Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd
(Guru SD Muhammadiyah Unggulan Jembrana)
Tahun ajaran baru telah dimulai, saatnya para tenaga pendidik mengerahkan potensinya untuk membimbing peserta didiknya. Amanah yang diberikan oleh para wali murid kepada para tenaga pendidik menjadikan tanggung jawab yang harus dilaksanakan sebaik mungkin. Persiapan mulai dari kurikulum, RPP, bahan ajar dan sarana prasarana yang mendukung proses pembelajaran juga harus disiapkan.
Terlepas itu semua, maka administrasi kurikulum adalah yang terpenting sebagai pedoman kemana arah pembelajaran akan dilaksanakan. Pergantian menteri di negeri ini juga akan berimbas pada pergantian kebijakan kurikulum pendidikan. Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tak luput juga dengan inovasi kurikulum Merdeka Belajarnya.
Nadiem menjelaskan bahwa Merdeka Belajar adalah merdeka berpikir. Ia menyebut bahwa esensi dari merdeka berpikir ini haruslah didahului oleh guru sebelum mengajarkan kepada peserta didik. Disebutkan pula bahwa kompetensi guru di level apapun, jika tak ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah ada pembelajaran yang terjadi.
Setidaknya ada empat pokok kebijakan dalam Merdeka Belajar, yakni USBN, UN, RPP, dan sistem zonasi PPDB. Ternyata, empat pokok kebijakan ini sebenarnya hampir sama dengan kebijakan Menteri sebelumnya. Hanya saja di masa Nadiem ini proses administrasinya lebih dipersingkat. Contohnya RPP yang hanya satu lembar saja, kemudian guru yang menafsirkan.
Oleh karena itu, dengan adanya kurikulum Merdeka Belajar ini, maka pemerintah sebenarnya memberikan kebebasan kepada para pendidik untuk menginterpretasikan kurikulum apa yang akan digunakan oleh sekolah masing-masing. Nah dengan begitu, maka di setiap wilayah akan memiliki kebijakan masing-masing dalam proses KBMnya. Output yang akan dikeluarkan oleh sekolah-sekolah juga akan mengalami perbedaan.
Kebijakan baru ini seolah-olah hanyalah menyentuh hal teknis saja. Padahal metode dalam belajar dan pembelajaran yang ingin dicapai belumlah jelas. Peserta didik tidak hanya butuh transfer ilmu saja, namun mereka juga perlu tuntunan untuk bisa mengamalkan ilmu yang didapat dan meningkatkan karakter atau adab dalam mempelajari ilmu.
Dalam Islam, metode belajar dan pembelajaran dikenal dengan istilah talaqqiyan fikriyan. Metode ini mampu membentuk proses berpikir dalam diri peserta didik, yakni mencerdaskan akal dan meningkatkan kemampuan berpikir anak. Dengan begitu, peserta didik juga mampu mengubah karakternya menjadi pribadi shalih shalihah selama mereka berpegang teguh pada kepribadian Islam dan sadar dengan hal tersebut.
Metode talaqqiyan fikriyan menuntut anak untuk mengamalkan ilmu yang didapat, mengindra fakta secara rinci, dan mampu mempresentasikan hasilnya dengan bahasa mereka sendiri. Disinilah proses belajar terjadi. Inilah yang membedakan antara sistem pendidikan Islam yang memiliki kurikulum berbasis aqidah Islam dengan sistem pendidikan sekuler yang berorientasi pada kebebasan berpendapat.
Di alam sekuler seperti saat ini, untuk mewujudkan generasi yang berkepribadian unggul, cerdas ilmu dan teknologi, berakhlaq mulia, serta bermanfaat untuk umat sangatlah mustahil didapatkan. Inilah tantangan yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan. Sebab, hakikat dari tujuan pendidikan tidak akan mampu diwujudkan jika arah pendidikannya kabur bahkan beralih pada komoditas pendayagunaan SDM di dunia kerja.
Oleh karena itu, pendidikan dalam sistem Islamlah yang seharusnya dipakai oleh negeri ini. Pendidikan yang hanya mengacu pada aqidah Islam sehingga kontrol dari metode pembelajarannya akan terstruktur, terprogram dan sistematis. Tak perlu banyak dana ataupun upaya dalam mengganti kurikulum, metode belajar, dan bahkan menteri di setiap kepengurusannya. Wallahu a’lam bish showab.
Tags
Opini