Oleh : Dara Millati Hanifah, S.Pd*
.
Saat ini pemerintah sedang menggodok RUU Omnibus Law. Padahal RUU ini sudah lama diwacanakan tapi sampai sekarang RUU tersebut belum disahkan oleh DPR. Hal itu disebabkan banyaknya serikat pekerja yang tidak menyetujui omnibus law ini karena mereka merasa dirugikan dengan kebijakan tersebut.
.
Adapun di sisi yang lain, sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Aloysius Budi Santoso mengatakan, Omnibus Law Ciptaker diharapkan akan membawa perubahan struktur ekonomi yang kemudian mampu menggerakkan semua sektor. Ia mengklaim bahwa keberadaan Omnibus Law sangat diharapkan oleh pelaku usaha dan investor. Mereka optimis RUU yang tengah dibahas DPR dan pemerintah akan membawa dampak positif bagi masyarakat dan perekonomian negara. (Republika.co.id 12/07/2020).
.
Begitupun, Bank Dunia (World Bank) menilai omnibus law yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) dapat menjadi 'bensin' utama pemulihan ekonomi Indonesia pasca dihantam pandemi virus corona. Tersambung dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang memproyeksi RUU Ciptaker dapat menarik investasi hingga US$6,9 miliar atau Rp100 triliun (kurs Rp14.500 per dolar AS). Selain itu, implementasi RUU Ciptaker juga dapat meningkatkan daya saing industri di tengah pandemi virus corona. Ia menyebutkan, aturan itu bisa menjadi jalan bagi pemerintah dalam melakukan reformasi ekonomi. (cnn.indonesia.com 16/07/2020)
.
Sebagaimana yang disebutkan di awal bahwa banyak serikat pekerja yang menolak keberadaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Salah satunya dari Serikat Pekerja PT PLN (Persero). Ketua Umum DPP SP PT PLN Persero M Abrar Alib mengatakan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi menimbulkan terjadinya liberalisasi dalam tata kelola listrik di Indonesia. Sebab, RUU di sub-klaster ketenagakerjaan menghilangkan fungsi legislasi DPR dalam melakukan pengawasan. Padahal fungsi legislatif menyangkut beberapa hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat untuk memastikan pemerintah tidak seenaknya mengatur listrik juga memungkinkan pihak swasta akan menguasai sektor ini.
Ketua Bidang Kampanye dan Jaringan YLBHI Arip Yogiawan mengatakan, masyarakat sipil juga dengan tegas menolak disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Beliau menyebut ada dua belas alasan yang membuat masyarakat sipil menolak Omnibus Law:
1. RUU tersebut dinilai melegitimasi investasi perusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang lebih ramah lingkungan dan mensejahterakan.
2. Penyusunan RUU Cacat Prosedur karena dilakukan secara tertutup, dan minim partisipasi masyarakat sipil dan mendaur ulang pasal inkonstitusional.
3. Satgas Omnibus Law elitis dan tidak mengakomodir elemen masyarakat yang terdampak dengan keberadaan seperangkat RUU Cipta Kerja.
4. Terjadi sentralisme kewenangan yaitu kebijakan ditarik ke pemerintah pusat dan mencederai semangat reformasi.
5. RUU tersebut akan membuat celah korupsi melebar akibat mekanisme pengawasan yang dipersempit dan penghilangan hak gugat oleh rakyat.
6. Perampasan dan penghancuran ruang hidup rakyat.
7. Percepatan krisis lingkungan hidup akibat investasi yang mengakibatkan pencemaran lingkungan, bencana ekologis dan kerusakan lingkungan.
8. RUU Cipta Kerja menerapkan perbudakan modern lewat sistem fleksibilitas tenaga kerja berupa legalisasi upah di bawah UMK, upah per jam dan perluasan kerja kontrak outsourcing.
9. Adanya potensi PHK Massal dan memburuknya kondisi kerja.
10. Membuat orientasi sistem Pendidikan untuk menciptakan tenaga kerja murah.
11. Memiskinkan petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan anak difabel dan kelompok minoritas keyakinan, gender dan seksual.
12. Kriminalisasi, represi dan kekerasan negara terhadap rakyat sementara negara memberikan kekebalan keistimewaan hukum kepada para pengusaha. (Kumparan.com 09/07/2020)
.
Dari fakta diatas menunjukkan bahwa RUU omnibus law ini sama sekali tidak memihak kepada serikat pekerja, melainkan justru merugikan mereka. Jika RUU ini tetap disahkan, hal tersebut secara otomatis akan membuat penggunaan tenaga kerja semakin bebas. Apalagi jika Omnibus law ini menggunakan dasar hukum administratif, sehingga para pengusaha atau pihak lain yang melanggar akan dikenakan sanksi berupa denda. Sedangkan sanksi pidana bagi para pelanggar adalah dihapusnya pesangon dan PHK. Dengan adanya RUU itu perusahaan akan memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan jenis pekerjaan atau sektor tertentu. Omnibus law cipta lapangan kerja juga dianggap membuat karyawan kontrak susah diangkat menjadi karyawan tetap. Kemudian, Tenaga Kerja Asing (TKA) termasuk buruh kasar akan lebih dibebaskan, PHK akan dipermudah dan hilangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.
.
Masalah RUU omnibus law sebenarnya bisa diselesaikan, bila semua kalangan memahami akar dari permasalahannya. Ketidakjelasan sistem saat ini merupakan inti dari permasalahan tersebut. Jika saja mereka menggunakan sistem islam, permasalahan tersebut akan selesai pada saat itu juga tanpa harus menunggu waktu yang lama. Dalam islam para serikat pekerja akan terjamin kesejahteraannya baik dari kesehatan, pendidikan anak-anak dan lain sebagainya. Hak mereka sebagai pekerja pun tidak akan terabaikan karena Negara memenuhi haknya. Semua akan aman-aman saja jika sistem yang digunakan adalah sistem islam. Namun, hal tersebut hanya akan bisa terwujud jika Negara mau menerapkannya secara kaffah.
.
Wallahu’alam Bis Shawab
*(Pemerhati Pendidikan)
Tags
Opini