Oleh Syahidatunnisa S.Pd (Guru SD di Temanggung)
Corona memang primadona, semakin hari semakin jadi perbincangan. Entah dari sisi kesehatan, sosial, pendidikan, hingga politik. Ibarat tangga lagu, corona sedang jadi jawara. Ya... tentunya jawara bagi yang dapat menemukan solusi sempurna dan paripurna. Dari sekian perbincangan, penulis mengambil data dari sisi kesehatan.
Dilansir dari Kompas.com 19/06/2020, biaya untuk menguji seseorang terinveksi virus Covid-19 atau tidak, di Indonesia bervariasi dari berbagai instansi. Beberapa instansi tersebut adalah:
1. Sebuah marketplace. Harga alat rapid test impor dari China Rp 295.000,-. Sementara akurasinya diklaim mencapai 95 persen hanya dalam waktu 15 menit. Meskipun ada tes yang digratiskan, masyarakat harus mengambil tes mandiri jika ingin bepergian atau memasuki suatu kota di Indonesia. Ada juga yang menjual dengan harga Rp 900.000,- per buahnya. Rata-rata harga alat rapid test di bawah Rp 1000.000,-.
2. RS Universitas Indonesia. Biaya pemeriksaan tes swab termasuk PCR adalah Rp 1.675.000,- sudah termasuk biaya administrasi.
3. RSUD Arifin Achmad di Riau. Harga tes Swab mandiri per orang Rp 1,7 juta. Harga tersebut menurut Juru Bicara Penanganan Covid-19 Riau dr. Indra Yovi adalah yang termurah di banding harga di daerah lain.
4. RS Stellamaris di Makassar menjual tes Swab Rp 2,4 juta.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, menjelaskan tingginya harga tes Covid-19 dikarenakan pemerintah belum menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Pihaknya menerima banyak laporan dari masyarakat tentang mahalnya harga tes seperti rapid test, PCR, dan swab. "Seharusnya pemerintah dalam hal ini Kemenkes, segera menetapkan HET rapid test. Sehingga konsumen tidak menjadi obyek pemerasan dari oknum dan lembaga kesehatan tertentu dengan mahalnya rapid test," ujarnya. Menurutnya, masyarakat sebagai konsumen perlu kepastian harga. Selain mengatur HET pemerintah juga perlu mengatur tata niaganya. Today.line
Dihubungi terpisah Kepala Bidang Media dan Opini Publik Kemenkes Busroni mengatakan pemerintah belum menetapkan HET hingga saat ini. Jadi masing-masing instansi bisa menentukan harganya sendiri.
Kasus yang memprihatinkan terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan. Seorang bayi meninggal dalam kandungan ibunya karena tidak mampu membayar tes covid sebagai prasyarat operasi kehamilan, padahal kondisinya membutuhkan tindakan cepat. Tingginya biaya tes disinyalir menjadi fakor penyebab sang ibu harus kehilangan buah hatinya. Berbagai pihak (YLKI, Asosiasi RS dll) menganggap komersialiasi terjadi karena pemerintah tdk segera menetapkan Harga standar (HET) atas tes yg dilakukan di luar RS rujukan.
Publik pun khawatir untuk berobat ke rumah sakit karena takut membayar mahal untuk tes corona. Mahalnya biaya tes corona menjadi satu hal yang dihindari rakyat karena kondisi mereka yang sudah “sekarat”. Kebutuhan ekonomi makin sempit, belum lagi hutang sebagai jalan untuk menyambung hidup, kini dihadapkan pada tes corona sebagai syarat pasien agar bisa ditidaklanjuti doter untuk diobati. Dari mana rakyat harus mencari dananya? Bukankah negara punya pemimpin?
Dimana peran negara. Rakyat sudah menyuarakan aspirasinya agar penguasa peduli pada rakyatnya di tengah pandemi, justru sebaliknya dijawab dengan hadiah berupa kebijakan yang semakin menambah sakit rakyat. Seperti, naiknya iuran BPJS, naiknya tagihan listrik, pemangkasan dana bansos yang juga diselewengkan, ditambah bersiap new normal meski grafik wabah covid-19 belum menunjukkan tanda penurunan justru sebaliknya. Mahalnya biaya tes corona, apakah publik harus menyalahkan rumah sakit?
Menurut data di atas, ada apa sebenarnya dalam negeri yang sangat kita cinta ini. Sebagai seorang muslim tentunya tidak ingin kekayaan alam dan umatnya terjerumus ke dalam aturan yang cenderung kapitalis dimana rakyat hanya di jadikan alat untuk meraih kekuasaan setelah itu dilupakan, oh, no…
Publik tentu dibuat bingung puyeng tujuh keliling, sudahlah pandemi tak kunjung reda, para pejabatnya malah menyelenggarakan lomba video new normal dengan hadiah Rp 168 miliar, bukankah sungguh ironis? Mengapa tidak digratiskan saja tes corona pada setiap pasien yang berobat di RS dan biaya itu ditanggung negara? Sayangnya hal itu tak mungkin terjadi di negeri ini, mengapa? Karena sistem kapitalis yang dianut menjadikan rakyat menanggung sendiri setiap beban hidupnya.
SISTEM KAPITALIS MELEMAHKAN PERAN NEGARA
Menurut Abdul Kareem Newell menyebutkan bahwa kelemahan mendasar dari sistem demokrasi sekuler adalah tidak adanya ketakutan dari pemimpin kepada Tuhannya atau pertanggungjawaban di akhirat nanti. Hal ini membuka peluang besar bagi pemimpin untuk terjerumus dalam sikap tiran. (Akuntabilitas Negara Khilafah, 2011,PTI h. 67-68). Maka hal yang wajar dalam negara kapitalis tidak ada pemberian jaminan apapun pada rakyatnya. Negara baru bertindak jika ada masalah. Jaminan diberikan sebagai bentuk tambal sulam dari kebobrokan sistem kapitalisme. Demikianlah kebobrokan kapitalisme mengatasi kisruh rapid tes. Sudah saatnya umat menengok solusi yang Islam berikan.
Di sisi lain, negara juga hanya berperan sebagai regulator, yang mengatur agar terjadi keselarasan antara kepentingan rakyat dan kepentingan pengusaha. Rakyat dibiarkan secara mandiri mengurus seluruh urusannya. Rakyat harus menanggung mahalnya biaya tes corona, melonjaknya harga pangan, menjamurnya pengangguran, juga ekonomi yang semakin sulit akibat dampak PSBB.
SISTEM ISLAM SEBAGAI SOLUSI RAKYATNYA
Kepala Negara dalam Islam (Khalifah) menjalankan hukum Allah atas rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada Allah SWT atas kepemimpinannya. Bila Khalifah tidak menjalankan hukum Allah, ia layak diberhentikan kapanpun, tanpa menunggu periode tertentu, dan sebaliknya selama ia menjalankan perintah Allah maka tak ada alasan untuk memberhentikannya. Sebagaimana yang terjadi pada Umar bin Abdul Aziz, saat dibaiat sebagai Khalifah kaum muslimin, justru menangis merasakan beratnya beban yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Hal itu tercermin dari surat yang ditulisnya kepada para pejabat di bawahnya: ”...dengan segala yang diujikan ini, aku sangat takut akan datangnya penghisaban yang sulit dan pertanyan yang susah, kecuali apa yang dimaafkan Allah Swt...” (Syeikh Muhammad Khudari Bek, Negara Khilafah, PTI 2013 h.290).
Rasulullah Saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’iin (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Begitu jelas apa yang disabdakan Rasul, bahwa para Khalifah sebagai pemimpin yang diserahi wewenang untuk kemaslahatan rakyat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak. Raa’iin bermakna penjaga yang diberi amanah atas bawahannya. Lalu, tidakkah para pemimpin di negeri muslim ini khawatir akan hari kembali? Yakni hari di mana pemimpinlah yang pertama kali dihisab Allah untuk mempertanggungjawabkan segala kepemimpinannya. Sehingga perlunya umat berfikir untuk kembali pada sistem yang ditetapkan Allah yaitu Islam.
Wallahu A’lam bishawab.