Sistem Rusak (Demokrasi) Mustahil Bisa Menyelesaikan Persoalan Rasisme di Dunia



Oleh: Suci Hardiana Idrus

George Floyd, seorang pria kulit hitam keturunan Afrika di Amerika telah tewas dengan leher yang tertindih oleh seorang polisi bernama Derek Chauvin di Minneapolis, pada 25 Mei 2020. Polisi menangkapnya atas dasar pengaduhan dari pegawai toko saat membeli rokok menggunakan uang palsu.

Melansir dalam video Tribunnews.com, pada 29 Mei 2020, peristiwa tersebut berawal saat ia akan ditahan dengan tuduhan melakukan transaksi dengan uang kertas 20 dollar palsu. George Floyd tewas setelah lehernya diinjak lutut oleh seorang polisi selama tujuh menit. Floyd sempat memohon-mohon agar polisi memberinya kesempatan untuk bernapas. Namun rintihan tersebut tidak digubris. Warga yang yang disekitarnya meminta polisi untuk melonggarkan tindakannya, tapi tak dihiraukan. Kejadian tersebut terekam oleh warga dan menjadi viral di media sosial.

Video yang terlanjur viral di media sosial itu kini telah memicu gelombang kemarahan masyarakat. Kasi protes dan kerusuhan mulai terjadi sehari setelah Floyd meninggal. Taggar #BlackLivesMatter menjadi tranding bahkan mendunia. Tak sedikit dari mereka ikut berdemonstrasi menentang rasisme meskipun sedang pandemi covid-19.  Kematian Floyd seolah menjadi simbol gerakan yang mendunia demi melawan rasisme.

Kejadian yang menimpa Floyd seakan membuka mata bahwa di negara yang menjadi leluhur demokrasi dan HAM, rasisme masih menjadi persoalan berpuluh-puluh tahun lamanya. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang diterapkan saat ini telah banyak menampakkan kerusakan, ketidakmampuannya dalam mengatur negara dan seluruh persoalan yang ada di masyarakat. 

Amerika dapat dikatakan menjadi negeri berbahaya dan diskriminatif.
Melansir dari Tirto.id, pada 14 Juni 2020, Data kasus tindakan brutal oknum polisi AS terhadap warga kulit hitam selama ini tercatat begitu banyak. Kebrutalan polisi AS terhadap warga kulit hitam beriringan dengan diskriminasi rasial yang sudah sistemik. Dampaknya,  kesenjangan berbau rasial, termasuk dalam hal ekonomi. Kesenjangan pun semakin tampak meski ketika pandemi tengah terjadi. Tak hanya itu, adanya kesenjangan gaji kulit putih dan kulit hitam. Data 2018 lalu menunjukkan, rata-rata tingkat kemiskinan warga kulit hitam AS 20,7 persen. Sedangkan kulit putih hanya 8,1 persen.

Lain halnya dengan Islam. Islam tidak mempromosikan pembagian garis nasionalisme, suku, ras atau etnis. Sebaliknya, Islam menyatukan semua orang. Tidak ada pemilahan antara warga asli dan minoritas di negara Islam yang didirikan di jalan kenabian. Semua orang adalah warga negara yang sama terlepas dari latar belakang mereka. Negara pun melindungi keyakinan agama mereka.

"Sungguh yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa." (QS. Al-Hujurat : 3)

"Tidak ada keutamaan orang Arab atas non-Arab, juga tidak ada keistimewaan orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali dengan takwa." (HR. Muslim)

Dengan ini, orang mukmin tidak akan memandang orang lain hina karena bangsa, ras dan warna kulitnya. Karena itu yang menentukan tinggi dan rendahnya, serta hina dan mulianya, bukan bangsa, ras dan warna kulitnya, tetapi ketakwaan dan perilakunya.

Dengan ini pula, Islam membangun ukhuwah (persaudaraan). Persaudaraan yang dibangun berdasarkan akidah yang bersifat universal sehingga terbentuklah ukhuwah islamiah.

Betapa indahnya andai sistem Islam itu diterapkan, yang aturan-aturannya bersumber langsung dari Sang Pencipta yaitu Allah. Maka mustahil bertentangan dalam kehidupan. Untuk itu seharusnya kita sebagai umat Islam sadar akan pentingnya perjuangan syariah Islam dalam bingkai Khilafah. Sebab hanya Khilafah satu-satunya institusi yang bisa menerapkan syariah secara kaffah atau menyeluruh. 

Wallahu'alam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak