Oleh : Anna nafisah
Pandemi Covid-19 masih belum menentu. Namun demikian, Tahun Ajaran Baru sekolah 2020/2021 akan tetap dilaksanakan pada 13 Juli 2020, sebagaimana dinyatakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI. Metode belajar akan tergantung perkembangan kondisi daerah masing-masing,” jelas Hamid Muhammad selaku Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah (Plt. Dirjen PAUD Dasmen) Kemendikbud (kumparan.com, 01/01/2020). Hal ini membuat para orang tua semakin resah karena faktanya kasus covid-19 yang menyerang anak-anak di Indonesia cukup besar. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menyatakan bahwa dari data Kementerian Kesehatan terdapat sekira 831 anak yang terinfeksi Covid-19 (data 23 Mei 2020). Usia anak yang tertular itu berkisar 0-14 tahun. Lebih lanjut, data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), 129 anak meninggal dunia dengan status pasien dalam pengawasan (PDP). Yang menyedihkan, 14 anak meninggal dengan status positif Covid-19. Terdapat 3.400 anak yang dalam perawatan dengan berbagai penyakit. Dari jumlah itu, ada 584 orang terkonfirmasi positif dan 14 orang meninggal dunia. Di Jakarta, situs corona.jakarta.go.id memberitakan bahwa hingga tanggal 31/5/2020 ada 91 balita (0-5 tahun) tercatat positif terinfeksi covid-19, dengan rincian 42 balita perempuan dan sisanya 49 balita laki-laki. Ada pun balita yang menjadi orang dalam pemantauan (ODP) mencapai 682 perempuan dan 681 laki-laki. Sementara pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 159 balita perempuan, serta 210 laki-laki. Sementara itu, kasus positif corona anak usia 6-19 tahun di Jakarta juga belum tuntas. Tercatat, sebanyak 390 anak, dengan 195 perempuan dan 195 laki-laki positif virus ini. Jumlah ODP anak perempuan mencapai 904, sedangkan laki-laki 910 .
Sementara dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) telah meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar membuat kurikulum baru di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Permintaan kembali diajukan lantaran sejauh ini belum ada kabar positif dari Kemendikbud mengenai hal tersebut (cnnindonesia.com, 11/6/2020). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim telah mengumumkan bolehnya sekolah yang berada di zona hijau (sejumlah 92 kabupaten/kota atau 6% dari keseluruhan sekolah di Indonesia) untuk melakukan belajar tatap muka setelah memenuhi beberapa persyaratan. Tentu ini akan berimbas kepada kurikulum dan kinerja guru. Belum lagi jika ada siswa yang tidak mendapat izin orang tua belajar di sekolah. Maka pasti sekolah juga harus bertanggung jawab terhadap pembelajaran jarak jauh siswa-siswi tersebut. Pastinya, pekerjaan sekolah akan jauh lebih berat. Bagi sebagian kepala daerah, memang ada yang sudah mengambil langkah tegas untuk membuka sekolah di awal tahun 2021 nanti. Di antaranya Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, yang sudah menetapkan bahwa sekolah baru akan dibuka awal 2021.
Memperoleh pendidikan adalah hak dasar bagi setiap dindividu masyarakat, karena sejatinya memberikan pendidikan yang layak merupakan tanggung jawab pemerintah. Begitu pun ketika masa pandemi seperti saat ini, butuh banyak kesiapan dalam melancarkan proses pembelajaran. Mulai dari kesiapan kurikulum, tenaga pendidik, orang tua hingga siswa. Coba kita tengok fakta dilapangan, dari data KPAI menerima aduan atas stresnya siswa dalam melakukan pembelajaran di tengah pandemi, belum lagi para tenaga pendidik yang mengalami kebingungan karena blm mampu menguasai teknologi. Semakin menambah kerumitan pembelajaran ditengah pandemi.
Berbeda dengan sistem pendidikan yang tercatat dalam sejarah Islam. Berikut ini gambaran sistem pendidikan Islam yang mampu mengantarkan siswa menjadi manusia pembangun peradaban mulia. Gambaran ini setidaknya bisa menginspirasi insan pendidik dan seluruh umat -termasuk penguasa- untuk menerapkannya pada kondisi serumit apapun, termasuk saat pandemi kini. Dalam Islam, pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus Al-Ta’lim Al-Manhaji, hal. 12). Mengapa demikian? Sebab negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman Al-Maliki, 1963).
Dalilnya adalah As-Sunnah dan Ijma’ Sahabat. Nabi SAW bersabda :
“Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu.” (HR Muslim). Setelah perang Badar, sebagian tawanan yang tidak sanggup menebus pembebasannya, diharuskan mengajari baca tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya (Al-Mubarakfuri, 2005; Karim, 2001).
Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan “iwan” (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).
Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah Al-Mustanshir abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat (Khalid, 1994).
Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan [Khalifah] Muhammad Al-Fatih (w. 1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).
Namun perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).
Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan di dalam Islam memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan), berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002).
Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1) pos fai` dan kharaj –yang merupakan kepemilikan negara– seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990). Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin (Al-Maliki,1963). Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).
Rasulullah saw. bersabda, «الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam bish-showab