Oleh : Ummu Dzakirah
Puluhan mahasiswa yang tergabung di Aliansi Mahasiswa Resah (Amarah) Universitas Brawijaya menggelar aksi damai di kampusnya, Kamis (18/6/2020). Aksi tersebut digelar untuk menuntut adanya potongan Uang Kuliah Tunggal (UKT) 50 persen bagi semua mahasiswa. Sebab mereka menjalani kuliah daring (online) karena dampak pandemi virus Corona. (tribunnews.com, 18/6/2020)
Tak hanya itu, Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UIN Banten juga melakukan aksi demo terkait tuntutan penggratisan UKT di depan Gedung Rektorat UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Senin (bantennews.co.id, 22/6/2020).
Aksi dilakukan mahasiswa tidak hanya melalui demonstrasi, namun juga di sosial media. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menjadi bahan pembicaraan di Twitter, tagar #NadiemManaMahasiswaMerana dan #MendikbudDicariMahasiswa menjadi topik trending, usai ada kenaikan UKT yang ditetapkan berbagai perguruan tinggi atau kampus di tengah pandemi(cnnindonesia.com, 3/6/2020).
Tagar tersebut ternyata adalah suara keresahan mahasiswa yang permintaan audiensi terkait kebijakan kampus selama pandemi tidak digubris oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. (www.idntimes.com/2/6/2020)
Memang, sejak pandemi virus corona mulai menginfeksi Indonesia pada awal Maret lalu, seluruh kegiatan pembelajaran di perguruan tinggi mulai beralih melalui daring atau online. Semenjak itu pula, beragam keluhan mulai dirasakan oleh para mahasiswa, baik dari efektivitas maupun fasilitas pembelajaran yang kurang memadai. Beberapa minggu terakhir, secara bergiliran nama sejumlah kampus memuncaki trending di media sosial Twitter. Mereka menuntut agar UKT diturunkan dan mendapat fasilitas yang memadai saat kuliah daring, seperti subsidi pulsa bagi mahasiswa.
Setelah topik yang tengah diramaikan di media sosial terkait dengan UKT dan berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa, akhirnya Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nizam memastikan tidak ada kenaikan UKT di masa pandemi (www.pikiran-rakyat.com)
Jika melihat kesepakatan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri, terdapat beberapa opsi untuk mengatasi masalah UKT. Kesepakatan itu tertuang dalam keterangan tertulis pada 6 Mei 2020. Ada empat opsi yang disepakati saat itu, yakni menunda pembayaran, menyicil pembayaran, mengajukan penurunan UKT, dan mengajukan bantuan finansial bagi yang berhak. (www.pikiran-rakyat.com, 3/6/2020). Dua dari empat opsi yang ada nampak UKT harus tetap dibayar, meski ditunda dan dicicil, sedangkan kondisi pandemi ini berakibat terhadap ekonomi orang tua mahasiswa yang semakin berat.
Merupakan amanat Undang-undang pasal 31 UUD 1945 bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tetapi pendidikan dasar merupakan kewajiban yang harus diikuti oleh setiap warga negara dan pemerintah wajib membiayai kegiatan tersebut. Hal ini semestinya membuat umat sadar bahwa Pendidikan adalah hak warga negara. Sehingga tugas negara bukan hanya menurunkan biaya pendidikan akan tetapi negara wajib menyediakan secara gratis dan berkualitas. Apakah pendidikan gratis dan berkualitas bisa terwujud dalam pendidikan yang berdasarkan pada asas sekularisme? Pada pendidikan yang mengedepankan otonomi lembaga pendidikan? meminimalkan peran pemerintah dalam pembiayaan. Jawabannya tidak akan mungkin terwujud.
*Peran Negara dalam Pendidikan Umat*
Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat yang wajib diwujudkan. Artinya, penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan yang lain. Dengan kata lain, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Sebagai bentuk pelayanan yang wajib diberikan kepada rakyat, pemerintah tentu tidak selayaknya membebankan biaya penyelenggaraan pendidikan tersebut kepada rakyat.
Rasulullah saw. bersabda:
_Seorang imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim)._
Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, al-Ahkâm, menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk masyarakat. Dengan demikian, negara harus berupaya secara optimal guna terwujudnya sistem pendidikan yang memadai lagi gratis.
Pada masa kekhilafahan sekolah tinggi Islam dilengkapi dengan diwan (auditorium, gedung pertemuan), asrama pelajar/mahasiswa, perumahan dosen dan ulama. Sekolah-sekolah itu juga dilengkapi dengan kamar mandi, dapur, ruang makan, dan taman rekreasi. Di antara sekolah tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah an-Nashiriyah di Kairo. Madrasah al-Mustanshiriyah, misalnya, didirikan oleh Khalifah al-Mustanir pada abad ke-6 Hijriah. Sekolah ini memiliki auditorium dan perpustakaan yang dipenuhi oleh berbagai buku untuk keperluan belajar mengajar. Sekolah ini juga dilengkapi dengan pemandian dan rumah sakit. Ad-Dimsyaqi mengisahkan dari al-Wadliyah bin Atha’ bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. memberikan gaji kepada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Artinya, 63,75 gram perbulan. Kalau diuangkan (dengan asumsi 1 gram emas seharga Rp 500.000), gaji mereka sebesar Rp 31.875.000.
Islam tidak membuat dikotomi antara sains teknologi dengan ilmu akhirat. Khilafah banyak mengeluarkan investasi untuk pendidikan dan penelitian. Institusi-institusi tertinggi (dikenal: madrasah) didirikan sejak abad ke-11 di semua kota besar. Kurikulum mencakup ilmu-ilmu Islam tentang al-Quran dan hadis, sebagai dasar bagi ilmu-ilmu alam seperti matematika, kedokteran, geometri, astronomi, seni dan bahasa Arab. Para alumninya banyak berkarir dalam profesi beragam termasuk guru, dosen, dan posisi pemerintahan. Hal ini menjadikan Khilafah mampu menghasilkan banyak pribadi-pribadi besar dan kemajuan ilmu. Banyak penemuan diperoleh pada masa Khilafah. Armstrong (2002) mencatat, “Muslim scholars made more scientific discoveries during this time than in the whole of previously recorded history.” Sungguh ini merupakan sejarah nyata kegemilangan peradaban islam dalam mengelola pendidikan.
Lantas bagaimana sumber keuangan Negara untuk membiayai pendidikan agar bisa murah dan berkualitas? Pengelolaan sumberdaya alam secara optimal; penutupan kebocoran anggaran pemerintah akibat praktik korupsi dan kolusi, efisiensi pembiayaan kebutuhan negara yang tidak mendesak, akan sangat membantu pembiayaan pendidikan.
Lebih dari sekadar terselenggaranya pendidikan gratis atau sangat murah bagi rakyat, pendidikan itu sendiri haruslah ditujukan dalam rangka membekali akal masyarakat dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat, baik yang berkaitan dengan akidah maupun hukum. (Abdurrahman al-Bagdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, 1996). Hal itu hanya mungkin diwujudkan dengan cara menyelenggarakan sistem pendidikan yang islami. Dengan begitu, ide-ide atau pemahaman-pemahaman yang sesat lagi batil dapat diberantas. Dan kegemilangan peradaban islam itu akan kembali, bukan hanya dibidang pendidikan, tetapi seluruh sistem kehidupan. Ekonomi, Politik, sosial, hukum, dan seluruh tatanan kehidupan. Hanya dengan Khilafah semua itu bisa terwujud.
Wallahu A’lam bi Ash-Shawab