By: Halimah Tsa’diyah
Uji tes Covid-19 baik melalui rapid tes maupun swab tes untuk mengetahui apakah seseorang itu telah terinfeksi atau tidak oleh virus. Akan tetapi untuk melalui keduanya seseorang harus mengeluarkan biaya, Biaya rapid test mulai dari Rp 200.000 hingga Rp 500.000, sedangkan untuk swab test (alat PCR) antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta, belum termasuk biaya-biaya lain (Kompas.com).
Pada hari Selasa (16/6/2020) Seorang ibu bernama Ervina Yana di Makassar, mengalami kasus bayinya meninggal dalam kandungan alias stillbirth akibat terlambat penanganan karena harus menjalani beberapa rangkaian tes covid 19 dan harus di rujuk ke sebuah rumah sakit tetapi rumah sakit tersebut berdalih bahwa mereka tidak memiliki alat tes yang pada akhirnya dirujuklah ke rumah sakit yang telah di tunjuk untuk melakukan tes dengan hasil akhir bahwa ibu ervina reaktif dengan biaya 2.4 juta rupiah dan dia tidak sanggup membayar, padahal Ibu ervina adalah peserta BPJS akan tetapi uji tes covid 19 tidaklah di tanggung oleh BPJS, lalu peserta BPJS membayar uang premi untuk apa? Siapa yang akan bertanggungjawab? Tentu saja pemerintah sebagai pengayom dan pelindung memberikan perlindungan kepada rakyatnya di berbagai bidang termasuk dalam bidang kesehatan.
Kesehatan adalah merupakan kebutuhan dasar bagi rakyat yang disediakan oleh Negara, namun saat ini kesehatan begitu mahal atau dikomersialisasi sehingga bagi rakyat yang terkategori miskin tidak akan sanggup membayar biaya yang cukup mahal, tapi bagi orang yang berkecukupan mungkin saja bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan. Di sisi lain rakyat sudah terbebani biaya hidup yang cukup tinggi, bagaimana akan bisa membayar biaya uji tes covid 19. Mahalnya biaya uji tes covis 19 ini beberapa rumah sakit swasta berdalih bahwa mereka sendiri yang harus menyiapkan alat dan reagen dan termasuk tenaga medisnya. Negara seharusnya bertanggungjawab untuk menyiapkan alat dan raagen termasuk tenaga medis untuk rakyat sebagai langkah untuk memutus rantai penularan covid 19. Bukan rakyat yang mempersiapkan diri dan menanggung sendiri demi mendapatkan layanan kesehatan yang maksimal, tetapi pertanyaan hadir bagaimana rakyat miskin, apakah mereka mampu menanggung semua ini, jawabnya tidak akan mungkin, makan saja susah.
Bagaimana jaminan kesehatan dalam islam? Apakah sama yang ada saat ini yang di kendalikan oleh kapitalis? Tentu saja jauh persamaannya.
Jaminan kesehatan dalam islam melibatkan Negara sebagai penanggungjawab dan pengayom bagi rakyatnya karena hal ini menjadi hak rakyat dan kewajiban bagi Negara sebagai paradigma dalam mengatur urusan rakyat. Kebutuhan atas pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh kaum Muslim dalam terapi pengobatan dan berobat. Jadilah pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik. Kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq) itu wajib disediakan oleh negara secara cuma-cuma sebagai bagian dari pengurusan negara atas rakyatnya Hal itu merupakan bagian dari kewajiban mendasar negara (penguasa) atas rakyatnya. Penguasa tidak boleh berlepas tangan dari penunaian kewajiban itu. Mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajiban ini di akhirat. Sebagaimana Hadist Nabi SAW “Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).”
Dengan demikian, konsepsi sistem pelayanan kesehatan dalam Islam merupakan satu-satunya konsep yang rasional dan realistis dalam mewujudkan seluruh rakyat mendapatkan layanan kesehatan yang memadai. Konsepsi inilah yang diadopsi oleh negara Khilafah Rasyidah sepanjang sejarah kegemilangannya yang tiada tara. Wallahu A’alam Bishowab