Oleh: Nabila Zidane
(Forum Muslimah Peduli Generasi dan Peradaban)
Pernyataan salah seorang pejabat PT PLN yang menyebut drama Korea (drakor) sebagai salah satu penyebab kenaikan tagihan listrik pelanggan rupanya memicu reaksi wakil rakyat di Senayan.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno pun menyampaikan kekecewaannya kepada Direktur Utama PT PLN (Persero) Zulkifli Zaini beserta jajarannya, saat rapat dengar pendapat pertengahan pekan ini.
Eddy merasa geram dengan pernyataan salah satu pejabat PLN yang sempat menyebut drakor sebagai salah satu penyebab kenaikan tagihan listrik yang dialami sejumlah pelanggan (kompas.com, 19/6/2020)
Kenaikan ini sudah berlangsung berkali-kali sejak zaman Soeharto hingga masa Jokowi. Apakah dijaman Bapak Soeharto sudah ada drama korea? Adanya film si Unyil dan klompencapir, toh pelan-pelan naik juga. Kata Upin Ipin "tak patut, tak patut," disaat pandemi salah satu pejabat PLN memberikan jawaban yang terkesan tidak sains dan cenderung lelucon yang tentu saja tidak lucu.
Akar Masalah
Kenaikan TLD yang terus melonjak ini tidak bisa dipisahkan dari liberalisasi kelistrikan yang sudah dimulai sejak undang-undang ketenagalistrikan nomor 20 tahun 2002 disahkan.
Undang-undang ini salah satunya mengatur soal unbundling vertikal yang memisahkan proses bisnis PLN menjadi beberapa usaha yaitu pembangkit tenaga listrik, transmisi listrik, distribusi listrik, dan penjualan tenaga listrik.
Unbundling vertikal inilah yang diduga akan bermuara pada liberalisasi listrik dikarenakan undang-undang ini juga mengatur pembukaan ruang luas bagi keterlibatan swasta. Sementara di saat yang sama pihak pemerintah diwakili PT PLN sebagai BUMN yang seharusnya bertanggung jawab atas penyediaan listrik di Indonesia justru hanya bertindak sebagai regulator saja.
Artinya UU Listrik juga memberikan peluang lebih lebar kepada pihak swasta/asing untuk bersaing dengan PLN dalam penyediaan listrik. Konsekuensinya listrik menjadi barang ekonomi, ditambah lagi pemerintah terus mengurangi subsidi bagi PLN. Alhasil rakyat dipaksa merogoh kantongnya lebih dalam demi memenuhi kebutuhan primer akan listrik.
Listrik Dalam Pandangan Islam
Dalam Islam listrik termasuk ke dalam kepemilikan umum. Listrik yang digunakan sebagai bahan bakar termasuk ke dalam kategori api atau energi.
Rasulullah bersabda
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Karena listrik termasuk ke dalam kepemilikan umum, maka Islam mengharamkan listrik dikelola oleh swasta ataupun asing.
Listrik harus dikelola badan milik negara yang statusnya adalah institusi pelayanan, bukan dijadikan sebagai institusi bisnis.
Konsekuensinya, badan milik negara yang mengelola listrik memang harus terus disubsidi negara. Semua bisa dicukupi atau terbiayai manakala pengelolaan semua sumber daya alam baik yang berupa cair, padat dan gas dikelola oleh negara.
Bukankah negeri ini kaya raya dengan SDA yang melimpah ruah baik minyak bumi, batubara, gas petroleum, emas, nikel, perak, hasil hutan, kelapa sawit, karet, rempah rempah dan masih banyak lagi.
Islam tegas mengamanahkan, bahwa pemimpin adalah pengurus sekaligus pelindung umat. Haram bagi mereka, melakukan kezaliman dengan menarik keuntungan dalam melakukan pelayanan.
Jika kepemimpinan dipegang oleh Islam, tak mungkin kasus ini terus berulang. Karena paradigma kepemimpinan Islam tegak di atas akidah yang lurus berupa keyakinan akan pertanggungjawaban di keabadian.
Wallahu a'lam
Tags
Opini