Oleh : Sartinah
(Relawan Media dan Opini Konsel)
Indonesia merupakan negeri yang dianugerahi tanah yang subur dan sumber daya alam yang melimpah. Terbentang dari Aceh hingga Papua, kekayaan alam negeri ini tersebar di sepanjang darat dan lautan. Hingga sangat pas melekatkan pepatah Jawa "gemah ripah loh jinawi" pada negeri ini.
Saking subur dan melimpahnya kekayaan alam di negeri ini, tak heran banyak pihak yang mengincar kekayaan alam tersebut demi meraup keuntungan pribadi maupun kelompok. Baik dari pihak swasta maupun asing.
Sebagai timbal baliknya, pemerintah menetapkan pajak atas pemanfaatan hasil bumi tersebut. Optimalisasi pajak pun terus digenjot demi menambah pundi-pundi pemasukan pusat maupun daerah. Semua sektor dimaksimalkan termasuk sektor tambang galian.
Sebagaimana yang kini tengah digenjot oleh Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Konawe yang semakin memaksimalkan serapan pendapatan asli daerah (PAD) di masa new normal ini. Sebelumnya, rumah makan dan restoran menjadi sektor yang lebih dulu dilirik dengan mengaktifkan kembali 25 alat perekam pajak.
Kini, sektor lain pun mulai menjadi target untuk memaksimalkan serapan pendapatan asli daerah, yakni berasal dari tambang batu dan pasir alias galian C. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) pun sudah menyurati para pemilik tambang galian C agar membayar pajak atas hasil bumi yang dikeruk.
Menurut Kepala BPPRD Konawe, Cici Ita Ristianty, pajak tambang galian C sangat potensial untuk menambah pundi-pundi pemasukan daerah. Ia menyebut, saat ini ada empat perusahaan tambang galian C yang beraktivitas di Konawe dan sudah memiliki izin usaha pertambangan (IUP). Aktivitas perusahaan tambang tersebut berlokasi di Kecamatan Morosi yang berdekatan dengan kompleks mega industri.
Untuk diketahui, selain empat perusahaan yang telah memiliki IUP tersebut, perusahaan yang belum memiliki IUP pun menjamur di Konawe. Namun, hanya perusahaan-perusahaan yang telah mengantongi IUP dari Dinas ESDM Sultra saja yang akan ditarik pajaknya. Asumsinya, pajak tersebut ditarik dari rakyat, dan konon akan kembali lagi kepada rakyat dalam bentuk program-program pembangunan.
Bahan-bahan tambang galian tersebut --termasuk bahan galian C-- kini telah banyak dikeruk dari perut bumi negeri ini, baik yang berada di bawah kendali pusat maupun daerah. Namun sayang, hasilnya tidak sepenuhnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Justru lebih banyak dinikmati oleh segelintir elit dan para kapital.
Di sisi lain, aktivitas penambangan galian C tersebut banyak yang tidak disertai pertimbangan masalah lingkungan, baik saat perencanaan, pengoperasian maupun perbaikan pascapenambangan. Kondisi ini jelas sangat berpotensi buruk terhadap kondisi lingkungan maupun masyarakat sekitar. Antara lain, banyaknya terjadi abrasi sungai, sehingga banyak tanah atau rumah masyarakat sekitar yang terkikis.
Meski pundi-pundi rupiah terus masuk ke kantong daerah, baik melalui perusahan yang telah mengantongi IUP maupun penambang liar, sayangnya hal ini tak sebanding dengan potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Apalagi, sanksi yang kurang tegas terhadap para pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, menyebabkan makin menjamurnya usaha penambangan ilegal yang nyaris ada di seluruh provinsi di negeri ini.
Tak bisa dipungkiri, maraknya usaha penambangan liar ternyata berkelindan dengan buramnya potret kesejahteraan di negeri ini. Maka benarlah adanya, bahwa sumber daya alam yang melimpah ternyata tidak berbanding dengan meratanya kesejahteraan.
Biaya hidup yang semakin berat, ditambah lagi dengan suguhan berbagai macam pajak menyebabkan ekonomi rakyat kian kritis. Kondisi ini semakin menggiring rakyat kecil dan menengah menuju jurang kemiskinan. Terbukti, berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 sebanyak 25,14 juta jiwa atau 9,14 persen. Potret kemiskinan tersebut jelas memprihatinkan di tengah melimpahnya sumber daya alam.
Sebagai negara penganut ekonomi kapitalisme, pajak merupakan sumber pendapatan terbesar yang menopang ekonomi sebuah negara di samping utang. Maka tak heran, segala potensi yang dapat menambah pundi-pundi pemasukan negara akan dibebankan pajak. Salah satunya berasal dari pajak tambang galian.
Penerapan ekonomi kapitalisme inilah yang menyebabkan lemahnya kontrol dan hilangnya peran negara sebagai pengelola sumber daya alam. Kondisi ini menyebabkan penguasaan tambang baik galian A, B, maupun C kini banyak dikuasai swasta maupun asing dengan dalih investasi.
Di bawah asas materialisme, keuntungan ekonomi menjadi prioritas utama ketimbang kesejahteraan rakyat. Hal ini semakin menyiratkan bahwa negara hanya berperan sebatas regulator, hingga tidak terjun langsung menjadi pengelola sumber daya alam yang ada. Alhasil, sumber daya alam terus dikeruk dan hanya menciptakan kesejahteraan bagi para kapitalis.
Sejatinya, semua tambang baik galian A, B, maupun C adalah harta milik umat yang pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta maupun asing. Negara merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk mengelola seluruh sumber daya alam yang ada dan mengembalikan hasilnya kepada rakyat.
Sebagaimana telah digambarkan dalam Islam, bahwa negara berkedudukan sebagai raa'in (pengatur/pengurus) dan junnah (perisai/pelindung). Sedangkan para penguasa diwajibkan melaksanakan amanah yang dibebankan di pundaknya berdasarkan petunjuk Ilahi. Termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam.
Di antara pedoman pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada hadis Rasulullah saw.: "Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api." (HR Ibnu Majah). Kemudian dalam hadis lainnya: "Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api." (HR Ibnu Majah)
Jika pengelolaan dilakukan sepenuhnya oleh negara dan hasilnya ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas dan kemudahan, niscaya potret kesejahteraan bukan sekadar impian. Tak ada lagi berbagai pajak yang mencekik rakyat sebagai penambal APBN. Sebab, dalam Islam pajak bukanlah pemasukan utama negara. Tetapi merupakan pungutan parsial yang diambil ketika kas negara dalam keadaan kosong.
Dengan dalih apa pun, pengelolaan sumber daya alam yang merupakan harta milik umum tak boleh diswastanisasi. Sebab, negara adalah pelayan umat dan penanggung jawab terhadap harta umat. Justru adanya negara dan penguasa amanah yang tunduk pada aturan Ilahi serta menjalankan kebijakannya berdasarkan petunjuk wahyu akan tercipta kesejahteraan hakiki terhadap seluruh rakyat.
Wallahu a'lam bishshawab