Oleh : Faizul Firdaus, S.Si (pemerhati kebijakan publik)
Data UNAIDS atau program PBB untuk HIV-AIDS, menyebutkan bahwa setiap tahun ada 46 ribu kasus infeksi baru di Indonesia. Indonesia saat ini menempati posisi ketiga di Asia-Pasifik, setelah India dan China. Menanggapi hal ini, ketua tim HIV terpadu RSUI (Rumah Sakit Universitas Indonesia), Dr dr Alvina Widhani, SpPD, KAI, menyatakan, bahwa jumlah infeksi penularan HIV di Indonesia diprediksi akan meningkat di tahun 2020.
Tak terselesaikan
Data dari Kementrian Kesehatan bahwa kasus HIV pertama kali ditemukan di Indonesia adalah Tahun 1987 di deteksi dari turis asal Belanda usia 44 tahun yang meninggal di RS Sanglah Denpasar, Bali. Ini artinya sudah lebih dari 30 tahun pemerintah berurusan dengan inveksi penyakit ini. Akan tetapi alih alih jumlah paparannya berkurang, yang terjadi justru semakin menganak sungai panjang daftar kasusnya.
Relevan rasanya untuk dirumuskan ulang strategi penyelesaiannya. Karena nyatanya segala upaya yang sudah ditempuh selama ini bisa dikata tidak membuahkan hasil. Hampir setiap hari masuk kasus terindikasi HIV/AIDS di tempat-tempat pelayanan kesehatan. Hal ini semakin menegaskan bahwa jumlah masyarakat yang terinveksi virus ini sudah sangat banyak.
Mengurai masalah
Apabila kita melihat lebih cermat dan lebih dalam, maka tidak kita pungkiri bahwa inveksi virus ini berkaitan erat dengan pola perilaku. Maka seharusnya merubah pola prilaku masyarakat ini harus menjadi fokus dari kebijakan dalam upaya menyelesaikannya. Akan tetapi yang kita lihat justru ada upaya pembiaran bahkan pemberian ruang kepada masyarakat untuk tetap menjalani pola prilaku yang justru berkontribusi kepada terjangkitnya virus HIV/AIDS. Misalkan perilaku pergaulan bebas, tayangan-tayangan berbau porno di media, baik media cetak maupun elektronik dan digital, tempat-tempat hiburan malam, dan lain sejenisnya.
Upaya merubah prilaku masyarakat ini tampak tidak menjadi perhatian. Pemerintah justru sibuk pada hal hal yang menjadi efek dari perilaku tersebut. Misal kampanye kondom, kampanye pacaran sehat, pemberian materi KRR (kesehatan reproduuksi remaja) secara klasikal di dalam kelas, dan upaya upaya lain yang tidak menyentuh akar permasalahan. Semua itu alih-alih mengurangi jumlah paparan HIV/AIDS, yang terjadi justru sebaliknya.
Pola prilaku yang salah di tengah-tengah masyarakat sangat dipengaruhi oleh 3 hal berikut, yaitu tingkat ketakwaan individu, pemenuhan ekonomi masyarakat, dan sistem sanksi negara.
Ketaqwaan individu
Harus diakui ini adalah hal mendasar bagi permasalahan prilaku hidup menyimpang. Ketiadaan ketaqwaan kepada Allah SWT membuat seseorang tidak merasa bersalah saat melakukan kemaksiatan. Bahkan tidak tergerak untuk segera menghentikannya. Seperti freesex, LGBT, miras dan narkoba. Tidak bisa dipungkiri, bahwa aneka prilaku maksiat tersebutlah yang menjadi jalan terpaparnya HIV/AIDS.
Negara harusnya serius membangun pilar-pilar ketaqwaan masyarakat kepada Allah SWT. Karena inilah yang akan menjadi benteng produktif untuk menangkal segala bentuk prilaku maksiat. Rakyat akan memeiliki imunitas terhadap kemaksiatan apabila benteng ketaqwaannya kepada Allah SWT utuh dan kokoh. Pemberian pelajaran agama haruslah dengan sudut pandang bahwa Islam itu adalah jalan hidup yang harus diterapkan. Bukan hanya diposisikan sebagai pesan moral saja. Kaum muslimin - melalui kurikulum pendidikan- harus cetak untuk menjadi muslim yang kaffah (seutuhnya). Yang sadar bahwa AlQur'an dan Al Hadist adalah pedoman untuk menjalani hidup. Negarapun juga serius membangun kefahaman kaum muslimin terhadap kepemilikan bahasa arab. Ini semua agar mudah untuk memahami makna AlQur'an dan Al Hadist. Insyaallah upaya-upaya tersebut akan signifikan meningkatkan ketaqwaan umat kepada Allah SWT, yang artinya hal tersebut akan menarik mereka dari terjerumus pada aneka perilaku kemaksiatan.
Sayangnya hari ini, semua itu seolah hanya mimpi yang entah kapan akan terwujud. Hari demi hari kita melihat negri ini justru dibawa kepada arah untuk menjauhi agama dan prinsip-prinsipnya. Gagasan hidup sekuler (pemisahan agama dari kehidupan sehari-hari) begitu renyah disampaikan oleh para penyelenggara negri ini. Bahkan akhir-akhir ini tampak adanya gejala Islamophobia. Maka bagaimana ketaqwaan akan didapat dan HIV/AIDS dapat semakin berkurang?
Pemenuhan ekonomi
Pola hidup yang menyimpang ternyata juga dipengatuhi oleh faktor ekonomi. Oleh karena itu negara harusnya meletakan dasar politik ekonominya untuk melayani kebutuhan rakyat. Aset negara berupa kekayaan alam harusnya dikelola sendiri oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan UUD. Negara harus menjadi penjamin terpenuhinya kebutuhan dasar bagi seluruh warga negara. Agar tidak ada lagi warga negara yang kelaparan, tidak punya tempat tinggal, dan tidak bisa mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
Akan tetapi kembali, hari ini itu semua seperti khayalan. Karena ternyata negeri ini menjalankan prinsip politik ekonomi kapitalis. Dimana negara bukan sebagai pihak yang menjamin terpenuhinya kebutuhan warga negara akan tetapi negara hanya sebagai regulator. Sayangnya regulasi yang dibuat kerapkali justru merugikan rakyat dan negara dan sebaliknya menguntungkan para pengusaha besar. Ya ini adalah buah dari politik demokrasi yang menjadikan pengusaha sebagai pemain dibelakang layar karena telah membiayai pemilu. Seperti terjadi pada UU Minerba, UU ketenaga kerjaan, UU kelistrikan, dll. Maka jelas perbaikan dan penjaminan ekonomi rakyat kecil akan semakin jauh panggang dari api.
Sistem sanksi
Ketidak tegasan sistem sanksi juga berakibat kepada tidak adanya efek jera atas perbuatan kemaksiatan. Sehingga wajar bila aneka perilaku menyimpang tersebut senantiasa meningkat baik secara kuantitas maupun ragamnya.
Bila kita menengok sistem sanksi dalam Islam, maka sanksi atas perilaku maksiat itu sangat twgas, dan pelaksanaannya seketika itu juga disaksikan oleh masyarakat luas, dan dilakukan oleh aparat negara. Misalnya saja, sanksi untuk pelaku homoseks (liwath) adalah dibunuh. Maka ini akan menghentikan siklus orang dengan prilaku homo dan penularan infeksi HIV/AIDS nya. Begitu juga dengan ketegasan sistem sanksi dalam Al Qur'an untuk jenis kemaksiatan yang lain.
Demikianlah bahwa ketaqwaan individu, adanya penjaminan kebutuhan ekonomi, dan ketegasan sistem sanksi, adalah rangkaian untuk bisa mengurangi penyebaran infeksi HIV/AIDS. Jadi memang problem HIV/AIDS memang butuh penyelesaian yang sifatnya sistemik.
Wallahua'lam bisshowab