Oleh: Mita Nur Annisa
(Pemerhati Sosial)
Baru-baru ini Kementerian Agama melayangkan sebuah kebijakan terkait digantinya materi ajaran khilafah di buku-buku pelajaran sekolah. Hal tersebut sontak saja menimbulkan kecaman dari banyak pihak. Kebijakan ini seolah memperlihatkan bahwa pemerintah ingin menjauhkan ajaran tersebut dari masyarakat.
Dilansir oleh Terkini.id (2/07/2020), konten radikal yang termuat di 155 buku pelajaran agama Islam telah dihapus oleh Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi. Namun, untuk materi khilafah tetap ada di buku-buku tersebut.
“Dalam buku agama Islam hasil revisi itu masih terdapat materi soal khilafah dan nasionalisme,” ujar Menag lewat keterangan tertulisnya, Kamis, 2 Juli 2020 seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Kendati demikian, Menag memastikan buku-buku itu akan memberi penjelasan bahwa khilafah tak lagi relevan di Indonesia.
Menag mengungkapkan, penghapusan konten radikal tersebut merupakan bagian dari program penguatan moderasi beragama yang dilakukan Kemenag.
“Kami telah melakukan review 155 buku pelajaran. Konten yang bermuatan radikal dan eksklusivis dihilangkan. Moderasi beragama harus dibangun dari sekolah,” ujarnya.
Fachrul juga mengungkapkan, ratusan judul buku yang direvisi itu berasal dari lima mata pelajaran, yakni Akidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Al-Qur'an dan Hadis, serta Bahasa Arab.
Pemerintah seakan gelap mata dalam memahami tentang paham radikalisme, sehingga materi khilafah dan jihad fokus untuk dihilangkan dan diganti dalam pelajaran sekolah. Mempelajari materi tersebut seolah dianggap tabu.
Begitu pula seluruh materi ujian di madrasah yang mengandung konten khilafah dan perang atau jihad telah diperintahkan untuk ditarik dan diganti. Hal ini sesuai ketentuan regulasi penilaian yang diatur pada SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162 dan Nomor 5161 Tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, MTs, dan MI.
Terkait penjelasan Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah pada Kementerian Agama (Kemenag), Umar, menjelaskan yang dihilangkan sebenarnya bukan hanya materi khilafah dan perang. Setiap materi yang berbau kekanan-kananan atau kekiri-kirian dihilangkan.
Dia mengatakan, setiap materi ajaran yang berbau tidak mengedepankan kedamaian, keutuhan dan toleransi juga dihilangkan. "Karena kita mengedepankan pada Islam wasathiyah," kata Umar kepada Republika.co.id, Sabtu (7/12).
Sehingga moderasi dijadikan jalan tengah, yang menjadi penguat dari program moderasi tersebut. Dengan begitu menggiring paham masyarakat bahwa lawan dari radikal adalah hal yang buruk. Alhasil tidak dibolehkan menjadi muslim yang radikal.
Padahal yang perlu diketahui bahwa makna dari radikal dalam kamus besar bahasa ndonesia (KKBI). Pertama, kata 'radikal' bermakna 'secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip)'. Kedua, , radikal adalah istilah politik yang bermakna 'amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan)'. Arti selanjutnya, radikal juga berarti 'maju dalam berpikir atau bertindak'. Jadi radikal yang dimaksud tersebut apa? Ini seakan upaya pemerintah dalam melakukan pelencengan terhadap ajaran Islam.
Suatu kesalahan besar apabila mengatakan bahwa khilafah tidak relevan pada zaman sekarang. Sebab khilafah sendiri adalah ajaran Islam yang bersumber dari Allah Swt. Yang mana diketahui bahwa Islam agama yang sempurna sehingga relevan pada masa kapan pun baik dahulu, sekarang dan masa yang akan datang.
Sistem khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang dipimpin seorang khalifah yang menerapkan hukum syariat Islam. Berbeda dengan sistem demokrasi kapitalis yang berasal dari manusia yang memberi keterpurukan atas asas hukum yang bersumber dari hawa nafsu. Sedangkan khilafah sudah terbukti kegemilangannya selama kurang lebih 1300 tahun lamanya.
Dengan kata lain, program moderasi beragama yang merombak materi khilafah akan menghasilkan kurikulum sekuler yang anti terhadap Islam. Padahal seharusnya pemerintah memberikan kurikulum yang membangkitkan semangat untuk para pendidik memperoleh pelajaran yang mendasarkan pengetahuan yang menjadikan pendidik tersebut memiliki karakter, akhlak mulia yang erat terhadap Islam. Bukan malah sebaliknya jauh dari Islam. Ajaran khilafah dan jihad inilah yang menjadi kekuatan besar umat Islam sehingga bisa mewujudkan peradaban Islam yang gemilang di dunia.
Inilah hasil dari sistem kapitalisme yang sangat rusak dalam menghasilkan para pendidik. Sehingga sejauh apapun ketika masih berlandaskan pada sistem kapitalistik akan melahirkam kerusakan dalam penataan kurikulum dalam bidang pendidikan.
Namun berbeda dalam Islam, Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki: (1) Kepribadian Islam; (2) Menguasai pemikiran Islam dengan handal; (3) Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK); (4) Memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Pembentukan kepribadian Islam harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan yang sesuai dengan proporsinya melalui berbagai pendekatan. Salah satu di antaranya adalah dengan menyampaikan pemikiran Islam kepada para siswa. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatannya dengan syariat islam. Indikatornya adalah bahwa anak didik dengan kesadaran yang dimilikinya telah berhasil melaksanakan seluruh kewajiban dan mampu menghindari segala tindak kemaksiatan kepada Allah Swt.
Kurikulum dibangun berlandaskan akidah Islam, sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqâfah Islam dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya, mendapat porsi yang besar, tentu saja harus disesuaikan dengan waktu bagi ilmu-ilmu lainnya.
Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal). Di tingkat perguruan tinggi, kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Misalnya, materi tentang ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme dapat disampaikan kepada kaum muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh.
Materi ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan cacat-celanya dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Secara struktural, kurikulum pendidikan Islam dijabarkan dalam tiga komponen materi pendidikan utama, yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: (1) pembentukan kepribadian Islami); (2) penguasaan tsaqâfah Islam; (3) penguasaan ilmu kehidupan (PITEK, keahlian, dan keterampilan). Sebab Islam memerintahkan umat untuk memahami Islam secara kaffah di bawah naungan khilafah sehingga dapat dijalankan dalam seluruh aspek kehidupan baik dalam keluarga, masyarakat dan negara.
Wallahu a’lam biash-shawab