Oleh : Halimah Tsa’diyah
Pemilihan kepala daerah (Pilkada atau Pemilukada) dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup: Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi, Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten, Wali kota dan wakil wali kota untuk kota. Pilkda (pemilihan Kepala daerah) serentak direncanakan akan digelar pada bulan Desember 2020 mendatang, Badan pengawas pemilu (bawaslu) menilai berdasarkan hasil penelitian berupa indeks kerawanan pemilu (IKP) yang menyebutkan 24 dari 270 daerah dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) rawan terjadi konflik. Dan konflik tersebut di awali dengan persoalan tentang penyelenggaraan pemilu berupa calon kepala daerah, tim sukses, dana,many politics, daftar pemilih yang tidak akurat (daftar pemilih tetap), manipulasi dalam perhitungan suara dan rekapitulasi hasil perhitungan suara, netralisasi institusi penyelenggara, politisasi birokrasi baik menjelang pilkada maupun pasca pilkada dan berbagai permasalahan lainnya terkait dengan pelaksanaan Pemilu. walaupun bawaslu telah menganut kaidah jurdil (jujur dan adil), kontestasi, dan partisipasi pemilih akan tetapi semua itu hanya sekedar slogan yang seakan tidak memiliki makna.
Pertanyaan yang hadir di benak masyarakat bagaimana mungkin akan menyelenggarakan pilkada sementara situasi di negeri ini yang notabene hampir seluruh wilayah terjadi pandemi covid 19 karena pemilu itu adalah implementasi dari kedaulatan rakyat, sehingga apa pun alasannya agar hak-hak rakyat dapat disalurkan maka pemilulah yang harus diselenggaraka, padahal telah diketahui bersama untuk memutus rantai virus itu adalah dengan menghindari kontak fisik secara langsung sementara di sisi lain pilkada akan berinteraksi dan bahkan berkerumun mulai dari masa kampanye, debat kandidat dan lain yang secara otomatis akan menghadirkan orang banyak dalam sebuah ruangan atau studio dalam rangka untuk mendukung pasangan calon masing masing, apakah cukup dengan melaksanakan protokol kesehatan misalnya dengan menyediakan APD, hand sanitizer, masker, disinfektan, sarung tangan, serta ambulans, tentu saja hal ini akan menimbulkan masalah baru yakni persiapan dana untuk pembelian peralatan dalam rangka menjalankan protocol kesehatan yang akan menelan biaya tidaklah sedikit, itu artinya terjadilah pemborosan dan bahkan ada peluang untuk korupsi. Jikalau ada antisipasi untuk tidak terjadi korupsi dengan melibatkan KPK misalnya itu juga butuh anggaran besar, malah ini pemberosan lebih besar lagi. Seperti inilah yang terjadi dalam sistem kapitalis, menyelesaikan satu masalah timbul masalah yang baru.
Semua persoalan dalam pemilu atau pilkada tidak akan terjadi jika diatur dengan system islam. Islam adalah sistem paripurna yang akan menyelesaikan seluruh problematika manusia, termasuk persoalan pemilu. Hanya syariat Islam yang mampu sepenuhnya menyatukan penganutnya baik akidah maupun politik akan melahirkan keharmonisan, ketentraman, kedamaian, kemampuan mengelola keragaman dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia. Berkat keadilan hukum hukum islam inilah gejolak konflik di tengah tengah masyarakat dapat dihilangkan. Sebagaimana Firman Allah dalam (Q.S, Al hujurat :9) “Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antar keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S, Al hujurat :9)
Maka tidak ada jalan lain untuk mengakhiri konflik dalam pemilu kecuali dengan menerapkan syariat islam secara kaffah dalam institusi daulah khilafah. Waalahu A’lam bisshowab