Oleh: Rindoe Arrayah
Kasus perceraian pasangan di Kabupaten Garut cukup tinggi. 6 bulan pertama tahun 2020, ada lebih dari 2 ribu janda baru di kota berjuluk Swiss van Java.
Wakil Ketua Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Garut Asep Alinurdin mengatakan, sejak awal tahun 2020 hingga bulan Juni, angka perceraian pasutri yang ditangani PA Garut sudah hampir mencapai 3 ribu kasus.
"Untuk tahun ini sudah ingin mencapai tiga ribu," kata Asep kepada wartawan di kantornya, Jalan Suherman, Tarogong Kaler, Kamis (2/7).
Asep mengatakan, istri yang cerai dengan suaminya rata-rata berumur 25-40 tahun. Perceraian dominan disebabkan faktor ekonomi. Alasan ekonomi kerap membuat pasutri di Garut bertengkar hingga akhirnya cerai.
"Pertengkaran tak hanya cek-cok mulut, tapi ada juga yang sampai KDRT," katanya.
Asep menjelaskan, dari tahun ke tahun, angka perceraian di Kabupaten Garut cukup tinggi. PA mencatat setidaknya terjadi 6 ribu kasus setiap tahunnya sejak dua tahun terakhir.
"Tapi jumlah itu tidak hanya perkara cerai. Ada juga isbat nikah, ada dispensasi," ujar Asep.
Tingginya kasus perceraian membuat PA Garut kewalahan. 10 orang hakim yang ada setiap harinya bisa menangani 30 hingga 50 perkara cerai.
"Kami mungkin sedikit terlambat dalam menangani perkara. Soalnya, satu hari itu per majelisnya bisa menangani 30 sampai 50 perkara," ujar Asep (detiknews.com, 3/7/2020).
Memang, perceraian bukan merupakan hal yang dilarang dalam Islam, sekalipun ia merupakan aktivitas yang dibenci oleh Allah SWT. Sabda Nabi SAW: “Allah tidak menjadikan sesuatu yang halal, yang lebih dibenci oleh-Nya dari talak.” Dan lagi: “Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak.” (Riwayat Abu Dawud).
Pada masa Rasulullah SAW pun ada seorang perempuan yang minta cerai dari suaminya dan diizinkan oleh Rasulullah SAW.
“Istri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi SAW seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur.”
Maka Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?” Ia menjawab, “Ya.” Maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah SAW memerintahkannya dan Tsabit pun menceraikannya. (HR Al-Bukhari).
Dari nas-nas ini jelas sebenarnya bahwa perceraian bukanlah hal yang terlarang, karena memang secara fakta pun biduk rumah tangga tidak selalu tenang dan harmonis.
Kadang-kadang ada riak-riak kecil yang mengganggu biduk rumah tangga yang kadang-kadang riak-riak itu semakin membesar bahkan menjadi gelombang yang akhirnya menghancurkan biduk tersebut. Terjadilah perceraian.
Hanya saja jika kasus perceraian yang terjadi hingga 10% dari jumlah pernikahan sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini, tentu saja tidak bisa dikatakan “wajar” atau biasa. Tetapi luar biasa bahkan bisa dikatakan fantastis.
Pernikahan seolah tidak lagi dianggap sesuatu yang bernilai ibadah. Angka perceraian di Indonesia memang terbilang sangat tinggi, dari tahun ke tahun semakin meningkat. Apalagi di situasi pandemi ini, di beberapa daerah di Indonesia kasus perceraian semakin meningkat.
Pejabat Pengadilan Agama menyatakan bahwa faktor ekonomi keluarga dan faktor moralitas atau akhlak cukup tinggi menjadi penyebab gugatan cerai. Suami yang berselingkuh atau sebaliknya, dan beberapa kasus berujung pada terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Perkara yang dilatarbelakangi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tetap ada, namun persentase jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding gugatan cerai karena faktor ekonomi, pertengkaran, hingga perselingkuhan. Dari jumlah kasus perceraian yang terjadi, perkara cerai gugat cukup tinggi dibandingkan cerai talak. (Wartakotalive.com).
Pergeseran tren perceraian beberapa tahun belakangan yang dominan diajukan pihak istri (cerai gugat) menimbulkan tanda tanya besar dan merupakan hal yang harus menjadi perhatian kita pula, di samping tingginya tingkat perceraian di Indonesia.
Mengapa dan ada apa? Karena selama ini, kaum perempuan malah tidak mau diceraikan, walau ia sudah babak belur akibat dari perlakuan suami yang melakukan KDRT. Ketakutan perempuan lebih disebabkan oleh ketidaksiapan secara ekonomi, sosial, dan psikologis.
Lazimnya perempuan merasa malu menyandang status janda, apalagi jika sudah memiliki anak. Belum lagi beratnya konsekuensi menjadi orang tua tunggal, karena umumnya anak-anak lebih dekat kepada ibunya. Maka bila perempuan malah lebih banyak menuntut cerai, pasti ada penyebabnya.
Melihat angka kasus perceraian yang terus meningkat, Pengadilan Agama telah berusaha melakukan serangkaian proses mediasi bagi pasangan suami istri, namun upaya itu tidak membuahkan hasil.
Beberapa pihak menilai bahwa permasalahan ini muncul karena pandemi, sehingga menyebabkan munculnya tekanan kepada para ibu. Anak-anak sekolah di rumah, suami bekerja dari rumah, bahkan ada suami yang akhirnya di-PHK sehingga mengharuskan para ibu berpikir keras mengelola keuangan, hingga ada kaum ibu yang terpaksa bekerja.
Siapa pun –orang yang akan berumah tangga– ketika ditanya apa tujuan mereka menikah, maka jawabannya adalah terwujudnya rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Sayangnya, konsep berumah tangga dan berkeluarga yang Islami ini, tidak sepenuhnya dipahami dan diinternalisasikan oleh pasutri.
Lemahnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam kaffah, menjadikan ajaran Islam hanya dipahami sebatas ritual saja, hingga tak mampu berpengaruh dalam perilaku keseharian, baik dalam konteks individu, keluarga, masyarakat, maupun negara.
Dengan minimnya pemahaman Islam kaffah, ketika diuji kesulitan –termasuk pada situasi pandemi ini– tak sedikit individu muslim yang mengalami disorientasi hidup, hingga mereka mudah menyerah pada keadaan, bahkan terjerumus dalam kemaksiatan.
Dalam konteks keluarga, tak sedikit yang mengalami disharmoni bahkan disfungsi akut akibat himpitan ekonomi dan krisis, termasuk pandemi saat ini, hingga keluarga tak bisa lagi diharapkan menjadi benteng perlindungan dan tempat kembali yang paling diidamkan.
Adapun masyarakat, kian kehilangan fungsi kontrol akibat individualisme yang mengikis budaya amar makruf nahi mungkar.
Sementara negara, tak mampu menjadi pengurus dan penjaga umat akibat sibuk berkhidmat pada asing dan pengusaha, bahkan sibuk berdagang dengan rakyatnya.
Pernikahan merupakan satu hal yang penting dan banyak diimpikan oleh setiap manusia. Dalam ajaran Islam, menikah adalah salah satu ibadah yang dianjurkan. Karena dengan menikah seseorang akan membina rumah tangga dan membentuk keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Tujuan Pernikahan dalam Islam
1. Melaksanakan Sunnah Rasul
Tentu saja tujuan pernikahan yang utama ialah menjauhkan dari perbuatan maksiat. Namun, sebagai seorang muslim tentu saja kita memiliki panutan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dan ada baiknya kita mengikuti apa yang dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dan pernikahan merupakan salah satu sunnah dari Rasulullah SAW.
2. Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Sangat dianjurkan bagi mereka yang telah mampu untuk menikah. Hal ini karena pernikahan merupakan fitrah manusia serta naluri kemanusiaan itu sendiri. Karena naluri manusia dipenuhi pula dengan hawa nafsu, maka lebih baik untuk dipenuhi dengan jalan yang baik dan benar yaitu melalui penikahan.
Apabila naluri tersebut tidak terpenuhi, maka dapat menjerumuskan seseorang kepada jalan yang diharamkan oleh Allah SWT yaitu berzina. Salah satu fitrah manusia ialah berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan, maka akan saling melengkapi, berbagi dan saling mengisi satu sama lain.
3. Penyempurna Agama
Dalam Islam, menikah merupakan salah satu cara untuk menyempurnakan agama. Dengan menikah maka separuh agama telah terpenuhi. Jadi salah satu dari tujuan pernikahan ialah penyempurnakan agama yang belum terpenuhi agar semakin kuat seorang muslim dalam beribadah.
Rasullullah SAW bersabda:"Apabila seorang hamba menikah maka telah sempurna separuh agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya"(HR. Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman).
4. Menguatkan Ibadah sebagai Benteng Kokoh Akhlaq Manusia
Dalam Islam, pernikahan merupakan hal yang mulia, karena pernikahan merupakan sebuah jalan yang paling bermanfaat dalam menjaga kehormatan diri serta terhindar dari hal-hal yang dilarang oleh agama.
Hal ini pula sesuai dengan HR. Muslim No. 1.400 di mana Rasullullah SAW bersabda:"Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya."
Dan sasaran utama dalam pernikahan dalam Islam ialah untuk menundukkan pandangan serta membentengi diri dari perbuatan keji dan kotor yang dapat merendahkan martabat seseorang. Dalam Islam, sebuah pernikahan akan memelihara serta melindungi dari kerusakan serta kekacauan yang ada di masyarakat.
5. Memperoleh Ketenangan
Dalam Islam, sebuah pernikahan sangat dianjurkan karena tujuan pernikahan nantinya akan ada banyak manfaat yang didapat. Perasaan tenang dan tentram atau sakinah akan hadir selepas menikah.
Namun dalam sebuah pernikahan jangan hanya mengandalkan perasaan biologis serta syahwat saja, karena hal ini tidak akan sanggup untuk menumbuhkan ketenangan di dalam diri seseorang yang menikah.
6. Memperoleh Keturunan
Sesuai dengan Surat An Nahl Ayat 72, Allah SWT telah berfirman, yang artinya:"Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?"
Maka dapat dilihat tujuan pernikahan dalam Islam lainnya ialah untuk memperoleh keturunan. Tentunya dengan harapan keturunan yang diperoleh ialah keturunan yang sholeh dan sholehah, agar dapat membentuk generasi selanjutnya yang berkualitas.
7. Investasi di Akhirat
Anak yang diperoleh dari sebuah pernikahan tentunya sebagai investasi kedua orangtua di akhirat. Hal itu karena anak yang sholeh dan sholehah akan memberikan peluang bagi kedua orangtuanya untuk memperoleh surga di akhirat nanti. Berbekal segala ilmu dalam beragama yang diperoleh selama di dunia, bekal doa dari anak merupakan hal yang dapat diharapkan kelak.
Tidak bisa dipungkiri, jika pernikahan dan perceraian masih dianggap sebagai sesuatu yang sepele bagi masyarakat kebanyakan. Mengapa bisa demikian? Hal ini dikarenakan sistem kehidupan kapitalisme-sekulerisme telah membentuk pola pikir serta pola sikap masyarakat yang jauh dari nuansa islami. Masyarakat begitu mudahnya mengucapkan akad pernikahan, begitu pula mereka dengan mudahnya melisankan perceraian. Tanpa disadari, mereka telah mempermainkan pernikahan dan perceraian. Jika hal ini terus berlanjut, maka akan rusaklah tatanan kehidupan manusia.
Untuk itu hanya ada satu solusi, yaitu kembali kepada syariat Islam manakala menyelesaikan segala permasalahan. Tidak terkecuali pula saat mengatur pernikahan dan perceraian. Sehingga akan didapati keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Peran negara dalam menerapkan syariat Allah SWT ini sangat penting adanya.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“ … Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agama-mu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa’idah: 3]
Wallahu a’lam bishowab.