Oleh : Melitasari*
Pembantaian yang terjadi di Srebrenica tahun 1995 silam merekam jejak ketidakadilan dunia pada ribuan umat muslim Bosnia di Eropa. Setiap diperingatinya tahun kelam itu maka akan terlintas betapa ngeri dan kejamnya tragedi di mana lebih dari 8.000 pria dewasa dan anak laki-laki Muslim Bosnia dibunuh dan dikubur di kuburan masal yang belum digali secara bersamaan.
Pada tanggal 11 Juli 1995, unit-unit pasukan Serbia Bosnia merebut kota Srebrenica di Bosnia-Herzegovina. Dalam waktu kurang dari dua minggu, pasukan mereka secara sistematis membunuh lebih dari 8.000 Bosniaks (umat Muslim Bosnia) - pembunuhan massal terburuk di tanah Eropa sejak akhir Perang Dunia Kedua.
Pembantaian itu adalah bagian dari genosida yang dilakukan terhadap umat Muslim oleh pasukan Serbia Bosnia selama Perang Bosnia, salah satu dari beberapa konflik yang terjadi pada 1990-an ketika Yugoslavia bubar. Republik Sosialis Bosnia dan Herzegovina - yang ketika itu adalah bagian dari Yugoslavia - adalah wilayah multi-etnis Bosniak Muslim, Serbia Ortodoks dan Kroasia Katolik.
Pasukan Serbia Bosnia merebut Srebrenica pada tahun 1992 tetapi wilayah itu segera diambil kembali oleh tentara Bosnia. Pengepungan pun dan bentrokan antara kedua belah pihak pun terjadi. Pada April 1993, Dewan Keamanan PBB menyatakan kantong itu merupakan "daerah aman ... bebas dari serangan bersenjata atau tindakan permusuhan lainnya".
Pengepungan berlanjut. Persediaan makanan hampir habis untuk warga sipil dan untuk pasukan tentara Belanda yang ikut beroperasi sebagai pasukan penjaga perdamaian PBB. Penduduk Bosniak mulai mati kelaparan.
Namun pasukan penjaga perdamaian PBB yang memegang senjata ringan, yang ada di wilayah yang dinyatakan sebagai "daerah aman" PBB, tidak melakukan apa-apa ketika kekerasan berkobar di sekitar mereka.
Pada 6 Juli 1995, pasukan Serbia Bosnia menyerang Srebrenica. Pasukan PBB menyerah atau mundur ke kota, dan serangan udara NATO, yang dipanggil untuk membantu, tidak berbuat banyak untuk meredakan serangan.
Wilayah itu jatuh dalam lima hari. Jenderal Mladic berjalan dengan penuh kemenangan melintasi kota bersama para jenderal lainnya. Sekitar 20.000 pengungsi melarikan diri ke pangkalan utama tentara PBB.
Pembunuhan dimulai pada hari berikutnya. Ketika para pengungsi Muslim naik bus untuk menyelamatkan diri, pasukan Serbia Bosnia memisahkan pria dewasa dan anak laki-laki dari kerumunan dan membawa mereka pergi untuk ditembak.
Ribuan dieksekusi dan kemudian didorong ke kuburan massal dengan buldoser. Laporan menunjukkan beberapa dikubur hidup-hidup, sementara beberapa orang dewasa dipaksa untuk menonton anak-anak mereka dibunuh.
Tentara Belanda yang tidak bersenjata lengkappun menyaksikan agresi Serbia, namun tidak melakukan apa-apa. Mereka juga menyerahkan 5.000 Muslim Bosnia yang berlindung di pangkalan mereka ke pasukan militer Serbia Bosnia.
Hal ini menunjukan bahwa tidak adanya perlakuan adil dari PBB terhadap negara berpenduduk muslim, bahkan PBB menjadi alat melegitimasi kebengisan segelintir penjahat untuk memuaskan kedengkiannya terhadap Islam dan kaum muslim.
Pembantaian di Srebrenica bukanlah yang terakhir terjadi pada umat muslim di dunia. Perlakuan sama masih dirasakan umat muslim di berbagai negara saat ini. Rohingya, Pakistan, Uyghur, dan umat muslim di masih menjadi korban dari kebengisan orang-orang dan kelompok yang terlahir dari sistem rusak saat ini.
Perlakuan yang tidak memanusiakan manusia adalah wujud nyata dari sebuah sistem yang landasan hukumnya adalah buatan manusia. Mengkarantina, membantai dan mengambil hak-hak dari setiap jiwa yang menginginkan keadilan jelas adalah perbuatan yang menyalahi aturan.
Selama masih dalam sistem kufur, umat Islam yang menjadi minoritas di berbagai negara tidak mempunyai jaminan untuk hidup tenang dan berdampingan. Mereka akan terus didiskriminasi oleh kelompok mayoritas yang ada di negaranya. Sebab tidak ada perisai sebagai pelindung yang mutlak untuk mereka.
Sekat nasionalisme membuat saudara muslim lainnya tidak bisa memberikan bantuan dan pertolongan secara hak kepada sesamanya yang membutuhkan. Ini karena seorang pemimpin-pemimpin umat muslim tidak mau bersatu dan memberi komando yang sama. Hanya bisa memberi bantuan pangan dan obat-obatan seadanya.
Sedangkan Islam memandang bahwa umat muslim satu dengan yang lainnya adalah bagaikan satu tubuh, jika yang satu merasakan sakit maka yang lainnya ikut merasakan serta otak akan memerintahkan kepada setiap anggota tubuhnya untuk melakukan apapun sebagai upaya untuk meredam dan memulihkan kesakitan.
Begitu halnya dengan sistem kepemimpinan Islam, ketika umat muslim menderita maka yang lainnya ikut terluka. Dan seorang pemimpin dalam Islam akan segera memerintahkan kepada pasukannya untuk mengerahkan segala kemampuan dalam upaya menyelamatkan umat dari kesengsaraan dan ketidakadilan di negerinya.
Jika harus di tempuh di Medan perang maka hal ini akan dianggap sebagai jihad dalam mempersatukan umat dan agama Allah. Sehingga umat Islam di dunia mempunyai perisai sebagai pelindung yang akan selalu melindunginya dari ancaman musuh.
Tragedi Srebrenica dan perang Bosnia menjadi pelajaran penting bagi anak umat ini bahwa tanpa khilafah negeri muslim akan terus menjadi Medan pertarungan kepentingan negara besar yang tak segan mengorbankan ribuan nyawa muslim.
* (Member Revowriter)
Tags
Opini