Pandemi: Rakyat Menjerit Listrik Melangit



Oleh: Nuraizah Azura

Masih ramai dibincangkan  keluhan masyarakat karena tagihan pemakaian listrik  naik. Berbagai protes pun dilayangkan di sejumlah akun sosial media dengan harapan mendapat kejelasan.Tak sedikit dari masyarakat yang terkejut ketika membaca tagihan listrik yang naik tanpa pemberitahuan kenaikan tarif listrik. Tagihan yang membengkak itu untuk pemakaian listrik bulan Mei di pembayaran bulan Juni. Seorang warganet yang protes lewat akun sosial media milik PLN mengeluh bahwa dirinya harus mengalami pembengkakan tagihan listrik serta kesulitan mengajukan komplain.

selama ini tagihan listrik saya baik-baik saja sekitar Rp 250.000/bulan dengan 2200 VA, sejak Covid-19 tepatnya April dipembayaran Mei tagihan saya melambung ke angka Rp 900.000 dengan pemakaian listrik yang sama di bulan-bulan sebelumnya. Pemakaian Bulan Mei untuk pembayaran di Juni saya sangat terkejut karena tagihan saya mencapai Rp 2.050.214 dengan pemakaian listrik yang sama juga. Tolong dong masa tagihan naik hampir 10x lipat dari bulan-bulan sebelumnya dengan pemakaian yang sama...apa masuk akal?" komplain seorang warga di Twitter yang dikutip Suara.com, Minggu (6/6/2020).

Belum lagi postingan warganet yang mengeluhkan kenaikan tagihan listrik. Pasalanya, kenaikan ini dianggap tidak wajar oleh para pelanggan listrik pascabayar selama tiga bulan terakhir, padahal kenaikan konsumsi listrik sekitar 30% saja. Bahkan ada yang mengalami kenaikan tagihan hingga 10 kali lipat. (suara.com). Jelas, ini menimbulkan prasangka bahwa PLN memberlakukan subsidi silang. Pasalnya, bulan April lalu pemerintah mengumumkan memberikan listrik gratis dan diskon 50% bersyarat, selama pandemi Covid-19. (beritasatu.com).

Merespon hal tersebut, Direktur Niaga dan Menejemen Pelanggan PLN Bob Saril angkat suara dalam konferensi pers bertajuk ‘Tagihan Rekening Listrik Pascabayar’ pada Sabtu, 6 Juni 2020. Ia menjelaskan bahwa kenaikan tarif tidak disebakan karena kenaikan tarif ataupun subsidi silang. Kenaikan tarif ini bisa terjadi disebabkan kenaikan pemakaian selama WFH (Work From Home) ketika PSBB dibandingkan sebelum masa pandemi. Di samping itu, Bob juga mengakui lonjakan tagihan bisa disebabkan karena adanya perubahan sistem perhitungan akibat terjadinya kendala dalam pencatatan meteran, sehingga tagihan listriknya dihitung dari rata-rata pemakaian 3 bulan sebelumnya. (m.detik.com).

Lagi - lagi Kapitalisme. Covid-19 telah nyata membuat gagap para pemangku kebijakan dalam sistem kepemimpinan kapitalisme. Kebijakan PSBB yang dinilai lebih efektif untuk memutus rantai penyebaran virus di Indonesia sekaligus menjaga kestabilan ekonomi, nyatanya dijadikan sebagai batu sandung kenaikan tagihan listrik para pelanggan pascabayar oleh pihak PLN sebagai BUMN. Padahal pada masa PSBB ini seharusnya pemerintah bisa memahami kondisi rakyatnya yang banyak jatuh miskin karena terdampak Covid-19, jutaan orang terkena PHK dan UMKM berpotensi gulung tikar. 

Kondisi ini justru menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah bukanlah solusi yang tepat, buktinya pemerintah tidak mampu sekadar menekan angka kenaikan listrik dan memberikan keringanan secara merata bagi rakyatnya di saat pandemi. Itulah mengapa PSBB dijadikan tameng menghadapi situasi pandemi demi kelancaran aktivitas ekonomi. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri memenuhi kebutuhannya dalam kondisi normal, bahkan kondisi paceklik sekalipun. Ini merupakan ciri khas negara kapitalis yang sarat dengan asas untung rugi, yang mengesampingkan nasib rakyatnya sendiri. 

Kenaikan tagihan listrik ini tentu tidak bisa dipisahkan dari liberalisasi kelistrikan yang sudah dimulai sejak UU Ketenagalistrikan No. 20 Tahun 2002 disahkan. Kebijakan pemisahan usaha penyediaan listrik dengan sistem unbundling vertikal yang tercantum dalam Pasal 10, 11, 12, dan 13 RUUK yang meliputi Usaha Pembangkit Tenaga Listrik, Transmisi, Distribusi Listrik dan Penjualan Tenaga Listrik merupakan upaya privatisasi pengusahaan tenaga listrik dan telah menjadikan tenaga listrik sebagai komoditas pasar, yang berarti tidak lagi memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat yang belum mampu menikmati listrik.  

Kebijakan ini memberikan ruang luas bagi swasta agar terlibat dalam penyediaan listrik, sementara PLN sebagai BUMN hanyalah sebagai regulator semata. Pada intinya adalah menciptakan landasan hukum bagi masuknya investor asing mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya, hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan publik dari hasil produksi nasional oleh BUMN tidak lagi menjadi prioritas. Asas pelayanan publik sudah berganti menjadi asas untung rugi dengan mengkomersilkan sumber daya kepemilikan umum. Tentu ini sangat berpotensi merugikan rakyat dan negara.
Allah swt telah menurunkan seperangkat aturan di dalam al-Qur’an dan Hadits sebagai landasan hidup manusia yang sempurna dan merata. Seluruh persoalan termasuk kelistrikan, tentu ada jawabannya. Dalam Islam, listrik dipandang sebagai unsur kepemilikan umum. Tidak dibenarkan bila diprivatisasi dan dikomersilkan, baik pengelolaan maupun hasilnya. Karena kepemilikan umum hanya boleh dikelola oleh negara, bukan individu, swasta, apalagi asing. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. 
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan Hadis dari Abyadh bin Hammal, bahwa ia pernah meminta kepada Rasulullah saw untuk mengelola tambang garam. Beliau kemudian mengabulkan permintaannya. Namun, Rasulullah saw segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah saw, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasulullah saw kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut darinya.” (HR. at-Tirmidzi). Maksud dari perumpamaan hadits tersebut adalah tambang garam itu kandungannya sangat banyak, seperti air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus menerus. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai kepemilikan umum. Berdasarkan hadits ini, semua unsur yang termasuk dalam kepemilikan umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing. Sebagaimana Hadis Rasulullah saw, “Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli: air, rumput dan api.” (HR. Ibnu Majah) 
Karena listrik termasuk ke dalam wilayah api, maka harus dikelola secara mandiri oleh pemerintah dan hasilnya bisa dinikmati oleh rakyat secara merata. Dan setiap unsur apapun yang terkategori ke dalam unsur air, rumput dan api, semuanya tidak boleh dikomersilkan. Alhasil, menurut aturan Islam, kepemilikan umum adalah hak rakyat sepenuhnya sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas. 

Indonesia sebagai negeri muslim terbanyak, seharusnya menjadikan Islam sebagai aturan tata pengelolaan negara. Dengan pengaturan kelistrikan seperti itulah rakyat bisa mendapatkan haknya secara merata. Tidak ada lagi subsidi bersyarat, subsidi silang atau liberalisasi listrik. Terlebih ketika dalam kondisi pandemi seperti sekarang, rakyat memerlukan bantuan sepenuhnya dari pemerintah. Karena pemerintah adalah pemimpin yang bertanggungjawab mengurusi rakyat. Bukan membebani rakyat dengan melimpahkan tanggungjawab pemerintah kepada rakyatnya secara mandiri. Dan solusi ini hanya mampu diterapkan dalam sistem yang menerapkan syari'at islam secara paripurna yang ditegakan dalam negara  khilafah islamiyah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak