Minus Sense of Crisis, Khas Pemerintah Kapitalis




Oleh: Ghayda Azkadina


Seminggu berlalu sejak video Presiden yang memarahi para Menteri bawahannya viral di masyarakat. Berbagai kecaman yang telah dilontarkan Presiden saat itu menuai bergolaknya isu di masyarakat. Tuduhan Presiden bahwa para menterinya belum punya sense of crisis terdengar sangat tajam, membuat masyarakat menilik bahwa ini adalah sebuah kode keras akan adanya reshuffle Kabinet.

Namun harapan masyarakat akan munculnya menteri-menteri baru yang memiliki sense of crisis yang tinggi terpaksa harus menghilang laksana asap yang tertiup angin kencang. Menteri Sekretaris Negara Pratikno menilai isu reshuffle kini tak relevan lagi karena kinerja para menteri sudah lebih baik. Ia juga menegaskan agar jangan lagi meributkan reshuffle sebab kinerja kabinet telah meningkat pesat dalam waktu yang relatif singkat [1].

Mensesneg menyampaikan dasar argumennya yaitu naiknya penyerapan anggaran kesehatan menjadi 4,68% atau sekitar Rp 4,09 triliun dari total dana yang dialokasikan sebesar Rp 87,5 triliun [2]. Selain itu terdapat penyerapan anggaran perlindungan sosial sebesar 34,06% dari total anggaran perlindungan sosial Rp 203,9 triliun [3]. Data ini dianggap sebagai keberhasilan sementara pemerintah dalam memanfaatkan anggaran untuk program-program yang telah ditetapkan.

Anggaran Terserap Kemana?

Tercapainya kinerja setiap kementerian didasarkan pada terealisasinya program-program yang telah diusulkan sebelumnya. Hal ini berkaitan erat dengan perencanaan anggaran yang dibutuhkan dalam mengusulkan program-program tersebut pada tahun anggaran berikutnya [4]. 

Kondisi pandemi Covid-19 mengubah paradigma setiap kementerian untuk dapat merealisasikan setiap program yang telah diajukannya. Adakalanya program yang telah ditetapkan menjadi tidak relevan untuk dijalankan. Perubahan kebutuhan yang sesuai dengan situasi yang ada akhirnya menuntut adanya reformasi program secara radikal. Tak heran apabila kemudian muncul keluhan dari kementerian terkait tak terserapnya anggaran. Birokrasi pengajuan rencana kerja sebagai legitimasi pengeluaran anggaran memang tidaklah mudah. 

Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang membenarkan bahwa sistem birokrasi menjadi salah satu penyebab realisasi anggaran belanja berjalan lamban. Sri Mulyani menambahkan bahwa situasi pandemi membuat para pemegang kuasa anggaran cenderung lebih berhati-hati, dan tidak ingin sembarangan dalam mengeksekusi anggaran [5].

Menilik fakta ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai apa saja yang akhirnya dilakukan oleh para bawahan Presiden dalam merealisasikan penyerapan anggaran yang maksimal, menyusul klaim Mensesneg terkait meningkatnya kinerja mereka. Rakyat digiring untuk menduga-duga sesuatu di balik usulan kinerja para Menteri. Rakyat merasa di tengah situasi yang sulit ini, bantuan yang dijanjikan kepada mereka tak kunjung tiba bahkan malah dikurangi. 

Polemik kalung eucalyptus yang dibuat oleh Kementerian Pertanian pun semakin memberatkan dugaan masyarakat bahwa program-program yang diusulkan dalam menyerap anggaran tersebut tak tepat sasaran. Rakyat semakin mempertanyakan sense of crisis pemerintah. Beratnya beban hidup mereka saat ini tampaknya tidak membuat pemerintah menjadi semakin kreatif dalam menciptakan program yang benar-benar dibutuhkan rakyat.

Minus Sense of Crisis

Di tengah hantaman kenaikan harga kebutuhan hidup seperti tarif listrik, air, iuran BPJS dan kebutuhan pokok lainnya, masyarakat kembali dihimpit oleh kebijakan pajak pada lajur konsumsi jaringan elektronik seperti Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dan aplikasi telekonferensi. Meskipun ditarik kepada perusahaan e-commerce maupun pemilik aplikasi, namun konsekuensi kenaikan pajak nantinya akan berdampak pula pada tarif yang dibayar oleh masyarakat yang menggunakannya. 

Di sisi lain, pemerintah malah menggelontorkan bantuan stimulus bidang pariwisata untuk masyarakat menengah ke atas sejumlah Rp 25 triliun sebagai salah satu strategi pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) [6]. Kontroversi ini masih ditambah lagi dengan adanya instrumen kebijakan program PEN berupa penyertaan modal negara kepada beberapa BUMN seperti PLN [7]. 

Padahal sejak tiga bulan terakhir masyarakat ribut memperkarakan naiknya tarif listrik secara signifikan yang menyengsarakan.  
Penetapan PEN ini pun memicu perhatian, mengingat beberapa instrumen kebijakannya ditujukan untuk UMKM, dunia usaha, dan masyarakat. Hanya saja, bantuan yang diberikan pada kenyataannya adalah berupa pinjaman yang tetap harus dikembalikan masyarakat dengan bunga. Instrumen ke-11 yaitu Penempatan Dana Pemerintah di Perbankan dalam rangka restrukturisasi kredit UMKM Perbankan senilai Rp 87,59 triliun [8] sangatlah ironi di tengah urgennya dana segar yang dibutuhkan masyarakat untuk percepatan sektor riil. 

Kebijakan-kebijakan yang ada seakan tak habis menimbulkan pertanyaan, kepada siapakah sesungguhnya pemerintah berpihak? Rakyat merasa ditinggalkan dan berjuang sendiri dalam menghadapi badai krisis dan pandemi. Tak heran jika akhirnya timbul pernyataan yang menuding bahwa pemerintah minus sense of crisis. Kesimpulan ini diperoleh dari berbagai keputusan peraturan pemerintah yang seakan-akan berdiri di sisi rakyat kecil, namun sejatinya berpelukan erat dengan para pemilik modal.

Inilah kekhasan pemerintah yang bernaung di bawah sistem kapitalis. Kebijakan yang dikeluarkan akan selalu memihak kepada para tuan kapitalis. Alih-alih menyelesaikan pandemi dengan jurus yang jitu dan efektif mengikuti saran para ahli kesehatan, pemerintah lebih sibuk menyelamatkan ekonomi demi bernafasnya kembali para penguasa ekonomi meski dalam kondisi epidemi Covid-19.  

Berbanding terbalik dengan pemerintahan Islam yang menerapkan hukum-hukum Islam secara kaffah. Landasan yang diambil sudah pasti benar karena berasal dari perintah Allah Sang Pencipta Manusia. Pada masa terjadi kondisi darurat atau pandemi, Khalifah akan menetapkan kebijakan belanja negara berdasarkan kebutuhan dan skala prioritas yang berasal dari Baitulmal. Pada bagian belanja negara terdapat alokasi yang dikhususkan untuk dikeluarkan ada saat krisis yaitu untuk Mashalih ad-Daulah dan untuk urusan darurat/bencana alam yang bersumber pada fai dan kharaj[8].

Pengaturan keuangan dalam negara Khilafah juga tidak berpatokan pada program dan target penyerapan anggaran berupa APBN yang ditetapkan besaran nilainya.  Namun bertumpu pada kondisi riil yang benar-benar dibutuhkan oleh rakyat, dimana bagian-bagiannya telah diatur berdasarkan hukum Syara’ dan ijtihad Khalifah [9]. Khalifah akan mengeluarkan dana tanpa birokrasi berbelit yang akan menyusahkan rakyat. 

Cukuplah riwayat Khalifah Umar bin Khattab sebagai contoh efektif dan cepatnya negara Khilafah melakukan tindakan saat dibutuhkan. Mungkin telah sering kita dengar, bagaimana pada suatu malam Khalifah Umar langsung mengambil bahan makanan yang berasal dari Baitulmal demi memberikannya kepada seorang wanita dan anak-anaknya yang kelaparan. Demikianlah penanganan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam menangani krisis. 

Mewujudkan para pejabat negara yang memiliki sense of crisis yang tinggi, membutuhkan sebuah sistem yang benar. Tanpa penerapan Islam secara menyeluruh, maka akan sulit bagi rakyat mendapati pengambilan kebijakan yang berpihak kepada mereka. Selama pemerintah masih mereguk racun kapitalisme, maka selama itu pulalah mereka akan terbuai terus menerus menelurkan kebijakan yang menguntungkan para kapitalis.  Pada akhirnya, rakyatlah yang menanggung beban berkepanjangan. Oleh sebab itu, akankah kita diam saja dan tidak bergerak memperjuangkan tegaknya khilafah? []


Referensi:
[1] katadata.co.id, 06/07/2020.
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] PP Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
[5] bisnis.tempo.co, 02/07/2020.
[6] nasional.kontan.co.id, 17/05/2020.
[7] djkn.kemenkeu.go.id, 19/05/2020. 
[8] Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Abdul Qadim Zallum.
[9] Ibid

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak