UKT Dipermasalahkan, Bukti Pendidikan Hanya Barang Dagangan



(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)

Pandemi menyebabkan banyak mahasiswa terpaksa belajar online hingga hari ini. Mereka yang harus berususan dengan tugas akhir dan wisuda pun harus mau dicap sebagai “sarjana corona” perkara tidak terselenggaranya kelas dan pertemuan dengan dosen.
Sementara itu beberapa mahasiwa demo UKT, menuntut penurunan biaya Uang Kuliah Tunggal dengan berbagai alasan, salah satunya karena fasilitas kampus tidak bisa mereka gunakan untuk belajar. Beberapa mahasiswa Unas (Universitas Nasional) sempat berdemonstrasi menuntut keringanan UKT pada 12/6 lalu. Dimana aksi ini kemudian mendapat sanksi berupa skors hingga DO (www.cnnindonesia.com, 9/7/2020).

Aksi yang sama juga digelar mahasiswa di berbagai daerah, dengan tuntutan yang kurang lebih isinya sama. Sehingga di media sosial pun sempat viral tagar “#MendikbudDicariMahasiswa”, awal Juni lalu. Namun ternyata ini ditanggapi dengan bungkamnya Mendikbud dalam menyikapi gelombang aksi protes mahasiswa menyangkut Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Saat itu, mahasiswa memang benar-benar marah, karena di situasi wabah, mereka tetap dibebani uang kuliah. Bahkan mahasiswa baru harus membayar UKT yang besarannya dinaikkan. Padahal, sebagaimana masyarakat lainnya, kalangan mahasiswa pun termasuk kelompok yang terdampak wabah. Kuliah daring, alih-alih meringankan beban finansial mereka, malah membuat beban pendidikan dan beban hidup lainnya bertambah berat.
Hal ini terutama sangat dirasakan oleh mereka yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Karena dengan situasi wabah, banyak orang tua mereka yang tiba-tiba kehilangan pekerjaan, atau merasakan kian sulitnya mencari penghidupan.
Jangankan untuk membayar uang kuliah, untuk makan sehari-hari saja, mereka sangat kesulitan. Sementara di saat sama, mereka harus berusaha agar kuliah bisa tetap jalan, meski harus merogoh kantong lebih dalam untuk sekadar membeli kuota paketan yang besarannya cukup mahal.

Kisruh soal UKT ini sebenarnya tidak hanya terjadi di saat wabah saja. Sejak pemerintah menetapkan kebijakan UKT melalui Permendikbud No. 55 tahun 2013, telah muncul keberatan-keberatan di tengah masyarakat.
Maklum, aturan yang katanya ditujukan untuk mewujudkan pendidikan berkeadilan ini faktanya tak semanis teorinya. Bagi kalangan tertentu UKT tetap saja dirasa mahal. Apalagi jurusan-jurusan tertentu. Biaya UKT-nya jauh lebih mahal.
Otomatis kelompok yang terkategori miskin makin kecil kesempatan mengenyam pendidikan tinggi serta kehilangan kesempatan mengakses jurusan yang mereka idamkan. Apalagi faktanya, dari tahun ke tahun UKT mengalami penyesuaian alias kenaikan. Sehingga kebijakan ini memang terasa sangat memberatkan.
Pada kasus UKT di era wabah, pemerintah melalui Kemendikbud akhirnya memang memberi penjelasan. Pertama, bahwa UKT tak ada kenaikan. Kedua, bahwa Majelis Rektor PTN sudah menyepakati empat skema keringanan beban biaya perkuliahan. Ketiga, bahwa mahasiswa yang orang tuanya terdampak akan diberi bantuan sebesar Rp400.000 melalui program Kartu Indonesia Pintar.

Adapun 4 (empat) skema keringanan yang ditawarkan terdiri dari: (1) kebolehan mengajukan penundaan pembayaran, (2) kebolehan menyicil pembayaran, (3) mengajukan penyesuaian UKT pada level yang faktual, (4) mengajukan beasiswa jika orang tua mengalami kebangkrutan.
Namun rupanya, kebijakan tersebut dianggap masih belum memuaskan. Apalagi sejalan dengan kebijakan otonomi kampus, implementasinya diserahkan kepada masing-masing institusi pendidikan. Padahal faktanya, kondisi dan kesiapan setiap institusi kampus berbeda tingkatan.
Dalam negara yang menerapkan sistem sekuler kapitalis neoliberal, hal seperti ini memang sangat niscaya. Kemurahan penguasa tampaknya selalu harus disertai syarat dan ketentuan.

Faktanya kita lihat, dalam segala hal penguasa selalu saja berhitung rugi laba. Karena mereka ada memang bukan untuk mengurus rakyatnya. Melainkan mendudukkan diri hanya sebagai penjual jasa atau regulator saja. Tak terkecuali dalam hal jasa Pendidikan.
Namun yang harus diwaspadai bukan hanya soal biaya pendidikan yang makin mahal. Pendidikan dalam sistem ini faktanya juga kian jauh dari kedudukannya yang mulia sebagai pilar peradaban. Yakni saat visinya hanya melulu berorientasi memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. Seperti nampak dari konsep link and match, triple ABC, atau maraknya pendidikan vokasi.
Sehingga alih-alih mendatangkan berkah, pendidikan akhirnya hanya jadi alat investasi sekaligus alat produksi untuk memutar industri dan kapital. Bukan sebagai wasilah membentuk kepribadian, apalagi sebagai pilar untuk membangun peradaban cemerlang.
Berbeda jauh dengan sistem Islam. 

Dalam Islam, pendidikan, kesehatan dan keamanan merupakan bagian dari ikhtiar membentuk manusia dan umat berkualitas purna sesuai dengan misi penciptaan.
Sehingga salah satu hukum turunannya, Islam juga menetapkan bahwa ketiga hal tersebut merupakan hak seluruh rakyat yang wajib dipenuhi negara sebaik-baiknya, sebagaimana hak dasar seperti pangan, sandang dan papan.
Maka tak heran, jika support negara dalam sistem pendidikan begitu maksimal. Termasuk dalam mewujudkan layanan pendidikan gratis dan berkelas bagi seluruh rakyatnya. Hingga terbukti, sepanjang belasan abad, pendidikan Islam bisa benar-benar menjadi salah satu pilar peradaban cemerlang. 
Namun, Pendidikan tidak akan bisa berjalan sendirian. Butuh penerapan sistem lainnya untuk menjamin terlaksananya dengan maksimal. Oleh karena itu, sistem Pendidikan islam hanya akan mungkin membuahkan hasil, jika diterapkan dalam negara yang mengemban ideologi islam secara paripurna. 

Wallahu a’lam bi ash showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak