedangkan pinjaman turun Rp.8,3 triliun,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi video, Selasa (16/6).
Ia juga menjelaskan, pembiayaan investasi turun Rp.6 triliun. Kemudian pemberian pinjaman tercatat sebesar Rp.1,7 triliun, kewajiban penjaminan turun Rp.400 miliar dan pembiayaan lainnya Rp.200 miliar. “Total pembiayaan hingga Mei sebesar Rp.356,1 triliun,” jelas Sri Mulyani.
Kementerian Keuangan menjelaskan, pembiayaan utang masih on track dan menunggu surat keputusan bersama-sama dengan Bank Indonesia untuk pembiayaan pemulihan ekonomi nasional. Pasar surat berharga juga mulai bulish seiring trend penawaran yang mulai meningkat pada lelang SUN sejak April. Aliran modal asing juga mulai masuk.
Utang yang Menggunung, Kemandirian Negara Kaya Dipertanyakan
Dampak pandemi Covid-19 dan stimulus penanganannya memicu defisit anggaran hingga seribu triliun. Memang, pandemi virus Covid-19 tak hanya menggerogoti kesehatan masyarakat, brangkas pemerintah pun dikuras habis olehnya di tengah penerimaan negara yang sedang ambruk. Akhirnya, memperbesar hutang pemerintah pun menjadi pilihan guna menutup defisit anggaran tersebut.
Dilansir dari amp.kompas.com(18/6), Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan dampak pandemi Covid-19 mengerek defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) menjadi kian lebar. Pemerintah memproyeksi terjadi peningkatan defisit APBN dari Rp.852,9 triliun atau sekitar 5,07 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) di dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2020, menjadi Rp.1.039,2 triliun atau menjadi 6,34 persen dari PDB. Pasalnya, hal Tersebut disebabkan oleh peningkatan anggaran pemerintah untuk penanganan pandemi Covid-19. Terbaru, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp.695 triliun untuk menangani pandemi.
Untuk menutup defisit APBN tersebut, pemerintah pun mengambil jalan dengan menarik pembiayaan atau utang melalui berbagai cara. Salah satunya dengan melelang Surat Utang Negara (SUN). Diketahui, sejak awal tahun hingga akhir Mei 2020 pemerintah telah menarik utang baru sebesar Rp.360,7 triliun. Dimana, tahun ini pemerintah menargetkan pembiayaan utang untuk menutup defisit anggaran sebesar Rp.1.006,4 triliun.
Dilansir dari katadata.co.id(1/6), kenaikan utang ini mengikuti Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 yang diteken oleh Presiden RI Joko Widodo pada awal April setelah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Isinya memberikan keleluasaan pada pemerintah untuk mencapai defisit anggaran di atas 3% terhadap PDB. Akibatnya, defisit membengkak dan berdampak pada kebutuhan pembiayaan yang lebih besar. Dalam bahan rapat Kementerian Keuanagan dengan Komisi XI DPR yang diperoleh katadata.co.id, kebutuhan pembiayaan neto tahun ini bakal mencapai Rp.1.206,9 triliun untuk menutup defisit APBN dan pembiayaan investasi.
Tak dapat dipungkiri di samping pajak, utang juga merupakan salah satu tulang punggung negara Indonesia hingga detik ini sebagai sumber pendanaan negara. Adapun dimasa krisis kestabilan ekonomi seperti saat ini yang konon katanya sebagai akibat pandemi virus Covid-19, negara yang kembali berutang pun menjadi jurus tunggal guna menangani persoalan tersebut. Hal ini tentu menjadi sorotan, karena mengingat utang negara saat ini kepada pihak asing bukanlah nominal yang kecil. Dimana, total utang jatuh tempo saja sebesar Rp.426,6 triliun, sehingga total pembiayaan bruto mencapai Rp.1.633 triliun (katadata.co.id). Dan dana untuk membayar utang tersebut seluruhnya akan bersumber pada utang pula, yang terdiri dari penerbitan surat berharga negara maupun penarikan pinjaman.
Melihat kondisi ini, maka sangatlah wajar mengingat sumber pemasukan dana negara yang selama ini bertumpu kepada pajak dan dimasa pandemi banyak rakyat yang tidak membayarnya sebagai imbas dari perekonomian mereka yang tidak stabil. Pemerintah pun memiliki kebijakan instan, sebuah terobosan di bidang ekonomi yakni tancap gas mencari utang baru kepada asing sebagai solusi untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada. Inilah sebabnya mengapa asing begitu hobi memanjakan negeri ini dengan utang meski jangka waktu pengembaliannya yang berbasis ribawi hingga puluhan tahun lamanya. Sungguh, cara ini tidak lain sebagai jalan untuk melanggengkan pengaruh mereka atas negeri ini. Padahal, kita memiliki potensi yang memadai untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan negara.
Namun, sangat disayangkan Indonesia yang memiliki kekayaan berupa Sumber Daya Alam yang melimpah bahkan tumpah ruah, membentang dari Sabang sampai Merauke tidak mampu menunjukkan kemandiriannya dalam mendanai negara. Negara justru menjual potensi tersebut kepada asing, yang membawa kepada jurang kehancuran yang semakin dalam. Perlu dipahami bahwa utang yang semakin menggunung ini seolah menunjukkan nasib bangsa tergadaikan sebagai imbas dari lilitan hutang yang tak berujung, sekaligus akan mengancam kedaulatan negara. Negara yang doyan mengobral utang akan mudah dijajah atau dikendalikan sesuai kepentingan mereka yakni para kapitalis yang rakus tanpa batas. Disamping itu, rakyat juga tak pernah merasakan kemakmuran dengan datangnya utang tersebut, biaya pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan dan sebagainya terus saja menanjak hingga mencekik rakyat. Walhasil, utang hanya menjamin kepentingan asing sekaligus sebagai jalan mulus bagi mereka untuk menancapkan taringnya menguasai bumi pertiwi ini.
Seharusnya, pemerintah berupaya untuk keluar dari jebakan utang yang selalu menjadi resep laris manis para penjajah di era saat ini dan belajar dari proyek-proyek utang sebelumnya yang hanya menghasilkan tumpukan utang negara hingga rakyat yang harus menanggungnya. Jelas, setiap kali negara berutang maka pungutan pajak akan menutupinya, dan rakyatlah yang memikul beban pajak tersebut. Memang, dalam sistem ekonomi kapitalisme negara mustahil untuk mampu berdiri sendiri, belum lagi bayang-bayang kegagalan mengembalikan pinjaman. Akhirnya lagi-lagi rakyatlah yang menjadi korban atas ketidakberdayaan negara yang gila manfaat. Jika hal ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan negeri ini benar-benar akan tergadai.
Sesungguhnya, pandemi Covid-19 yang dimaksud ini hanyalah menjadi kambing hitam atas puncak kegagalan negara penganut sistem rusak kapitalisme termasuk negeri ini dalam mengelola perekonomian negara. Dari sisi efisiensi, mengobral utang tetap tidak mampu menghidupkan perekonomian, apalagi meningkatkatkan laju perekonomian nasional. Hal tersebut hanyalah utopia belaka dapat terwujud. Sehingga dari berbagai kesemrawutan yang ada, seyogyanya umat hari ini memerlukan sistem alternatif lain sebagai pengganti sistem rusak ini yang hanya dihiasi dengan kegagalan demi kegagalan disegala lini kehidupan dalam penerapannya.
Solusi Islam dalam Memenuhi Pendanaan Negara
Jikalau penerapan sistem rusak kapitalisme hanya menambah deretan permasalahan yang ada, namun tidak dengan Islam yang datang dengan segala kesempurnannya. Islam sebagai din yang mengatur seluruh aspek kehidupan, tidak hanya mengatur hal-hal yang berhubungan dengan ibadah ritual semata, tetapi juga yang berkaitan dengan rakyat, negara termasuk bagaimana pendapatan dan pengeluaran anggaran dalam sebuah negara, baik dalam keadaan sedang terjadi krisis ekonomi maupun tidak.
Dalam Islam, pendapatan dan pengeluaran anggaran telah ditetapkan oleh syara’. Dimana, besaran nilainya ditentukan berdasarkan ijtihad pemimpin (Khalifah). Ia dapat menetapkan besaran nilai masing-masing pendapatan dan pengeluaran tersebut untuk setiap tahunnya sehingga tidak berpotensi defisit besar-besaran diluar dari yang telah diperkirakan. Sebagaimana halnya APBN hari ini, defisit anggaran juga berpotensi terjadi pada APBN dalam negara Islam. Dan ketika negara mengalami hal demikian, maka terdapat beberapa sumber pembiayaan yang dibenarkan oleh syariat yakni mengambil dana dari harta kepemilikan umum yang dikelola langsung oleh negara, menarik pajak dari penduduk Muslim yang terkategori mampu (kaya) dan menarik pinjaman (utang) sesuai dengan koridor syariah seperti bebas bunga (non ribawi) dan tidak merugikan negara. Apabila kemudian diambil dari utang berbasis ribawi, maka dalam Islam adalah haram hukumnya.
Jika mengacu pada sistem ekonomi Islam, potensi-potensi di atas mampu menjadi sumber pendapatan negara yang memadai sekaligus dapat memenuhi kebutuhan rakyat secara menyeluruh, adil dan merata melalui distribusi pendapatan tersebut. Disamping itu, masih terdapat sumber ekonomi syariah lainnya seperti fai’, kharaj, dan lain sebagainya. Adapun dalam penanganan bencana misalnya terjadi pandemi wabah seperti saat ini, maka negara akan bertanggungjawab mengerahkan segala potensinya dalam mengurus seluruh kebutuhan rakyat secara total. Sumber dananya berasal dari kas negara yang mampu menyokong APBN negara, sehingga tidak mudah untuk menarik utang. Kalaupun terpaksa menarik pinjaman, maka harus sesuai koridor syariah yang telah ditetapkan. Jika hal ini juga diterapkan di negeri tercinta ini dengan segala potensinya yang ada, maka bukan hal yang tidak mungkin Indonesia dapat berdiri sendiri dalam membangun perekonomian negara.
Sungguh, peradaban Islam yang menjadikan Islam sebagai tonggak kehidupan terbukti mampu menorehkan tinta emas kurang lebih 14 abad lamanya bagi kehidupan manusia dalam segala bidang. Bukan hanya unggul dalam perekonomian dan teknologi, tetapi juga mampu menciptakan manusia berkualitas dan melahirkan generasi unggul sebagai cahaya peradaban. Masa sistem Islam mampu memberikan kemaslahatan, jaminan kesejahteraan dan keberkahan bagi umat di dalamnya. Tegak kembalinya Islam akan mengakhiri semua bentuk penjajahan rezim yang haus materi di muka bumi ini. Wallahu a’lam bish shawwab.