Oleh: Fifit Maria S.Pd.I
Mahalnya tes corona sudah memakan korban. Seorang ibu hamil bernama Ervina Yana di Makassar, Sulawesi Selatan, kehilangan bayinya di dalam kandungan saat akan dilahirkan. Penyebabnya adalah tindakan operasi kelahiran yang terlambat akibat dia harus menjalani proses pemeriksaan Covid-19.
"Ibu Ervina ditolak tiga rumah sakit karena biaya rapid dan swab test-nya tidak ada yang menanggung, sehingga di RS terakhir anak dalam kandungannya meninggal," kata pendamping Ervina dan juga aktivis perempuan, Alita Karen, Rabu (17/6/2020).
Ceritanya, kata Alita, bermula pada beberapa hari lalu ketika Ervina mengalami kontraksi dan sakit di perutnya. Ervina yang merupakan peserta BPJS penerima bantuan iuran (PBI) dan rutin melakukan pemeriksaan di puskesmas memutuskan operasi kehamilan ke sebuah rumah sakit swasta. "Ia harus segera dioperasi karena punya riwayat diabetes mellitus dan bayinya cukup besar sehingga riskan melalui persalinan normal," kata Alita.
Namun, menurut Alita, Ervina ditolak dengan alasan RS tidak memiliki alat operasi kelahiran lengkap dan alat uji tes virus corona. Lalu, Ervina menuju ke RS swasta lainnya dengan kondisi hamil tua dan kembali ditolak dengan alasan yang hampir sama.
Ervina pun kembali mengunjungi RS swasta lainnya dan menjalani rapid test dengan membayar Rp 600.000. Hasilnya, reaktif atau positif virus corona dan kemudian disarankan menjalani swab test dengan biaya sekitar Rp 2,4 juta. "Namun, pasien tidak sanggup bayar tes yang mahal itu, lalu keluarga membawa ke RS lainnya, dan saat dicek bayinya sudah tidak bergerak.
Kewajiban tes corona dengan biaya mandiri, tidak hanya dibebankan negara kepada seorang ibu yang akan melahirkan anaknya, akan tetapi kepada seluruh masyarakat yang akan bepergian atau memasuki suatu kota di Indonesia. Misalnya, saat hendak naik kereta, diperlukan hasil rapid test, tes PCR, atau tes influenza sebagai syarat seseorang boleh naik kereta. Dilansir Kompas.com, Selasa (24/3/2020), di sebuah marketplace harga alat rapid test impor dari China Rp 295.000. Sementara itu akurasinya diklaim mencapai 95 persen hanya dalam waktu 15 menit. Tapi ada juga yang menjual dengan harga Rp 900.000 per buahnya. Rata-rata harga alat rapid test di bawah Rp 1 juta.
Sementara itu untuk tes PCR dan swab harganya lebih mahal, mencapai jutaan rupiah. Dilansir Kompas.com (1/6/2020), di RS Universitas Indonesia salah satunya, biaya pemeriksaan tes swab termasuk PCR adalah Rp 1.675.000 sudah termasuk biaya administrasi.
Di Riau, harga tes swab per orang Rp 1,7 juta. Harga tersebut merupakan tes swab mandiri di RSUD Arifin Achmad. Dilansir Kompas.com, (2/6/2020), harga tersebut menurut Juru Bicara Penanganan Covid-19 Riau dr Indra Yovi adalah yang termurah dibanding harga di daerah lain.
Sementara itu di Makassar ada yang menjual tes swab seharga Rp 2,4 juta, yaitu di RS Stellamaris seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (17/6/2020).
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyebutkan, saat ini terjadi "komersialisasi" tes virus corona yang dilakukan rumah sakit swasta akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes ini. “Banyak RS saat ini yang memanfaatkan seperti aji mumpung dengan memberikan tarif yang mahal dan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Itu akibat dari tidak ada aturan dan kontrol dari pemerintah," kata Trubus.
Untuk itu menurut Trubus, terdapat dua solusi yang perlu dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan masalah komersialisasi tes virus corona ini.
Pertama, pemerintah menanggung semua biaya uji tes ini, baik rapid maupun swab test, berdasarkan keputusan pemerintah tentang penetapan kedaruratan virus corona dan penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam dan diperkuat dalam penetapan Perppu No 1 Tahun 2020 menjadi undang-undang yang salah satu isinya tentang pembiayaan penanganan pandemi Covid-19. “Artinya, pemerintah bertanggung jawab dalam pembiayaan Covid, termasuk uji tes virus corona, sehingga masyarakat yang mau tes tidak perlu bayar," katanya.
Kedua, jika anggaran negara terbatas, pemerintah harus mengeluarkan aturan khusus yang mengatur pelaksanaan tes Covid-19, baik untuk rumah sakit swasta maupun pemerintah.
"Karena hingga sekarang tidak ada aturan khusus tentang ini. Pemerintah harus turun tangan menetapkan harga standar yang terjangkau."
"Lihat sekarang rapid test itu sekitar Rp 500.000 dan PCR sampai Rp 2 juta. Itu sangat mahal. Ditambah lagi masa berlaku rapid test hanya tiga hari dan swab test hanya tujuh hari. Artinya, tes menjadi kewajiban untuk kondisi tertentu," katanya.
Solusi kedua yang ditawarkan Trubus sejalan dengan apa yang disampaikan Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Ia mengatakan seharusnya pemerintah dalam hal ini Kemenkes segera menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) rapid test. Sehingga konsumen tidak menjadi objek pemerasan dari oknum dan lembaga kesehatan tertentu dengan mahalnya rapid test. (makassar.kompas.com, 19/6/2020)
Sungguh malang nasib rakyat, khawatir akan terpapar virus saja sudah menyulitkan mereka beraktivitas di luar rumah dengan membayar mahalnya tes corona.
Sudah seharusnya negara hadir melindungi setiap jiwa rakyatnya dan tidak lagi membebani rakyat dengan mahalnya tes corona yang semakin membuat rakyat merana. Beban rakyat sudah sangat besar dengan naiknya iuran BPJS, beban pajak, biaya pendidikan, biaya hidup apalagi di tambah mahalnya biaya tes corona. Dalam sistem kapitalisme, rakyat dibebani terlalu banyak kesulitan dan penderitaan. Rakyat menjerit kesakitan namun negara justru abai.
Sementara dalam Islam, Kepala Negara (Khalifah) menjalankan hukum Allah atas rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada Allah atas kepemimpinannya.
Bila Khalifah tidak menjalankan hukum Allah, ia layak diberhentikan kapan pun, tanpa menunggu periode tertentu. Dan sebaliknya, selama ia menjalankan perintah Allah maka tak ada alasan untuk memberhentikannya. Sebagaimana yang terjadi pada Umar bin Abdul Aziz, saat dibaiat “sebagai Khalifah kaum muslimin, justru menangis merasakan beratnya beban yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah.”
Hal itu tercermin dari surat yang ditulisnya kepada para pejabat di bawahnya: “…dengan segala yang diujikan ini, aku sangat takut akan datangnya penghisaban yang sulit dan pertanyaan yang susah, kecuali apa yang dimaafkan Allah SWT…” (Syeikh Muhammad Khudari Bek, Negara Khilafah, PTI 2013 h.290).
Rasulullah Saw. bersabda,
“Imam (Khalifah) adalah raa’iin (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Begitu jelas apa yang disabdakan Rasul, bahwa para Khalifah sebagai pemimpin yang diserahi wewenang untuk kemaslahatan rakyat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt kelak pada hari kiamat. Apakah mereka (para Kholifah) telah mengurusnya dengan baik atau tidak. Raa’iin bermakna penjaga yang diberi amanah atas bawahannya.