TRAGEDI SREBENICA, UMAT BUTUH KHILAFAH



Oleh. Ria Anggraini (Aktifis Muslimah Bangka Belitung)

Umat Muslim Bosnia menandai peringatan 25 tahun pembantaian Srebrenica pada Sabtu (11/7) waktu setempat, di tengah pandemi virus corona Covid-19. Meski jumlah peserta menurun dari tahun-tahun sebelumnya, tapi tak sedikit pelayat yang berani menentang aturan pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran Covid-19 demi menghadiri peringatan tersebut. Peringatan tahun ini sekaligus menjadi upacara penguburan sembilan korban yang diidentifikasi selama setahun terakhir.
Pada tanggal 11 Juli 1995, pasukan Serbia menyerang daerah kantong Muslim Srebrenica di Bosnia yang menjadi tempat berlindung puluhan ribu Muslim dari serangan tentara Serbia di timur laut Bosnia. Kota ini telah ditetapkan sebagai “daerah aman” oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dinyatakan berada di bawah perlindungan PBB. Setelah pendudukan atas Srebrenica, sebanyak 8000 laki-laki dan remaja Muslim dieksekusi dengan keji oleh Serbia. Insiden ini digambarkan sebagai kekejaman terburuk di daratan Eropa sejak Perang Dunia 2. Bersamaan dengan pembantaian itu, sebanyak 25.000-30.000 Muslimah, anak-anak, dan orang tua diusir dari kota ini sebagai bagian dari kampanye brutal Serbia dalam pembersihan etnis Muslim dari wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Republik Serbia.
Pembantaian Srebrenica dikenal luas sebagai tindakan yang paling keji selama perang ini, terlebih karena peristiwa ini terjadi di bawah pengawasan ketat PBB, yang berperan serta dalam melucuti senjata para pejuang Muslim karena tunduk kepada ultimatum Serbia. Dalam rangka menciptakan sebuah "zona aman", PBB membantu orang-orang Serbia untuk memisahkan laki-laki dan perempuan pada hari pembantaian. PBB juga membiarkan warga laki-laki Bosnia yang sebelumnya mencari perlindungan di kamp Belanda untuk diangkut oleh pasukan Serbia, padahal tahu betul bagaimana nasib mereka berikutnya.
Kenyataan di lapangan, bahkan seperti di Srebrenica, menunjukkan kepada kita bahwa PBB bukan teman bagi umat Islam. PBB hanya mematung dan menonton pembantaian itu berlangsung, meskipun penduduk Srebrenica menolak untuk dievakuasi akibat keyakinan yang keliru. Mereka mengira bahwa pasukan PBB akan melindungi mereka, namun mereka malah menyerahkan laki-laki dan remaja Srebrenica. Bukan hanya itu, PBB juga memasok lebih dari 30.000 liter bensin sehingga memungkinkan pasukan Serbia mengangkut orang-orang itu dan mengubur mereka di kuburan massal. Hal yang sama dapat dikatakan dalam dukungan PBB terhadap pendudukan Palestina, juga sikap bungkam mereka yang jahat terhadap krisis di Myanmar.
Dalam beberapa tahun setelah pembantaian Srebrenica, dunia berjanji bahwa “Never Again” (Tidak Akan Pernah Terjadi Lagi), dan bahwa dunia telah mengambil pelajaran dari noda hitam dalam sejarah modern ini. Namun, hari ini kita melihat pembunuhan dan kejahatan seperti yang terjadi pada perang Bosnia dan pembantaian Srebrenica terulang lagi menimpa kaum Muslim di berbagai negeri di seluruh dunia, bahkan beberapa kasus terjadi pada skala yang melampaui Srebrenica. Kita juga menyaksikan kelemahan dan keterlibatan PBB yang terus berlanjut, juga pemerintahan Barat dan pemerintahan Muslim, dalam berbagai kekejaman yang dilakukan terhadap kaum Muslim hari ini – termasuk di Suriah, Myanmar, Kashmir, Palestina, Yaman, Turkistan Timur, dan India.
Kehinaan, kenistaan dan kepiluan kaum muslim saat ini tidak akan berhenti jika kekuasaan global masih dikuasai ideologi kapitalisme yang diemban oleh Negara. Sebab, ideologi ini hanya akan memuaskan dan melindungi para kapital berkepentingan, maka tidak heran klaim perlindungan dan keadilan PBB tidak memberi manfaat sedikitpun khususnya kaum muslim. Oleh karena itu, sudah seharusnya kaum muslimin tidak lagi menaruh harapan keadilan kepada lembaga buatan para kapitalis. Karena sejatinya kaum muslim memiliki perisai sendiri yaitu khilafah islamiyah.
Hanya khilafah yang mampu bertindak sebagai satu kesatuan yang dapat mencegah peristiwa seperti Srebrenica lainnya, membebaskan Palestina dan Kashmir, serta mengakhiri peperangan yang terjadi di Yaman dan negeri muslim lainnya, bukan PBB. Islam telah mewajibkan umatnya hidup dibawah satu kepemimpinan politik yaitu Khilafah Islamyah. haram bagi mereka terfragmentasi dibawah kepemimpinan politis yang lebih dari satu apalagi harus hidup tertindas dibawah tirani mayoritas kaum kafir.  
Akan datang kembali perisai umat yang akan menghilangkan hegemoni kaum kafir atas umat islam dan melindungi darah dan kehormatan perempuan dan anak-anak muslim di seluruh dunia muslim. Satu-satunya keselamatan bagi umat adalah kembalinya khilafah berdasarkan Manhaj Kenabian, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

 “Imam adalah perisai dimana orang-orang berperang dan dilindungi “(Sahih Muslim)

Umat islam membutuhkan pemimpin yang menerapkan sistem islam bukan penguasa muslim yang menerapkan system kufur, umat butuh pelindung yang melindungi jiwa, harta, dan kehormatan bukan penguasa yang melindungi para kapitalis, umat inginkan perubahan yang mendasar yang hakiki, sejatinya hanya islam satu-satunya mampu memberikan yang terbaik untuk umat manusia dan seluruh alam semesta.
Wallahu’alam bisshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak