Pandemi: Haruskah Pergi Ke Sekolah?





Oleh: Tri Nuryani
(Aktivis Dakwah)


Di awal pandemi Covid-19, anak-anak disebut sebagai kelompok usia yang relatif tidak rentan terkena virus Corona ini. Meskipun demikian, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengemukakan fakta bahwa tingkat penularan virus Corona pada anak-anak di Indonesia tergolong cukup tinggi sehingga harus membuat orangtua waspada. 

Berdasarkan rilis resmi IDAI per 18 Mei 2020, tak kurang dari 584 anak dinyatakan positif mengidap Covid-19 dan 14 anak di antaranya meninggal dunia.
Sementara itu, jumlah anak yang meninggal dunia dengan berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19 berjumlah 129 orang dari 3.324 anak yang dinyatakan sebagai PDP tersebut.

Tingginya kasus penularan virus Corona pada anak-anak di Indonesia juga dibenarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Hingga 28 Mei 2020 lalu, total kasus anak-anak yang terpapar Covid-19 mencapai 5 persen dari total kasus yang dilaporkan ke pemerintah(https://www.sehatq.com 29/05/2020).

Memasuki tahun ajaran baru, sekolah akan ramai dikunjungi calon peserta didik baru. Namun pada tahun ini dihadapi dengan kondisi yang berbeda. Bukan disambut dengan suka cita, akan tetapi dengan ketakutan dan kekhawatiran. Sebab tahun ini, Indonesia termasuk dalam 200 lebih negara yang dilanda pandemi Covid-19.

Sejak diumumkan adanya kasus Covid-19 pertama di Indonesia pada awal Maret, yang terus bertambah tiap hari, pemerintah memutuskan untuk menetapkan kebijakan dirumah saja. Semua aktifitas diarahkan untuk dilakukan di rumah, seperti bekerja dan sekolah. 

Hal ini dilakukan sebagai upaya memutus rantai penyebaran Covid-19.

Namun, pada bulan Mei lalu, pemerintah mengeluarkan wacana pemberlakukan New Normal, yaitu kondisi di mana semua aktifitas harus kembali dilakukan walau masih di tengah pandemi. Tak hanya kantor dan sekolah yang kembali dibuka, bahkan transportasi baik darat, laut maupun udara kembali beroperasi. Demikian pula toko, mall dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya. Jalan-jalan pun telah ramai dan padat.

Rencana pembukaan sekolah menuai pro kontra. Banyak pihak yang mendukung, namun tak sedikit pula pihak yang menentang rencana itu. Penolakan rencana pembukaan sekolah di tengah kasus Covid-19 yang kian bertambah di negeri ini muncul karena kekhawatiran sejumlah pihak akan keselamatan anak-anak peserta didik. 

Hal ini tentu saja bukan tanpa alasan, sebab semenjak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan, jumlah kasus Covid-19 terus bertambah. Seperti yang kita ketahui bersama pemerintah belum bisa mengatasi masalah pandemi Covid-19 dengan baik, bahkan dapat dikatakan masih berpotensi memburuk.

Namun agaknya, negeri ini juga terlalu tamak menantang wacana new normal. Sudahlah tak punya persiapan memadai, tapi juga tak mengukur kekuatan yang dimiliki untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk. 

Yang ada, bukannya meraih new normal seperti yang diharapkan. Sebaliknya, justru sangat mungkin mendatangkan gelombang kedua corona.

Masalahnya, wacana new normal ini diikuti dengan rencana pelaksanaan tahun ajaran baru bagi para peserta didik. Meski masih saja diwarnai tarik-ulur kebijakan yang kepastiannya biasanya baru bisa diketahui menjelang hari-H.

Namun antara pilihan daring atau tatap muka orangtua dibuat bingung, bagaimana tidak, kondisi yang dialami generasi di masa pandemi Corona saat ini, Belajar Dari Rumah (BDR) bukanlah model pembelajaran terbaik. Siswa menjadi boring, pusing dengan seabreg tugas yang diberikan guru, apalagi bagi siswa dengan berbagai keterbatasan sarana dan prasarana yang ada.

 Sementara masuk sekolah untuk melaksanakan pembelajaran secara langsung lebih besar lagi resikonya.

Sikap ini menegaskan pemerintah sepertinya tidak punya arah pandang yang jelas tentang target pembelajaran sekolah. Kebijakan yang plin-plan ini bisa berakibat fatal bagi generasi. Karena anak adalah aset generasi bangsa, mewujudkan generasi yang sehat dan berkualitas adalah kewajiban negara.

Kebijakan new normal jangan sampai mengorbankan anak-anak dan membiarkan penularan Vovid-19 berjalan tanpa ada pencegahan. Pendidikan memang hal yang penting, namun pencegahannya dalam konteks menjaga nyawa jauh lebih utama dan penting.

Jalan satu-satunya untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat di dunia adalah dengan mengganti sistem yang bertahta saat ini. Mengganti sistem kapitalisme yang fana, dengan sistem Islam satu-satunya sistem aturan tertinggi dalam kehidupan karena bersumber dari Al Quran dan As Sunah. 

Dengan sistem Islam pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya terjamin di bawah naungan Islam. Generasi yang akan menjadi tonggak perubahan akan tumbuh dengan baik, cerdas, dan berkualitas. Karena telah terbukti selama lebih dari 13 abad Islam memimpin dunia mampu mencetak generasi yang unggul. Wallahu a'lam bishowab.

Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak