Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Adalah Ani Fatini, terdakwa kasus penggelapan uang nasabah Bank Jatim Pamekasan sebesar Rp 7,7 miliar, divonis 4 tahun 6 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Pamekasan dalam sidang vonis yang dilaksanakan pada Selasa, 7 Juli 2020.
Ani Fatini menerima semua putusan yang dijatuhkan padanya. Sidang pembacaan vonis dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Lingga Setiawan, serta dua hakim anggota, Dony Hardiyanto dan Fidiawan Satriantoro.
Uang nasabah yang digelapkan oleh Ani mulai dari perorangan hingga Dana Desa (DD) di sejumlah desa di Kecamatan Galis. Nominalnya beragam, mulari dari Rp 30 juta sampai Rp 50 juta.
Sebagian uang hasil penggelapan dana nasabah Bank Jatim Pamekasan oleh terdakwa Ani Fatini sebesar Rp 7,7 miliar, digunakan untuk biaya suaminya mencalonkan diri menjadi anggota DPRD Pamekasan pada Pileg 2019. Sebagian lagi dibelikan kerudung dan tas, dibuat untuk jalan-jalan ke luar negeri, dibuat untuk membeli rumah di Jalan Jokotole dan beli mobil ( Kompas.com, 9/7/2020).
Masa pandemi ini Bank mendapatkan banyak goyangan, selain likuiditas yang terancam akibat kredit macet dan investasi yang berkurang, juga kasus personal yang tak bisa dikendalikan sebaik apapun sistem keamanan Bank tersebut. Yaitu ketakwaan, dimana di negeri mayoritas Islam ini sangatlah langka.
Terlebih lagi politik pengurusan umat Indonesia masih mengambil Demokrasi. Ironinya di negeri asal Demokrasi itu sendiri sudah tak mendapat hati . Demokrasi di mata rakyat Amerika misalnya banyak di cemooh warganya dianggap tidak realistis dengan penderitaan mereka, terutama di masa pandemi sekarang. Politik Demokrasi butuh biaya yang tak masuk akal, setiap orang yang menginginkan masuk menuju kursi parlemen atau Pilgub, pilkada bahkan pemilihan presiden sekalipun butuh biaya yang tak sedikit. Korupsi lah cara termudah.
Ani Fatini satu dari sekian banyak orang yang berharap kepada sistem ini. Paling tidak hidup mereka tak sengsara, sebab masyhur gaji pokok anggota parlemen ditambah tunjangan bisa menghidupi anak cucu hingga 7 turunan. Makin jelas, motivasi mengabdi untuk rakyat ketika nanti menjadi wakil rakyat porsinya hanya sedikit, selebihnya adalah bagaimana menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda selama menjadi wakil rakyat. Termasuk membayar utang kampanye pemilihan.
Pantaskah seseorang kemudian menisbatkan dirinya sebagai wakil rakyat sedangkan selain caranya yang salah demikian pula dengan niatannya? Akod yang terjadi sebetulnya sudah tidak. Kemudian jika dilanjutkan tentu tidak akan berkah
Terlebih lagi ini juga membuktikan bahwa sistem hari ini mengikis habis ketakwaan seseorang. Meraih tujuan dengan cara yang salah bisakah mendapatkan hasil yang berkah? Tapi sekulerisme tidak peduli itu, namun justru manfaat materilah yang diagungkan. Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini