Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Biaya untuk menguji seseorang terinfeksi virus Covid-19 atau tidak di Indonesia bervariasi di berbagai instansi. Meskipun ada tes yang digratiskan, masyarakat tetap harus mengambil tes mandiri jika ingin bepergian atau memasuki suatu kota di Indonesia. Misalnya, saat hendak naik kereta, diperlukan hasil rapid test, tes PCR, atau tes influenza sebagai syarat seseorang boleh naik kereta. (KOMPAS.com, 21/06/2020).
Dilansir Kompas.com, Selasa (24/3/2020), di sebuah marketplace harga alat rapid test impor dari China Rp 295.000. Sementara itu akurasinya diklaim mencapai 95 persen hanya dalam waktu 15 menit. Tapi ada juga yang menjual dengan harga Rp 900.000 per buahnya. Rata-rata harga alat rapid test di bawah Rp 1 juta. Sementara itu untuk tes PCR dan swab harganya lebih mahal, mencapai jutaan rupiah.
Dilansir Kompas.com (1/6/2020), di RS Universitas Indonesia salah satunya, biaya pemeriksaan tes swab termasuk PCR adalah Rp 1.675.000 sudah termasuk biaya administrasi. Di Riau, harga tes swab per orang Rp 1,7 juta. Harga tersebut merupakan tes swab mandiri di RSUD Arifin Achmad.
Dilansir Kompas.com, (2/6/2020), harga tersebut menurut Juru Bicara Penanganan Covid-19 Riau dr Indra Yovi adalah yang termurah dibanding harga di daerah lain. Sementara itu di Makassar ada yang menjual tes swab seharga Rp 2,4 juta, yaitu di RS Stellamaris seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (17/6/2020).
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan tingginya harga tes Covid-19 dikarenakan pemerintah belum menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Pihaknya menerima banyak laporan dari masyarakat tentang mahalnya harga tes seperti rapid test, PCR, dan swab.
Dia mengatakan, masyarakat sebagai konsumen perlu kepastian harga. Selain mengatur HET pemerintah juga perlu mengatur tata niaganya. Dihubungi terpisah Kepala Bidang Media dan Opini Publik Kemenkes Busroni mengatakan pemerintah belum menetapkan HET hingga saat ini.
Publik pun khawatir untuk berobat ke rumah sakit karena takut membayar mahal untuk tes corona. Mahalnya biaya tes corona menjadi satu hal yang dihindari rakyat karena kondisi mereka yang sudah “sekarat”.
Bagaimana tidak disebut sekarat? Ekonomi makin terhimpit, belum lagi utang sebagai jalan penuhi isi perut, kini harus dihadapkan dengan tes corona sebagai syarat pasien agar bisa ditindaklanjuti dokter untuk diobati. Dari mana rakyat mencari dananya?
Jangan tanya di mana peran negara. Mulut sudah berbuih dan suara sampai serak menyuarakan agar penguasa peduli pada rakyatnya di tengah pandemi. Yang justru dijawab dengan berbagai kebijakan yang makin menambah sakit rakyat.
Naiknya iuran BPJS, naiknya tagihan listrik, pemangkasan dana bansos dan itu pun juga diselewengkan, ditambah bersiap new normal meski wabah masih terus merebak. Lalu mahalnya biaya tes corona, apakah publik harus menyalahkan rumah sakit?
Pertama, pihak rumah sakit harus membeli sendiri alat dan perlengkapan tes. Kedua, biaya untuk membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam tes tersebut, mulai dari dokter, petugas laboratorium, hingga petugas medis yang membaca hasil tes tersebut.
Publik tentu dibuat bingung tujuh keliling, sudahlah pandemi hingga saat ini tak kunjung reda, para pejabatnya malah menyelenggarakan lomba video new normal dengan hadiah Rp168 miliar. Bukankah itu sungguh ironis?
Kenapa tidak gratiskan saja tes corona pada setiap pasien yang berobat di RS dan biaya itu ditanggung negara? Sayangnya, hal itu tak mungkin terjadi di negeri ini, sistem kapitalis yang dianut menjadikan rakyat menanggung sendiri setiap beban hidupnya.
Terkait komersialisasi tes corona, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut mahalnya biaya tes corona yang dilakukan rumah sakit swasta akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes.
Ia pun menyarankan pemerintah untuk menempuh dua solusi yang ditawarkannya. Pertama, pemerintah menanggung semua biaya uji tes, baik rapid maupun swab test berdasarkan keputusan pemerintah tentang kedaruratan virus corona dan penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam dan diperkuat dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang yang salah satu isinya tentang pembiayaan penanganan pandemi Covid-19.
Kedua, jika anggaran negara terbatas, pemerintah harus mengeluarkan aturan khusus yang mengatur pelaksanaan tes Covid-19, baik untuk rumah sakit swasta maupun pemerintah. Artinya, pemerintah harus turun tangan menetapkan harga standar yang terjangkau.
Solusi kedua yang ditawarkan Trubus sejalan dengan apa yang disampaikan Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Ia mengatakan seharusnya pemerintah dalam hal ini Kemenkes segera menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) rapid test. Sehingga konsumen tidak menjadi objek pemerasan dari oknum dan lembaga kesehatan tertentu dengan mahalnya rapid test. (makassar.kompas.com, 19/6/2020)
Begitu malang kondisi rakyat, khawatir akan terpapar virus saja sudah menyulitkan mereka beraktivitas di luar rumah. Mengapa harus dihadapkan dengan komersialisasi tes corona? Lagi-lagi, siapa yang diuntungkan? Pemerintah, rumah sakit, atau pengusaha yang bekerja sama dengan oknum pejabat untuk meraup untung lewat tes corona di tengah pandemi?
Sudah seharusnya negara melindungi setiap jiwa rakyatnya dengan berbagai cara, jangan lagi ada korban dari kaum ibu dan anak karena dikomersialkannya tes corona. Harapan terbesar tentu kita tujukan pada sistem Islam. Karena negara yang menerapkan Islam takkan tega menghilangkan nyawa manusia demi keuntungan apa pun.
Maka hal yang wajar dalam negara kapitalis tidak ada pemberian jaminan apa pun pada rakyatnya. Karena tugas dan fungsi negara hanya sebagai wasit bagi rakyatnya. Negara baru bertindak jika ada masalah. Jaminan diberikan sebagai bentuk tambal sulam dari kebobrokan sistem kapitalisme.
Di sisi lain, negara juga hanya berperan sebagai regulator, yang mengatur agar terjadi keselarasan antara kepentingan rakyat dan kepentingan pengusaha. Rakyat dibiarkan secara mandiri mengurus seluruh urusannya.
Rakyat harus menanggung mahalnya biaya tes corona, melonjaknya harga pangan, menjamurnya pengangguran, juga ekonomi yang semakin sulit akibat dampak PSBB.
Betapa menyedihkan kondisi rakyat dalam naungan negara kapitalis. Sementara dalam Islam, Kepala Negara (Khalifah) menjalankan hukum Allah atas rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada Allah atas kepemimpinannya.
Bila Khalifah tidak menjalankan hukum Allah, ia layak diberhentikan kapan pun, tanpa menunggu periode tertentu. Dan sebaliknya, selama ia menjalankan perintah Allah maka tak ada alasan untuk memberhentikannya. Sebagaimana yang terjadi pada Umar bin Abdul Aziz, saat dibaiat sebagai Khalifah kaum muslimin, justru menangis merasakan beratnya beban yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Hal itu tercermin dari surat yang ditulisnya kepada para pejabat di bawahnya: “…dengan segala yang diujikan ini, aku sangat takut akan datangnya penghisaban yang sulit dan pertanyaan yang susah, kecuali apa yang dimaafkan Allah SWT…” (Syeikh Muhammad Khudari Bek, Negara Khilafah, PTI 2013 h.290).
Rasulullah Saw. bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’iin (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Begitu jelas apa yang disabdakan Rasul, bahwa para Khalifah sebagai pemimpin yang diserahi wewenang untuk kemaslahatan rakyat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak. Raa’iin bermakna penjaga yang diberi amanah atas bawahannya.
Lalu, tidakkah para pemimpin di negeri muslim ini khawatir akan hari kembali? Yakni hari di mana pemimpinlah yang pertama kali dihisab Allah untuk mempertanggungjawabkan segala kepemimpinannya. Takkan luput juga dari hisab Allah, terkait sudah berapa banyak nyawa yang hilang dengan sia-sia selama masa kepemimpinannya.