Oleh: Sri Eni Purnama Dewi, S. Pd. Si
Pemerhati Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan
Derasnya dukungan terhadap gerakan lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ+) sangat disayangkan. Kini Unilever ikut andil hingga menambah daftar pendukung LGBTQ+. Sebelumnya perusahan ternama seperti Facebook, Youtube, dan Google meyatakan dukungannya terhadap kaum pelangi.
Tindakan Unilever telah menuai kecaman di dunia maya. Tak sedikit seruan untuk memboikot produk Unilever, termasuk dari MUI. Seruan boikot disampaikan ketua komisi ekonomi Majelis Ulama Indonesia (MUI), Azrul Tanjung. Beliau menegaskan mengajak masyarakat untuk berhenti menggunakan produk Unilever dan memboikot Unilever. Menurut Azrul, kampanye pro LGBT yang tengah gencar dilakukan Unilever sudah keterlaluan dan sangat keliru (Republika, 28/06/2020).
Senada dengan MUI, Pengurus Pusat Ikatan Dai Indonesia (IKADI) juga mengajak umat Islam mencari produk-produk kebutuhan sehari-hari dari perusahaan yang tidak mendukung LGBT (Republika, 02/07/2020).
Dampak aksi boikot tentunya akan merugikan produsen, tapi tidak ada jaminan bahwa dukungan terhadap kebobrokan (LGBTQ+) akan berhenti. Faktanya di era dominannya kapitalisme yang berpijak pada liberalisme banyak perusahaan yang mendukung LGBTQ+ karena memberi lahan subur bagi bisnis mereka.
Tak ada jaminan berhentinya dukungan terhadap kaum pelangi tentu memerlukan solusi mumpuni. Perlawanan terhadap LGBTQ+ harus dilakukan dengan upaya sistematis. Menghapus faham, sistem dan institusi atau lembaga liberal diganti dengan sistem Islam. Ketika Sistem kapitalis masih diterapkan, maka wajar banyak kebobrokan yang terjadi. Karena menerapkan asas manfaat tanpa mempertimbangkan halal haram.
Sejatinya dalam Islam, penggunaan atas produk tertentu merupakan aspek madaniyyah. Produk hasil buatan manusia maupun pabrik itu terkategori sebagai madaniyyah. Selagi tidak ada simbol khusus yang menjadi ciri khas suatu agama atau paham tertentu dan tidak mengandung zat yang di haramkan maka hukumnya boleh (mubah). Karena hukum asal benda adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Berbeda dengan LGBTQ+, dalam Islam sudah jelas hukumnya haram. Perbuatan ini menjadi dosa besar bahkan lebih besar dari perbuatan zina. Dalam firman Allah Subhanahu wa ta'ala, yang artinya:
“Dan Kami telah mengutus Luth ketika ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa engkau melakukan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan seorang pun kecuali kamu (di dunia ini). Sungguh engkau telah melampiaskan syahwatmu kepada mereka sesama lelaki dan bukan kepada mereka seorang wanita. Sesungguhnya engkau merupakan kaum yang telah melampaui batas fitrahmu sebagai manusia.” (QS. Al-A’raf: 80 – 81).
Secara tegas Islam melaknat para pelaku penyimpangan seksual tersebut. Dalam hadits, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali)”. (HR Nasa’i, No 7337)
Sebagai seorang muslim sudah seharusnya tolak ukur perbuatan adalah hukum syara (syariat Islam). Ketika Sang Maha Pencipta melarang perbuatan tersebut maka sami'na wa atho'na (kami mendengar dan kami taat). Tak akan ada solusi tuntas jika ideologi Islam tidak diterapkan.
Dalam Islam ada tiga aspek yang perlu diriayah agar perbuatan maksiat itu tidak lagi mendapat dukungan. Pertama, aspek individu, setiap individu diberikan pendidikan sesuai syariat Islam. Dengan menanamkan aqidah Islam yang benar.
Kedua, perlunya kontrol masyarakat agar penyimpangan LGBTQ+ tidak merajalela, tentunya diperlukan amar makruf nahi mungkar.
Ketiga, Sangat dibutuhkan peran negara. Untuk menjalankan seluruh hukum syariat Islam. Bagi pelaku homoseksual akan diberlakukan hukuman mati dengan cara menjatuhkan pelakunya dari tebing atau gedung tinggi.
Jadi hanya dengan boikot saja belum menjadi solusi tuntas LGBTQ+. Hanya dengan menerapkan ideologi Islam akan melahirkan peraturan bagi individu dan institusi. Sehingga menghasilkan lembaga yang taat serta menebarkan rahmat bagi seluruh umat. Wallahu a' lam bish showab
Tags
Opini