Oleh: Oom Rohmawati
Ibu rumah tangga
Bagai pungguk merindukan bulan, saat merindukan sosok pemimpin yang adil dan amanah juga tidak korup di negeri yang menerapkan sistem demokrasi sekuler. Dimana sepak terjangnya jauh dari nilai-nilai agama. Padahal jelas bagi mereka para pemangku kebijakan, ada banyak amanah yang harus dilakukan dan tidak boleh dikhianati.
Ada banyak dalil yang mengingatkan para pemimpin dan penguasa, baik Al-Qur'an ataupun hadits di antaranya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian padahal kalian tahu (QS:al-Anfal[8]:27)
Di antara sekian banyak amanah, yang paling penting adalah amanah kekuasaan. Rasulullah saw. bersabda:
"Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari)
Sesuai dengan sabda Rasul saw. di atas, siapa saja yang memegang amanah kepemimpinan atau kekuasaan, pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. di akhirat nanti. Ditegaskan lagi, Rasulullah Saw. bersabda;
"Penguasa mana saja yang diserahi tugas mengurus rakyat, lalu mengkhianati mereka, dia akan masuk neraka (HR Ahmad).
Rasulullah saw. pun bersabda;
"Tidaklah seorang hamba—yang diserahi oleh Allah tugas untuk mengurus rakyat—mati pada hari kematiannya, sementara ia mengkhianati rakyatnya, Allah mengharamkan surga bagi dirinya (HR Muslim).
Terkait dengan hadis ini, Imam Fudhail bin Iyadh menuturkan, “Hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang diserahi Allah Swt.untuk mengurus urusan kaum Muslim, baik urusan agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepada dirinya maka ia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga. Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariah Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah dan mengabaikan hudûd (hukum-hukum Allah). Penelantaran itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang telah mengkhianati umat.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim).
Namun tampaknya ancaman yang ada dalam nas-nas Al-Qur'an ataupun hadits di atas tidak membuat penguasa dan pemimpin saat ini takut atau sadar akan tanggungjawab kepemimpinannya. Sehingga merajalelanya berbagai macam bentuk kemaksiatan.
Sangat berbeda dengan para Khalifah, pada peradaban Islam dalam sistem Kehilafahan. Selama berabad-abad telah melahirkan banyak pemimpin yang adil dan amanah. Dari Khalifah pertama hingga penerusnya, seperti Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, beliau sabar dan lembut, tapi dalam kepemimpinan beliau berani dan tegas. Tatkala sebagian kaum muslimin menolak kewajiban bayar zakat, beliau segera memerintahkan untuk memerangi mereka. Dengan begitu stabilitas dan kewajiban kekhilafahan bisa dipertahankan meskipun harus mengambil resiko perang.
Pengganti beliau, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., juga terkenal adil dan amanah. Beliau penguasa yang tegas dan sangat disiplin. Beliau tidak segan-segan merampas harta para pejabatnya yang ditengarai berasal dari jalan yang tidak benar (Lihat: Târîkh al-Islâm, II/388; Tahdzîb at-Tahdzîb, XII/267).
Pada zaman Khalifah Umar ra. pula, Beliau pernah menegur Gubernur Mesir Amr bin al-‘Ash saat menerapkan sanksi hukum (had) minum khamr terhadap Abdurrahman bin Umar (putra Khalifah Umar ra.). Biasanya, pelaksanaan sanksi hukum semacam ini diselenggarakan di sebuah lapangan umum di pusat kota. Tujuannya agar penerapan sanksi semacam ini memberikan efek jera bagi masyarakat. Namun, Gubernur Amr bin al-‘Ash menerapkan hukuman tersebut di dalam rumah. Sehingga Umar pun marah.
Begitulah sikap Khalifah Umar bin Al -Khath-thab ra. Tidak peduli dia putra Khalifah ataukah bukan. Ketika putranya sendiri melakukan kesalahan, maka hukum Islam ditegakkan. Tak ada nepotisme. Tak ada intervensi hukum. Bahkan Khalifah Umar ra. juga menghukum pejabat yang mengabaikan penerapan hukum Islam. Amr bin al-Ash mendapat teguran keras dan hukuman yang setimpal atas kecerobohan dan kelalaian tindakannya tersebut.
Tak hanya para khalifah, para pejabat Islam pada masa Kekhilafahan Islam pun menunjukkan keteladanan yang sama. Salah satu contohnya adalah Qadhi Syuraih. Dikisahkan, saat Ali bin Abi Thalib ra. menjabat khalifah, ia pernah bersengketa dengan seorang laki-laki Yahudi terkait sebuah baju besi. Diriwayatkan oleh Imam al-Hakim bahwa baju besi Imam Ali ra. hilang pada Perang jamal. Imam Ali ra. ternyata mendapati baju besinya ada di tangan seorang laki-laki Yahudi. Beliau dan orang Yahudi lalu mengajukan perkara itu kepada hakim bernama Syuraih. Beliau lalu mengajukan saksi seorang mantan budaknya dan Hasan, anaknya. Qadhi Syuraih berkata, "Kesaksian mantan budakmu saya terima, tetapi kesaksian Hasan saya tolak." Imam Ali ra. berkata, "Apakah kamu tidak pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda bahwa Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda penghuni surga?"
Qadhi Syuraih tetap menolak kesaksian Hasan. Ia memenangkan si Yahudi. Qadhi Syuraih lalu berkata kepada orang Yahudi itu, "Ambillah baju besi itu." Namun, Yahudi itu lalu berkata, "Amirul Mukminin bersengketa denganku. Lalu datang kepada hakim kaum Muslim. Kemudian hakim memenangkan aku dan Amirul Mukminin menerima keputusan itu. Demi Allah, Andalah yang benar, wahai Amirul Mukminin. Ini memang baju besi Anda. Baju besi itu jatuh dari unta Anda. Lalu aku ambil. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah." Imam Ali ra. berkata, "Karena Anda sudah masuk Islam, kuberikan baju besi itu untukmu." (Al-Kandahlawi, Hayah ash¬-Shahabah, 1/146).
Inilah keadilan hakiki yang berhasil diwujudkan Islam. Keadilan seperti inilah yang dulu pernah diwujudkan di Negara Khilafah yang menerapkan syariah Islam secara kaffah di tengah-tengah masyarakat. Keadilan semacam ini pula yang didambakan tak hanya oleh umat Islam, namun bahkan oleh orang-orang non-Muslim sekalipun.
Selain adil dan amanah, para pemimpin Islam pada masa lalu juga amat hati-hati dengan harta negara. Mereka tak berani menggasak uang negara. Mereka tidak korup. Inilah juga yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya. Saat menjadi khalifah, beliau pernah dihadiahi minyak wangi kesturi dari penguasa Bahrain. Beliau lalu menawarkan kepada para sahabat, siapa yang bersedia untuk menimbang sekaligus membagi-bagikan minyak wangi kesturi itu kepada kaum Muslim. Saat itu, istri beliau, Atikah ra., yang pertama kali menawarkan diri. Namun, beliau dengan lembut menolaknya. Sampai tiga kali istri beliau menawarkan diri, beliau tetap menolak keinginan istrinya. Beliau kemudian berkata, “Atikah, aku hanya tidak suka jika engkau meletakkan tanganmu di atas timbangan. Lalu engkau menyapu-nyapukan tanganmu yang berbau kesturi itu ke tubuhmu. Dengan itu berarti aku mendapatkan lebih dari yang menjadi hakku yang halal.” (Al-Kandahlawi, Fadha’il A’mal, hlm. 590).
Begitulah sikap sang Khalifah. Jangankan korupsi. Sekadar kecipratan minyak wangi yang bukan haknya pun tak sudi.
Islam telah terbukti mampu mendorong para pemimpin/penguasa untuk selalu bersikap adil, amanah dan tidak korup. Sayangnya, pemimpin adil, amanah dan tidak korup ini tidak mungkin lahir dari rahim sistem demokrasi sekular yang memang kufur. Sistem zalim ini hanya bisa menghasilkan para pemimpin zalim, khianat dan korup. Pemimpin yang adil, amanah dan tidak korup hanya mungkin lahir dari rahim sistem yang bertumpu pada al-Quran dan as-Sunnah. Itulah sistem Islam yang diterapkan dalam institusi pemerintahan Islam. Itulah Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. []