Oleh : Suci Hardiana Idrus
Beberapa bulan belakangan ini, kredibilitas hukum sedang dipertaruhkan. Bagaimana tidak, hukum yang ada diharapkan memberi keadilan bagi setiap lapisan masyarakat ternyata begitu mudah dijungkir balikkan dan diperjual belikan. Misal, sidang putusan bagi pelaku penyimpanan air keras kepada Novel Baswedan yang menyebabkan sebelah matanya buta permanen dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara. Bahkan tak sebanding dengan awal penyusutan kasusnya yang memakan waktu kurang lebih 2 tahun lamanya.
Kali ini, hukum sedang dipermainkan oleh seorang buronan bernama Djoko Soegiarto Tjandra. Djoko Tjandra merupakan pengusaha kakap sekaligus menjadi buronan terkait kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali sejak 2009. Djoko didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara Rp 940 miliar. Kemudian Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman terhadap Djoko dengan pidana penjara selama 2 tahun pada 2009. Sehari sebelum keputusan, Djoko kabur melarikan diri ke Papua Nugini. Lalu menjadi warga negara Papua Nugini pada 2012.
Djoko Tjandra merupakan salah satu dari banyak kasus yang diperlakukan istimewa dari para pejabat. Kasusnya menjadi gempar tatkala keberadaannya di tanah air mulai terlacak.
Melansir dari CNN Indonesia, Rabu, 01 Juli 2020, Kini setelah belasan tahun dalam pelarian, Djoko Tjandra dikabarkan berada di Jakarta. Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut Djoko Tjandra datang ke PN Jakarta Selatan untuk mendaftarkan PK pada 8 Juni lalu.
Selama di Indonesia, Statusnya sebagai buron lantas tak menyulitkannya membuat E-KTP yang di terbitkan oleh Lurah Grogol Selatan Asep Subahan. Tak hanya itu, Djoko Tjandra pun turut berhasil saat membuat paspor di Kantor Imigrasi. Dengan itu Djoko bisa berkeliaran di tanah air tanpa ada yang menangkapnya sebagai status buron. Yang paling miris, perlakuan istimewa juga dilakukan oleh pihak oknum pejabat negeri, yakni seorang Brigjen (pol), Prasetijo Utomo. Ia diduga telah membuat dan menggunakan surat palsu. Penyidik pun menyita barang bukti berupa dua surat jalan, dua surat keterangan pemeriksaan Covid-19, serta surat rekomendasi kesehatan untuk membantu Djoko Tjandra bisa keluar masuk Indonesia.
Melansir dari Kompas.com, Senin, 27 Juli 2020, Dalam kasus ini, dua jenderal Polri lainnya telah dimutasi karena diduga melanggar kode etik perihal polemik red notice untuk Djoko Tjandra. Keduanya yaitu, Kepala Divisi Hubungan International Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen (Pol) Nugroho Slamet Wibowo.
Mirisnya, bukannya menjaga hukum tetap ditegakkan, petinggi penegak hukum pun malah ikut bermain di dalamnya. Lupa dengan sumpahnya saat menerima amanah jabatan penting tersebut yang ditangannya terwujud sebuah keadilan dan keamanan.
Kekacauan hukum semakin dipertontonkan kepada masyarakat. Hukum bergulir tidak sewajarnya. Lantas kepada siapa lagi rakyat berharap keadilan? Jika keadilan saja mulai berbayar, punya nominal sendiri. Semakin besar semakin mudah dan leluasa lepas dari jerat hukum. Sekalipun dihukum, tuntutannya ringan, diberi fasilitas nyaman di penjara, dipotong masa tahanan lagi-lagi.
Hukum Indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Justru sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena. Saat ini hukum di Indonesia yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan Negara dilanggar. Orang biasa yang ketahuan melakukan tindakan kecil langsung ditangkap dan dijebloskan kepenjara. Sedangkan seorang pejabat Negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik Negara dapat berkeliaran dengan bebasnya. Karena hukuman itu cenderung hanya berlaku bagi orang miskin dan tidak berlaku bagi orang kaya, sehingga tidak sedikit orang yang menilai bahwa hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang Beberapa tahun belakangan ini, hukum Indonesia semakin parah saja. Hukum seakan-akan bukan lagi dasar bagi bangsa Indonesia. Ada pengakuan informal di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli, maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakan hukum secara menyeluruh dan adil.
Generasi Muslim pada masa lalu amat paham tentang betapa beratnya amanah kepemimpinan dan kekuasaan ini. Banyak nas yang menegaskan demikian. Rasulullah saw., misalnya, bersabda:
أَيُّمَا رَاعٍ اسْتُرْعِيَ رَعِيَّةً، فَغَشَّهَا، فَهُوَ فِي النَّارِ
Penguasa mana saja yang diserahi tugas mengurus rakyat, lalu mengkhianati mereka, dia masuk neraka (HR Ahmad).
Rasulullah saw. pun bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba—yang diserahi oleh Allah tugas untuk mengurus rakyat—mati pada hari kematiannya, sementara ia mengkhianati rakyatnya, Allah mengharamkan surga bagi dirinya (HR Muslim).
Terkait dengan hadis ini, Imam Fudhail bin Iyadh menuturkan, “Hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang diserahi Allah SWT untuk mengurus urusan kaum Muslim, baik urusan agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat.
Jika seseorang berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepada dirinya maka ia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga.
Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariah Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah dan mengabaikan hudûd (hukum-hukum Allah).
Penelantaran itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka.
Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang telah mengkhianati umat.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim).
Wallahu a'lam