Oleh: Neng Ipeh*
Tak bisa dipungkiri, sektor pariwisata mengalami dampak yang sangat buruk akibat pandemi virus Corona (Covid-19). Adanya pembatasan sosial hingga karantina wilayah membuat pelaku industri pariwisata gigit jari.
Hal ini diamini oleh Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) yang memperkirakan 96 persen dari semua tujuan liburan di dunia tidak bisa dikunjungi selama pandemi virus Corona. Sekretaris Jenderal UNWTO Zurab Pololikashvili menyerukan agar segera disusun konsep untuk mengakhiri pembatasan dan karantina.
"Krisis ini telah menunjukkan kepada kita kekuatan solidaritas lintas batas. Kata-kata baik saja tidak akan menyelamatkan jutaan pekerjaan di sektor pariwisata yang terancam hilang," ujarnya. (www.suara.com/12/07/2020)
Berlakunya era New Normal Life tentu telah membuka kesempatan bagi seluruh aktivitas berjalan seperti biasa. Termasuk bidang pariwisata ini. Sayangnya ibarat berjudi, pembukaan kembali destinasi wisata di tengah pandemi covid-19 ini pun menuai pro-kontra dari sejumlah kalangan.
Hal ini karena di satu sisi, penutupan tempat-tempat wisata termasuk industri penunjangnya, dibutuhkan untuk meredam penyebaran virus corona. Akan tetapi, pembatasan ini makin membebani perekonomian warga dan daerah yang selama ini tergantung dengan industri pariwisata. Sementara di sisi lain, pembukaan sektor pariwisata ini tentunya berpotensi meningkatkan jumlah penderita yang terpapar dan memunculkan klaster baru jika tidak dilakukan serangkaian pengamanan dan pencegahan.
Deputy of President ASEAN Tourism Association (ASEANTA) Eddy Krismeidi Soemawilaga mencontohkan kasus Covid-19 di Korea Selatan yang kembali melonjak seiring dengan pembukaan kembali pariwisatanya, pada akhir Mei 2020. Ia menuturkan kemungkinan pelonjakan kasus Covid-19 yang tinggi bisa terjadi pada saat New Normal berlangsung. Berkaca pada Korea Selatan yang menerapkan protokol kesehatan dengan ketat dan jelas, kasus Covid-19 tetap akan mengintai wisatawan. "Saya sepakat bahwa ada risiko yang cukup besar dalam membuka sektor pariwisata, seperti Korea Selatan yang kasusnya melonjak," katanya. (kompas.com/13/07/2020)
Ekonomi neoliberal yang dianut negeri ini, telah menjadikan pariwisata sebagai tumpuan devisa negara. Sehingga menggenjot sektor pariwisata dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah perkara yang wajib demi pertumbuhan ekonomi. Padahal jumlah penderita yang terpapar wabah ini semakin meningkat dari hari ke hari.
Tentu saja hal ini sangatlah berbeda sekali dengan Islam. Islam memandang berwisata adalah sebuah sarana untuk mendekatkan diri pada Rabnya. Sekaligus sarana membangun keakraban keluarga. Tentunya dengan tetap berlandaskan hukum syara. Dan hal ini tentunya akan dilakukan jika kondisi tidak membahayakan bagi masyarakat. Adapun jika situasi pandemi seperti saat ini, Islam akan lebih mengutamakan rakyat terpenuhi segala kebutuhan utamanya daripada sekedar untuk berwisata.
Hal ini karena di sisi Allah subhanahu wata'ala, hilangnya nyawa seorang muslim lebih lebih besar perkaranya dari pada hilangnya dunia. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
Apalagi Islam tidaklah menjadikan sektor pariwisata sebagai tumpuan ekonomi. Karena Islam memiliki sumber pendapatan lain dengan memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam, adanya kharaj, jizyah, dan yang lainnya yang dapat dijadikan sebagai pemasukan negara untuk menyejahterakan rakyatnya.
* (Aktivis BMI Community Cirebon)
Tags
Opini