Oleh : Luthfiah Jufri, S. Si, M. Pd
(Pegiat Literasi)
"Maju kena mundur kena," mungkin slogan ini yang cocok buat warga muslim Rohingya yang berharap bisa mendapat kehidupan yang layak setelah mendapat kekerasan di Negeri Myanmar. Mereka harus menerima kenyataan sulitnya bertahan hidup berbulan-bulan di tengah laut.
Berdasarkan data pemerintah, ada 99 pengungsi Rohingya yang masuk ke Indonesia pada 24 Juni 2020. Para pengungsi tersebut terdiri dari 43 dewasa, yakni 30 perempuan dan 13 laki-laki. Kemudian, 56 anak-anak di bawah 18 tahun, terdiri 43 perempuan dan 13 laki-laki. (Kompas.com, 1/7/2020)
Kapal yang mereka tumpangi terkatung-katung dan nyaris tenggelam di perairan Pantai Seunuddon, Kecamatan Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara. Beruntung, mereka diselamatkan Nelayan Aceh kemudian dibawa ke daratan.
Ini bukan kali pertama warga Rohingya terombang-ambing di tengah lautan.
Sebelumnya, gelombang kekerasan pada tahun 2012 terhadap warga Rohingya membuat sebagian besar dari mereka keluar dari Myanmar. Kebanyakan menggunakan jalur laut.
Kemudian, pada tahun 2015 diperkirakan ada sebanyak 25 ribu orang Rohingya yang menyeberangi Laut Andaman untuk mencapai Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Banyak warga Rohingya yang akhirnya tenggelam karena menggunakan kapal yang tidak aman. (republika.co.id, 13/06/2019)
Sungguh menyedihkan nasib warga Rohingya, meskipun saat ini mereka sudah diterima di Indonesia bukan berarti kondisi mereka aman dan terjamin. Ini hanya sementara.
Seperti dilansir laman daring detik, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi ketika menghadiri pertemuan virtual special ASEAN-Australia Ministers Meeting on Covid-19, menyampaikan Indonesia memutuskan sementara saja menerima pengungsi Rohingya. (01/07/2020)
Haruskah Ada Tanya, Siapa Rohingya? Siapa Indonesia?
Berpuluh-puluh tahun teriakan “SOS” (Save Our Souls) dari warga muslim Rohingya telah nyata-nyata terdengar ke seluruh dunia tak digubris. Sampai-sampai mereka harus menjadi “manusia perahu”, sebab tak tahu harus mencari pertolongan kepada siapa lagi.
Tak terbantahkan, konsep “nation state” (negara bangsa) yang berlaku selama ini semakin mempersulit negara-negara lain untuk menolong warga muslim Rohingya, padahal kondisi mereka saat ini sudah sangat memprihatinkan.
Sikap pemerintah seakan dilema antara kemanusiaan dan sekat bangsa. Meski berdalih kawatir akan potensi penularan Covid19 dari pengungsi Rohingya, nyatanya pertanyaan, siapa Rohingya, siapa Indonesia yang mendominasi. Dengan kata lain masalah Rohingya dipandang sebagai problem internal Rohingya, bukan bagian dari masalah umat Islam yang mayoritas di negeri ini. Apalagi terbukti, hasil tes para Imigran tersebut telah dinyatakan negatif. Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi sendiri secara langsung mengatakan pihaknya sudah memeriksa kondisi kesehatan 99 orang pengungsi etnis Rohingya di Aceh. Hasilnya, dipastikan negatif Corona. (Kompas.com. 1/7/2020)
Pemahaman nasionalisme yang memandang negara satu dengan yang lain tak berkaitan semakin tampak saat pemerintah memutuskan akan memprioritaskan pemulangan pengungsi Rohingya ke daerah asalnya, Rakhine State, Myanmar.
Jika hal ini sampai terjadi, tidakkah sama dengan menyetor nyawa mereka kepada rezim predator Myanmar. Miris.
Padahal menurut salah satu pengamat politik Asia Tenggara, Dr. Fika Komara, pemulangan pengungsi Rohingya adalah solusi jahat dan berbahaya. Sebab dunia sudah mengetahui bahkan mengecam perbuatan Rezim Myanmar yang tidak manusiawi terhadap minoritas muslim disana.
Fika mengungkapkan dua hal yang menjadi sebab terhalangnya peran negeri Muslim untuk menolong Muslim Rohingya yaitu beban ekonomi dan kepentingan nasional yang sempit.
“Di sisi lain ini menunjukkan bentuk egoisme negara-negara Muslim tetangga yang mempertontonkan keengganannya menolong saudara Muslimnya hanya karena beban ekonomi dan kepentingan nasional yang sempit. Kondisi inilah yang mengakibatkan krisis Rohingya seperti tak berujung.” (Muslimahnews.com, 3/11/2018)
Islam Jawaban Terbaik
Dalam sebuah hadits Nabi Saw bersabda,
“Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling mencurangi, janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang lainnya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang muslim adalah bersaudara, janganlah mendhaliminya, merendahkannya dan janganlah mengejeknya. Takwa ada di sini (beliau menunjuk ke dadanya tiga kali). Cukup dikatakan jelek seorang muslim, jika ia menghinakan saudaranya muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya haram darahnya, harta dan kehormatannya.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut jelas sebagai alarm bagaimana seharusnya memperlakukan saudara kita. Muslim Rohingya bukanlah warga Asing apalagi penjahat. Layak diapresiasi sikap warga Pesisir Aceh yang bersikeras membantu muslim Rohingya karena dorongan kesamaan akidah. Dengan lantang salah satu dari mereka berkata,
“Jika pemerintah mengembalikan imigran itu ke tengah laut, maka warga sendiri yang akan menjemput kembali imigran itu",
“Kami jemput pakai perahu kami, di sini semua nelayan punya perahu. Janganlah begitu kejam pada sesama muslim. Kita harus tolong mereka, baru pikirkan opsi sesuai regulasi internasional soal imigran,” pungkasnya.
(Kompas.com. 25/6/2020)
Harus diakui, penjajah kafir barat telah membuat kaum muslim terpecah belah melalui batas-batas nasionalistik kolonial yang dipaksakan melalui jalan kekerasan. Termasuk memberi identitas negara-bangsa yang telah menyebabkan Muslim meninggalkan, membunuh, memenjarakan, dan menolak melindungi sesama Muslim yang notabene saudara-saudara mereka sendiri.
Umat Islam saat ini bagai ‘santapan’ kaum kafir penjajah. Mereka mendapatkan tindakan diskriminatif hanya karena kondisinya sebagai kaum minoritas. Tindakan represif kerap mendera umat Islam, utamanya di negeri-negeri Islam yang terpecah-pecah menjadi wilayah kecil seperti Rohingya.
Bandingkan semasa penerapan Islam pada masa Rasulullah hingga runtuhnya sistem tersebut tahun 1924. Betapa umat Islam betul-betul terlindungi baik agama, kehormatan darah dan hartanya.
Salah satunya, ketika seorang wanita Muslimah saat itu dinodai kehormatannya oleh pria dari Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama seketika itu menunjukkan keberpihakannya, hingga , menyatakan perang dan mengusir Bani Qainuqa' dari Madinah.
Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya.
Khalifah Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi dengan mengirim pasukan yang berhasil melumat Amuriah, mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan.
Islam telah membuktikan bahwa dirinya adalah sistem yang mampu melindungi umatnya dan umat manusia pada umumnya. Perbedaan suku, etnis, ras, dan bangsa bukan penghalang untuk saling menjaga karena mereka diikat oleh aqidah Islam. Oleh Iman kepada Dzat yang Satu, Allah SWT.
Syariat Islam yang diterapkan secara kaffah akan menghilangkan batas-batas nasionalistik palsu yang memecah belah umat Islam dan menyatukan semua negeri kaum Muslimin di bawah satu panji dan satu penguasa. Khilafah juga akan membela kesucian umat Islam dan menawarkan mereka tempat berlindung dan memenuhi semua kebutuhan mereka terlepas dari ras, etnis, atau negeri asal mereka. Seluruhnya dilakukan semata karena dorongan takwa kepada Allah SWT.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al Hujurat :13) Wallaahua'lam.