Ummu Hanif, ( Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Menjalani karantina wilayah dan tetap berada di rumah bagi sebagian orang akan mempererat kebersamaan dalam keluarga. Namun, bagi sebagian lainnya, hal itu justru memperuncing perbedaan dan meningkatkan konflik.
Pembatasan kehidupan sosial selama berminggu-minggu bahkan berbulanbulan, dalam kondisi tertentu, memang dapat menghadirkan ketidakpastian, pemisahan, dan ketakutan bagi banyak individu, pasangan, dan keluarga. Dalam kondisi itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi dan perceraian yang menghancurkan keluarga berlangsung. Perempuan dan anak-anak pun merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban. Ironisnya, dalam beberapa hari terakhir ini insiden domestik semacam itu justru meningkat saat dunia dilanda pandemi covid-19.
Menurut data WHO, banyak negara melaporkan terjadi peningkatan kasus KDRT di masa pandemi, antara lain Inggris, Prancis, Spanyol, dan Jepang. Di Spanyol, KDRT pada April 2020 meningkat 60% ketimbang April 2019. Dibandingkan dengan Maret 2020, kasus KDRT juga naik 38%. Di Inggris, panggilan pada saluran laporan KDRT meningkat 49% pada awal April 2020 jika dibandingkan dengan April 2019. Di Prancis, laporan KDRT pada Federasi Nasional untuk Solidaritas Perempuan naik 2-3 kali lipat sejak negara ini memberlakukan karantina wilayah atau lockdown. Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) pun memperkirakan akan ada 31 juta kasus kekerasan domestik di dunia jika penutupan wilayah berlangsung hingga 6 bulan. UNFPA memprediksi munculnya 15 juta kekerasan berbasis gender dalam setiap perpanjangan penutupan wilayah selama 3 bulan. (www.mediaindonesia.com, 16/5/2020)
Masih dari sumber yang sama, di Indonesia, kecenderungan yang sama juga berlangsung. Menurut hasil survei daring Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terhadap lebih dari 20.000 keluarga, 95% keluarga dilaporkan stres akibat pandemi dan pembatasan sosial. Hal itu terjadi pada April-Mei 2020. Data Komnas Perempuan selama wabah hingga 17 April, pengaduan kekerasan pada perempuan via surat elektronik sebanyak 204 kasus. Ada pula 268 pengaduan via telepon dan 62 via surat.
Sementara itu, menurut data di beberapa pengadilan agama, sebut saja di Cianjur, Jawa Barat, tingkat perceraian meningkat tajam di masa pandemi. Dalam sehari mencapai 50 jumlah pendaftar gugatan cerai. Dan dari 2.029 jumlah gugatan pada bulan juni lalu, 80 persennya adalah gugat cerai akibat factor ekonomi. www.wartaekonomi.co.id, 12/6/2020)
Berbicara tentang pernikahan dan perwujudannya, hal ini merupakan hasrat alami manusia yang terkait erat dengan naluri untuk melestarikan keturunan. Pada dasarnya pernikahan atau kehidupan pernikahan adalah memberi ketenangan, sehingga terjadi persahabatan yang penuh kebahagiaan dan ketegangan antara pasangan suami dan istri.
Karena Allah telah menjadikan pernikahan sebagai tempat ketenangan bagi pasangan suami istri, sebagaimana firman-Nya dalam QS Ar-Rum: 21 yang artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kau cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikannya di antaramu kecintaan dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Rumah tangga yang ideal, mawaddah wa rahmah, penuh dengan ketenangan dan kasih sayang di antara anggota keluarga merupakan dambaan setiap insan. Walaupun demikian pada faktanya kadang kala keinginan ini sulit terwujud. Bahkan yang terjadi adalah rumah tangga yang berantakan, penuh dengan kebencian. Sehingga perceraian menjadi pilihan berat yang harus dipilih.
Memang, perceraian bukan merupakan hal yang dilarang dalam Islam, sekalipun ia merupakan aktivitas yang dibenci oleh Allah SWT. Sabda Nabi (Saw.): “Allah tidak menjadi sesuatu yang halal, yang lebih dibenci oleh-Nya dari talak.” Dan lagi: “Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak.” (Riwayat Abu Dawud).
Hanya saja jika kasus perceraian yang terjadi hingga 10% dari jumlah pernikahan sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini, tentu saja tidak bisa dikatakan “wajar” atau biasa. Tetapi luar biasa bahkan bisa dikatakan fantastis. Pernikahan seolah tidak lagi dianggap sesuatu yang bernilai ibadah.
Siapa pun –orang yang akan berumah tangga– ketika ditanya apa tujuan mereka menikah, maka jawabannya adalah terwujudnya rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Sayangnya, konsep berumah tangga dan berkeluarga yang Islami ini, tidak sepenuhnya dipahami dan diinternalisasikan oleh pasutri.
Lemahnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam kaffah, menjadikan ajaran Islam hanya dipahami sebatas ritual saja, hingga tak mampu berpengaruh dalam perilaku keseharian, baik dalam konteks individu, keluarga, masyarakat, maupun negara. Dengan minimnya pemahaman Islam kaffah, ketika diuji kesulitan –termasuk pada situasi pandemi ini– tak sedikit individu muslim yang mengalami disorientasi hidup, hingga mereka mudah menyerah pada keadaan, bahkan terjerumus dalam kemaksiatan. Dalam konteks keluarga, tak sedikit yang mengalami disharmoni bahkan disfungsi akut akibat himpitan ekonomi dan krisis, sehingga keluarga tidak bisa lagi diharapkan menjadi benteng perlindungan dan tempat kembali yang paling diidamkan.
Sementara masyarakat, kian kehilangan fungsi kontrol akibat individualisme yang mengikis budaya amar makruf nahi mungkar serta kepedulian terhadap sesama. Sementara negara, tidak mampu menjadi pengurus dan penjaga umat akibat sibuk berkhidmat pada asing dan pengusaha, bahkan sibuk berdagang dengan rakyatnya.
Kalau kita cermati, Semua ini berpulang pada sistem kapitalisme sekuler. Sekularisme dengan paham-paham turunannya yang batil seperti liberalisme dan materialisme memang meniscayakan kehidupan yang serba sempit dan jauh dari berkah. Terbukti, hingga kini dunia terus dilanda krisis, terlebih adanya pandemi ini, semakin membebani mayoritas keluarga muslim dengan kehidupan yang serba sulit, sedangkan penguasa seolah masa bodoh dengan kondisi rakyatnya.
Kondisi ekonomi sulit inilah yang kerap memunculkan masalah dalam keluarga. Para bapak kesulitan mendapatkan nafkah bagi keluarganya, yang akhirnya mendorong para ibu turut bertanggung jawab menanggung beban ekonomi keluarga yang menyita energi dan waktu mendidik anak-anak mereka.
Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan riak-riak dalam rumah tangga yang selanjutnya berdampak pada ketidakharmonisan keluarga. Kondisi ini menjadikan umat Islam kehilangan peluang untuk kembali tampil menjadi entitas terbaik dan terdepan (khairu ummah) sebagaimana fitrahnya.
Jika saja seluruh hukum-hukum Islam diterapkan muka bumi ini, tentu saja kasus perceraian yang terus meningkat di negeri-negeri kapitalis tidak akan pernah terjadi. Seorang istri pun tidak akan teracuni oleh bisikan-bisikan atau pemikiran-pemikiran yang tidak benar dengan mengatasnamakan memandirikan perempuan.
Seorang suami akan menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik demikian pula seorang istri akan menjalankan kewajiban dan menuntut hak dengan baik. Sehingga pernikahan sebagai sesuatu yang bernilai ibadah merupakan hal yang niscaya.
Sementara negara akan sekuat tenaga memenuhi kebutuhan tiap keluarga, sehingga institusi ini mampu menjadi institusi terkecil dari pelaksana syariat islam. Dan dari keluarga inilah akan lahir generasi yang kuat akidah dan akhlaknya sehingga menjadi penjaga negara yang tangguh.
Wallahu a’lam bi ash showab