Oleh: Yuni Indawati
Lingkar Muslimah Bali
Komisi II DPR bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyepakati tanggal pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, yaitu 9 Desember 2020 (Detik.com, 2020). Keputusan ini tentu banyak menuai reaksi bagi pegiat Pemilu.
Keputusan tersebut terkesan dipaksakan karena dilaksanakan di tengah pandemi . Ditakutkan berpotensi menambah penyebaran COVID-19. Sebab bukan hanya pemilihan saja, tetapi pasti hal-hal lain yang dilakukan jauh hari sebelum pilkada, dimana ini bisa menjadi cluster baru penyebaran virus walaupun tetap menggunakan protokol kesehatan.
Seluruh tahapan Pilkada 2020 telah ditetapkan. Melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019. Dalam PKPU tersebut beberapa agenda penting dilaksanakan dalam waktu dekat. Kemungkinan COVID-19 masih dalam kondisi kasus positif yang naik, walaupun pemerintah sudah menetapkan PSBB transisi di beberapa daerah namun tetap kurva covid belum kunjung melandai.
Pilkada Final, Demokrasi Menjadikan Rakyat Korban
Adalah hal yang tepat untuk menanggapi keputusan Pilkada tetap dilaksanakan, jangan sampai agenda demokrasi malah kembali merenggut nyawa seperti pada pemilu 2019.
Sorotan terhadap anggaran penyelenggaraan pilkada 2020 yang mengalami kenaikan sekitar 4,7 triliun karena dilaksanakan di tengah pandemi, tentu ini juga menjadi perhatian berbagai pihak karena cukup fantastis.
Seharusnya pemerintah menyadari bahwa Pilkada bukan isu utama yang menjadi perhatian publik saat ini. Kualitas dan integritas calon pemimpin yang luput dari penilaian dan evaluasi publik akan berpengaruh terhadap legitimasi pemimpin yang dilahirkan nanti.
Fakta buruk dari perjalanan demokrasi yang melahirkan pemimpin di negeri ini telah diketahui publik. Lalu, memaksakan pilkada tetap terselenggara dengan biaya mahal, dibawah ancaman penularan pandemi covid-19 juga tak mungkin dapat dihindari. Sebenarnya dapat disimpulkan, Pilkada tak lain merupakan jurus sistematis melanggengkan sistem kriminal.
Sistem Demokrasi Ganti Dengan Islam
Hal ini menunjukan betapa bobroknya sistem dan hukum buatan manusia, hukum yang tidak efektif dan seringkali menimbulkan ketidakadilan pada masyarakat. Dalam sistem demokrasi, menempatkan kekuasaan di tangan rakyat adalah serupa dengan simbiosis mutualisme dari berbagai kepentingan. Penguasa mendapatkan modal besar dari pengusaha untuk berkuasa. Setelah penguasa yang didukung sukses menjadi penguasa, maka para cukong mendapatkan kompensasi, berupa berbagai proyek dari penguasa.
Begitulah mekanisme transaksi-transaksi politik yang terjadi antar berbagai kekuatan dalam sistem demokrasi.
Politik transaksional kerap terjadi karena negara menerapkan konsep rulling party (partai berkuasa). Konsep tersebut justru tak dikenal dalam Islam juga tidak akan ada dalam Khilafah. Oleh karena itu, meski Khalifah dan beberapa pejabat pentingnya berasal dari partai tertentu, tetapi setelah mereka berkuasa, hubungan antara mereka dengan partai politik pengusungnya sama dengan yang lain.
Partai politik pengusung mereka juga takkan merasa sia-sia, karena tugasnya menjalankan hukum syara, mengantarkan Khalifah agar menerapkan Islam secara kaffah. Tugas partai juga mengoreksi kebijakan Khalifah dan para pejabatnya, jika melakukan penyimpangan hukum syara.
Khalifah dan para pejabat publiknya akan menjaga jarak yang sama, dengan seluruh rakyatnya, baik dengan partai pengusungnya maupun bukan. Dengan begitu, tidak ada hubungan balas jasa atau balas dendam.
Sebab semua pihak, baik penguasa maupun rakyat, tunduk terhadap hukum syara. Bukan kepentingan pribadi, kelompok atau partai. Inilah esensi dari kedaulatan di tangan syara.
Dengan cara di atas, maka tradisi transaksi dalam sistem politik demokrasi tidak akan terjadi. Sebab satu-satunya yang dapat mengendalikan dan mengontrol negara adalah syariat. Maka dalam Khilafah tidak akan pernah ada simbiosis mutualisme, antara penguasa dan pengusaha, partai politik, serta etnis tertentu.
Kolusi, korupsi, dan nepotisme dan suap pun bisa dipastikan tidak ada. Karena seluruh rakyat dan aparatur negara terikat hukum syariat. Karena ketakwaanlah yang menjadi pondasi negara Khilafah. Bahkan jika ada indikasi KKN, negara Khilafah akan mengambil tindakan tegas terhadap pelakunya.
Masyarakat harusnya semakin sadar kalau pemerintahan yang seperti ini tidak bisa dijadikan sebagai alat perlindungan apalagi tempat mengharap kesejahteraan. Demokrasi hanyalah sebuah nama yang diartikan sebagai "dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat". Tapi kenyataannya hanya segelintir orang yang berkuasa lah yang merasakan manisnya, rakyat seringkali hanya dijadikan sebagai alat perahan, pemakan janji-janji yang tidak dibarengi dengan bukti. Bahkan di sistem yang sudah terlihat borok. Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini