Ngotot Selenggarakan Pilkada di Masa Pandemi, Sistem Zholim Siapkan Kuburan Masal.



Oleh : Fatimah Arjuna(Aktivis Dakwah Kampus dan Member BMI Bukittinggi)


Suara.com - Indonesia sebagai satu di antara negara yang terdampak virus Corona menunda pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 sebagaimana mengacu pada Peraturan Perundang-undangan Nomor 2 Tahun 2020. Awalnya Pilkada 2020 akan diselenggarakan pada 23 September 2020 di 270 daerah dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, namun ditunda hingga 9 Desember 2020 .

Akibat pandemi Covid-19 ini, pemerintah, DPR dan penyelenggara Pemilu sepakat untuk menundanya dalam upaya pencegahan penyebaran virus corona.

Beberapa tahapan Pilkada yang sempat tertunda, di antaranya pelantikan dan masa kerja Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dan pelaksanaan  pencocokan dan penelitian (coklit), serta pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.

Keputusan untuk tetap melaksanakan Pilkada serentak pada 2020 akan menimbulkan berbagai persoalan. Pertama, jika Pilkada dilaksanakan pada Desember mendatang, setidaknya tahapan-tahapan Pilkada yang sempat ditunda sebelumnya harus sudah dimulai pada Juni ini.

Pasalnya kurva jumlah kasus corona sampai saat ini belum melandai, bahkan ada beberapa daerah yang masih dinyatakan sebagai zona merah. Tentu hal ini akan memiliki risiko penyebaran virus, tidak ada yang bisa menjamin bahwa semua unsur yang terlibat dalam proses Pilkada ini tidak akan terpapar virus corona.

Kedua, persiapan pelaksanaan Pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19 ini dinilai belum cukup matang karena disiapkan secara singkat dan terburu-buru, terutama soal anggaran.

Pelaksanaan seluruh tahapan Pilkada yang harus menerapkan protokol pencegahan Covid-19 membutuhkan tambahan anggaran yang tidak sedikit, antara lain untuk pengadaan alat perlindungan diri (APD), perlengkapan protokol pencegahan Covid-19 di tempat pemungutan suara (TPS) seperti masker, sarung tangan, hand sanitizer, sarana cuci tangan, cairan disinfektan, termometer, dan lain-lain.

Ditambah lagi penambahan jumlah TPS karena pengurangan jumlah pemilih per TPS, yang semula ada 253.929 TPS sekarang jumlahnya menjadi 304.927 TPS. Untuk itu KPU mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 4,7 triliun, DKPP sebesar Rp 39 miliar, dan Bawaslu sebesar Rp 478 miliar.


Mengingat kembali pengalaman pahit dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 lalu, berdasarkan data KPU RI jumlah petugas yang meninggal saat itu mencapai 894 petugas dan sebanyak 5.175 petugas mengalami sakit.

Sebelum covid19 menyerang dunia termasuk Indonesia, kita mengalami luka begitu parah. Pengalaman pahit masih teringat dengan jelasnya. 

Pemilu 2019 yang lalu, sampai menggetarkan Indonesian. Meninggal  mencapai 894 dari petugas yng terdata sebanyak 5.175 petugas mengalami sakit. 

Hendak masihkan kita ngeyel. Mengadakan pemilu disaat covid19 tentu lebih berbahaya. Jika sebelum covid19 saja banyak memakan jiwa. Bagaimana dengan sekarang, jika virus yang menyerang. Dunia saja kewalahan menghadapinya. Apalagi Indonesia.

Hidup di era kapitalisme membuat  semua kewalahan oleh kebijakan pemerintah. Seakan kebijakan yang dibuat wajib tanpa nanti. Mengikuti seluruh aturan manusia.

Seharusnya manusia tahu diri. Jika kemarin sebelum covid19 saja banyak memakan jiwa bagiamana dengan sekarang! Ketika covid19 menyerang dunia. Termasuk Indonesia.

Belum lagi dengan biaya yang melambung. Membutuhkan masker, alat mengaman diri, serta selalu ikut protokol kesehatan. 

Mahalnya pemeriksaan covid19 membuat rakyat miskin tidak sanggup mematuhi protokol kesehatan tersebut. Hendak apa yang akan diperbuat jika semakin banyak orang yang hengkang. 

Hendak siapkah kita dengan kuburan massal. Jika masih Ngeyel untuk mengadakan pemilu di tahun ini. 

Seharusnya selesaikan permasalahan Corona. Setelah itu pastikan hutang di luar sudah mendapat acc lunas. Hilangkan korupsi di Indonesia. Kelolah sendiri produk dalam negeri. 

Namun itu semua tidak akan terjadi jika sistembzholim masih menggerogoti negeri. 

Lalu kita bisa apa? 

Hijrah semestinya. Merubah haluan ideologi. Menukar mabda kapitalisme dengan Islam. 

Seharusnya pengalaman menyadarkan kita jika sudah seharusnya kita berpindah sistem. Tidak lagi mempertahankan sistem kapitalisme. Merubah semua sesuai syariah saja. Mengikuti jalur yang semestinya yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak